JAKARTA, KOMPAS.com- Tiga saksi dihadirkan dalam sidang kasus dugaan korupsi APBD Kabupaten Natuna Tahun 2004 di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (7/12). Mereka adalah Sekda Kabupaten Natuna Ilyas Sabli, mantan Kabag Keuangan Muhammad Subandi, dan Kabag Keuangan Hadinansyah.
Dalam kesaksiannya, Subandi mengatakan sebagian dana yang dianggarkan untuk program peningkatan DBH Migas dibelikan mobil Mitsubishi senilai Rp 630 juta, mobil Mercy Rp 874 juta, dan membayar tagihan ke PT Intraco Rp 1,5 miliar.
Perintah pembelian dan pembayaran dilakukan Bupati Natuna saat itu, Hamid Rizal. Bahkan, salah satu Mobil, yakni Mercy, dibeli atas nama Hamid Rizal.
Namun, Subandi juga mengakui telah mencairkan dana total Rp 9 miliar untuk dirinya pribadi dengan dalih operasional saat dinas luar mengurus kelengkapan administrasi dalam rangka 'melegalkan' anggaran yang katanya dalam rangka upaya peningkatan DBH Migas dalam APBD Natuna 2004.
Sidang yang dimulai pukul 14.00 WIB berlangsung ramai. Keriuhan berulang kali terjadi karena pengunjung sidang kerap tertawa mengikuti penjelasan Ilyas Sabli yang berbelit-belit, sehingga membuat hakim kesal.
Tidak cuma hakim yang geregetan dengan penjelasan Ilyas, penasehat hukum para terdakwa juga terlihat kesal. Dalam kesaksiannya, Ilyas kerap mengaku lupa atau tidak tahu. Padahal pertanyaan yang disodorkan jaksa maupun hakim masih berkisar pencairan dan pertanggungjawaban anggaran yang seharusnya menjadi kewenangannya.
Misalnya saat ditanya berapa jumlah APBD Natuna thun 2004 dia bilang tidak tahu. Demikian juga saat ditanya penggunaan dana subsidi untuk memperjuangkan DBH Migas Natuna apakah sudah tepat sasaran dan digunakan untuk apa saja, lagi-lagi dia katakan tidak tahu.
Dalam sidang terungkap, Pemkab Natuna pada tahun 2004 mengalokasikan dana subsidi untuk bantuan instansi vertikal Rp 42,2 miliar. Alokasi itu kemudian direvisi dalam anggaran perubahan menjadi Rp 70 miliar lebih.
Meskipun bernama dana bantuan untuk instansi vertikal, rencananya dana itu digunakan untuk intensifikasi perolehan pembagian dana bagi hasil migas (DBH Migas). Namun dalam realisasinya, penggunaan dana ternyata tak jelas.
Selain pencairan yang tidak sesuai prosedur karena cuma berdasarkan surat keterangan otorisasi (SKO), perintah bupati dan disposisi sekda, dana pun digunakan untuk kepentingan pribadi bupati, ketua DPRD saat itu serta mengalir ke anggota dewan Natuna.
Selain Hamid Rizal, Daeng Rusnandi yang menjadi Ketua DPRD saat itu paling banyak disebut. Sebab, dalam beberapa kali kesempatan dia yang meminta langsung pencairan dana dengan alasan untuk memperjuangkan peningkatan dana bagi hasil migas Natuna ke pusat.
Sementara itu, saat diminta memberikan tanggapan di akhir persidangan, justru ada pernyataan mengejutkan dari kedua terdakwa. Daeng yang menjadi terdakwa II dan diberikan kesempatan memberikan tanggapan terhadap keterangan para saksi membenarkan apa yang disampaikan para saksi. Dia pun menyatakan siap melengkapi keterangan itu.
Dia juga mengatakan, sebenarnya Hamid Rizal sewaktu menjabat sebagai bupati pernah meminta agar dokumen pencairan alokasi uang APBD tahun 2004 yang kini dipersoalkan itu dimusnahkan saja, jika tidak bisa dilengkapi dokumennya agar legal. Namun dia mencegah dan memilih meminta staf pemkab melengkapi dokumennya.
"Dulu pas Pak Hamid Rizal, malah minta suratnya dimusnahkan saja, kalau tidak bisa dilengkapi, tapi saya pilih dilengkapi saja," katanya.
Sementara itu Hamid Rizal yang menjadi terdakwa II mengatakan tidak setuju dengan keterangan para saksi, terutama soal memberikan perintah lisan untuk pencairan dana APBD. "Saya ini bekas sekda, jadi saya tahu prosedur," tegasnya.
Hamid cuma mau membenarkan pembelian Mercy untuk bupati. Tapi dia berdalih itu pun digunakan untuk transportasi saat melakukan tugas di Jakarta.
Sidang yang dipimpin Hakim Ketua, Tjokorda Rai Suamba itu akhirnya ditutup sekitar pukul 17.00 WIB. Sidang dilanjutkan, Senin (14/12) pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi dan terdakwa.
No comments:
Post a Comment