Refleksi : Rakyat ditentramkan supaya copetnya berjalan tentram mulus sesuai akal bulus.
Rakyat" rindu Soeharto |
Wednesday, 11 March 2009 06:25 WIB | |
Ir. H. CHAIDIR RITONGA ,MM Rakyat rindu Pak Harto? Itulah respons kolega saya ketika saya ungkapkan beberapa pengalaman yang menarik melakukan kampanye maraton yang panjang menghadapi Pemilu Legislatif 2009. Apa iya? Yang lain bertanya. Seperti tidak yakin. Tetapi itulah faktanya. Persisnya rakyat rindu hidup tenteram, teratur, terarah, aman dan damai seperti yang mereka pernah rasakan pada era Pak Harto. Paling tidak itulah ungkapan seorang pensiunan guru yang mengisi harihari pensiunnya dengan berkebun. Pilihan yang membuatnya bahkan lebih sejahtera di usia pensiun ketimbang pada saat aktif menjadi guru, namun tidak membuatnya lupa kepada seorang Pak Harto yang dinilai sebagai pemimpin yang telah berbuat banyak kepada bangsanya daripada kesalahan manusiawi" yang dituduhkan kepadanya. Argumentasi seorang pensiunan seperti itu menjadi semacam inspirasi bagi kita sebelum kita peroleh hasil penelitian yang akan membuktikan hipotesa kerinduan seorang mantan guru terhadap Pak Harto" tadi. Kerinduan yang sahsah saja menyaksikan betapa rumitnya cakrawala dan atmosfer sosiopolitik nasional kita dewasa ini. Demokrasi kebablasan yang sempurna. Di zaman Pak Harto, kata mantan sang guru, perhelatan Pemilu seperti ini yang digelar lima tahun sekali menjadi ajang Pesta Demokrasi" yang terkendali dan memberikan harapanharapan dan pencapaianpencapaian baru lima tahun berikutnya dalam apa yang dinamakan Rencana Pembangunan Lima Tahun" atau dari Repelita ke Repelita berikutnya. Sekarang ini bahkan kita tidak punya arah politik yang jelas. Tidak ada lagi Repelita. Semua berjalan sepertinya tidak punya arah dan kendali yang jelas. Ada juga kesan yang terbersit dari rakyat, paling tidak diwakili sang mantan guru, sepertinya mempunyai keyakinan dan harapan bahwa pemerintahan SBYJK mampu mengembalikan kondisi seperti di era orde baru, sehingga seringkali kita temukan jawaban sebagai berikut: pada pemilu 9 April 2009, kami tetap setia memilih partai yang sudah lama tetapi memilih SBY sebagai Presiden dan JK sebagai Wakil Presiden. Persepsi itu tentu saja belum bisa dijadikan alat untuk menarik kesimpulan. Tetapi pernyataan itu kerap kali ditemukan di lapangan. Tetapi paling tidak kerinduan kepada era Pak Harto semakin hari semakin kuat disuarakan. Pertanyaannya, rakyat yang manakah sang mantan guru yang rindu Pak Harto itu? Nampaknya ia mewakili The silent majority. Rakyat yang selama ini tidak terlalu perduli dengan dinamika politik. Massa mengambang yang biasanya tidak terlalu suka dengan perubahan. Mereka umumnya tinggal di daerah pedesaan yang masih secara utuh mempertahankan adat istidat serta kearifan lokal. Tetapi mereka relatif terdidik. Rakyat the silent majority" masih bertahan dengan idealisme. Menghindarkan diri dari pragmatisme dan godaan hedonisme yang ditawarkan oleh budaya demokrasi a la barat. Mereka selalu ingin mempertahankan kehidupan yang tertib, aman dan damai. Hidup dimaknai secara sederhana, beramal dan beribadah. Dewasa ini mereka tengah menggugat kondisi sosiopolitik pasca reformasi. Tetapi itu tadi, gugatannya pun nyaris tidak terdengar karena disuarakan diamdiam. Mereka menggugat praktek demokrasi yang telah terlalu jauh menabrak dan merusak tatanan sosiokultural. Membuat pemahaman mereka tentang praktek ketatanegaraan dan demokrasi menjadi jungkir balik. Mereka mengharapkan kelompok terpelajar bisa bagian dari solusi, tetapi ternyata menjadi bagian daripada masalah. Karena kaum terpelajar pun lebih banyak yang menjadi penganggur terbuka. Anarki baru Sistem multi partai yang dibiarkan tidak terkendali menambah runyam suasana. Kaum terpelajar akhirnya memanfaatkan sistem multi partai menurut caranya sendiri. Menjadi Calon Anggota Legislatif (Caleg) dari partai apa saja yang membuka ruang dan kesempatan. Bukan karena ingin menjadi politisi melainkan daripada menganggur. Dan ternyata pilihan itu bukanlah sesuatu yang mudah. Menjadi Caleg karbitan" ternyata menjadi dua hal yang sulit. Maju terus sangatlah sulit, mundur juga tidak mudah. Maju menjadi Caleg ternyata dihadapkan dengan praktek politik uang yang ternyata telah begitu vulgar dan telanjang. Sebagian rakyat memberontak" dengan caranya. Mereka tidak ingin kehilangan kesempatan memeras" para caleg dengan tanpa ampun. Alihalih ingin menyampaikan sekedar visi dan misi politiknya, para Caleg justru lebih disibukkan kepada bagaimana menghadapi serangan pemerasan" di lapangan. Sebagian rakyat ternyata telah melangkah lebih jauh daripada yang diperkirakan. Sesuatu yang membuat sang mantan guru gelisah dan merindukan seorang Pak Harto. Transaksi politik terasa semakin kotor" manakala sebagian caleg ternyata juga memilih untuk mengikuti kehendak sebagian rakyat itu. Terutama Calon Anggota DPRDÊKabupaten atau Kota yang untuk duduk menjadi anggota legislatif di DPRDÊKabupaten/Kota cukup memperoleh 1500 atau 2000 suara pemilih. Sebagian Caleg memilih membayar Rp 100.000 per pemilih untuk sekedar meraih satu kursi di DPRD Kabupaten/Kota yang nilainya berkisar Rp 150 juta sampai dengan Rp 200 juta. Kurang lebih sama dengan biaya menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Itulah hitungan sederhana yang kita dapatkan di lapangan. Sederhana tetapi menakutkan. Karena kalau fakta itu ternyata terbukti berhasil mempengaruhi Pemilu 9 April 2009, benarlah kata sang mantan guru. Kita bukan sedang berdemokrasi melainkan melakoni anarki baru yang jauh lebih buruk daripada Orde Baru. Mengapa harus ada reformasi. Mengapa kita tidak kembali saja ke era orde baru? 'Saya rindu, Pak Harto', kata sang mantan guru berulangulang. Koalisi permanen Kegagalan atau membiarkan multi partai menyempurnakan demokrasi yang kebablasan apalagi dengan sistem suara terbanyak yang sudah sangat jelas berpotensi melumpuhkan Lembaga Parpol, akan makin lengkap dengan permainan politik uang yang kasar dan vulgar. Sempurnalah demokrasi kita yang diperkirakan akan melahirkan anarki baru. Bentukbentuk anarki itu sudah semakin terlihat kasat mata. Nyaris tidak ada lagi etika dan aturan main persaingan internal di dalam Parpol dan eksternal antar Parpol. Semuanya berasal dan berawal dari keputusan politik yang tidak terkendali di Senayan, yang tentu saja merupakan hasil kerja para politisi yang ada juga, baik dari Parpol lama maupun baru yang secara tidak sadar dikendalikan" oleh tangantangan yang menguasai DPR. Siapakah penguasa DPR itu dan untuk apa semua itu. Tentu waktu jua yang akan mengungkapkan semua itu. Tetapi paling tidak ada satu faktor yang tidak kita miliki pada pemerintahan SBYJK sehingga semuanya seolaholah menjadi tidak terkendali, yaitu tidak ada koalisi yang utuh dan kuat terbangun di Senayan yang membuat arah dan kebijakan politik nasional menjadi lebih terarah. Koalisi yang utuh dan kuat menjadi kata kunci mengapa semuanya nampak seperti tidak terarah dan tidak terkendali. Dan oleh karenanya alangkah akan lebih baik menggagas, merumuskan dan memutuskan bangun koalisi yang permanen sebelum Pemilu Legislatif 9 April 2009 berlangsung. Koalisi Permanen Parpol yang segera diwujudkan dalam beberapa hari ke depan ini akan memberikan kepastian politik yang lebih baik kepada rakyat yang akan memilih Parpol dan para politisi yang diharapkan akan mampu mengendalikan arah dan perjalanan politik bangsa lima tahun ke depan. Agar kerinduan sang mantan guru terobati, menurut saya, langkah yang telah mulai ditempuh Pak JK bersama beberapa Parpol menjajaki koalisi beberapa Parpol perlu diteruskan, dipertajam dan dikonkritkan secepatnya. Rekomendasi tentang bangun koalisi harus dilakukan pasca pemilu, sebagaimana selama ini direncanakan beberapa Parpol, bukanlah harga mati yang statis. Dinamika politik yang berkembang amat cepat membuat kita harus segera membuat penyikapan baru. Bangun koalisi yang kuat, utuh dan permanen akan lebih baik dilakukan sebelum Pemilu sehingga rakyat, termasuk sang mantan guru, berbondongbondong datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dengan harapan yang jelas lima tahun ke depan, iklim dan cakrawala politik yang lebih baik. Koalisi GolkarPKSPANPPP ditambah satu dua Parpol lainnya, menurut saya akan menjadi bangun koalisi yang ideal dikonkritkan sebelum Pemilu 9 April 2009. Penulis adalah Wakil Ketua Partai Golkar Sumut |
No comments:
Post a Comment