Christianto Wibisono
Pada zaman kejayaan Orde Baru, Oom Liem memberikan komentar jitu. "Dia tidak takut bahwa bisa atau akan ada gerakan ekstrem kanan, selama ABRI masih kompak. Yang dia takuti sangat berbahaya ialah bila ABRI sampai pecah." Dan kata-kata Oom Liem terbukti ketika pada 14 Mei 1998 rumahnya dibakar massa karena ABRI tidak kompak. Karena Wiranto bersaing dengan Prabowo, karena ABRI tidak kelihatan ketika anarki merajalela dan terbukti sebagian oknum ABRI terkait dengan aksi anarki.
Tragedi Mei menjadi bumerang bagi siapa pun yang menjadi aktor intelektualnya, karena memang tidak ada lagi kekompakan di Cendana dan Cilangkap. Ketika aparatur negara, penjaga dan penjamin keamanan terkeping dalam klik-klik yang memang sengaja diadu-domba dan dipelihara oleh sang kaisar untuk mempertahankan posisi onmisbaar (tidak tergantikan oleh siapa pun), maka saat itu terjadi failed state, negara gagal dalam melindungi warganya yang dijarah, diperkosa, dan dibantai.
Selama 64 tahun merdeka, Indonesia tidak sepi dari konfllik intra elite pada puncak kekuasaan yang menghalalkan segala cara, termasuk menculik dan membunuh lawan politik. Itu sebabnya, Bung Karno lebih suka ditawan Belanda daripada mengambil risiko mati di tangan lawan politik bangsa sendiri, seperti Tan Malaka. Seandainya Bung Karno "bergerilya" belum tentu dia tidak mengalami nasib seperti Amir Syarifudin, mantan Perdana Menteri Republik Indonesia, yang tewas ditembak dalam status pemberontak. Di Indonesia, tidak pernah ada political come back, kembalinya pemimpin setelah kalah dalam suatu pemilu. Sebab selama 53 tahun hanya dipimpin oleh dua presiden, dari 1945 -1998.
Perebutan kekuasaan antarelite biasanya dilakukan melalui parlemen pada periode 15 tahun pertama, yang memakai sistem parlementer. Setelah dekrit kembali ke UUD 1945 pada 5 Juli 1959 dan Bung Karno membubarkan DPR, maka sistem otoriter dengan presiden yang cenderung menjadi diktator sangat berakar. Dengan manipulasi prosedur, Soeharto memakai pemilu bohongan yang sudah diatur hasilnya, karena tidak pernah boleh ada oposisi dan calon lawan politik muncul, kecuali direstui oleh Soeharto sebagai pajangan demokrasi. Karena itu, pemilu Orde Baru 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997, adalah pemilu yang direkayasa, yang hasilnya selalu memilih kembali Soeharto sebagai presiden pada Sidang Umum MPR tahun berikutnya.
Diktator ternyata memang sulit digulingkan dari luar, dan akhirnya memang akan ada orang dalam, bekas loyalis penjilat yang kemudian berhianat, pola Brutus Ken Arok. Pada Maret 1998, Harmoko mengangkat Soeharto kembali, tapi Mei justru membanting Soeharto. Dan Habibie dengan gesit langsung hinggap di kursi presiden, membuat Soeharto tidak pernah memaafkan sampai akhir hayat diktator malang itu.
Rezim Tertutup
Dalam rezim tertutup, banyak pergolakan yang sulit diungkap, kecuali menunggu setelah pelakunya almarhum. Dalam alam reformasi, para pelaku politik berani dan tidak sungkan mengungkap konflik secara terbuka. Buku tentang tragedi Mei 1998 dalam pelbagai versi oleh Habibie, Prabowo, Wiranto, Kivlan Zein, Sintong Panjaitan, dan Laporan TGPF muncul bagaikan jamur pada musim hujan. Setelah Soeharto lengser, maka ternyata rezim Orde Baru penuh dengan pertarungan intra elite yang tidak kalah serunya dari demo di jalanan terbuka.
Konflik antara jenderal yang dekat dengan Soeharto diawali dengan penyingkiran jenderal-jenderal, seperti: Kemal Idris, HR Dharsono, dan Sarwo Edie oleh Alamsyah - Ali Moertopo.
Kemudian Alamsyah sendiri terlempar jadi dubes di Belanda, sedang Soemitro terpental karena Malari dan Ali Moertopo hanya bertahan satu periode jadi Menpen. Jenderal M Yusuf hanya jadi Menhankam/Pangab satu periode, sedang Wijoyo Suyono terhenti di Kaskopkamtib, karena Soeharto tidak suka ada jenderal Jawa yang potensial jadi capres pengganti. Sudomo jadi Pangkopkamtib, karena bukan jenderal Angkatan Darat.
Semua upaya Soeharto adalah adu-domba antara jenderal supaya dia tetap bertahan di puncak. Benny Moerdani tidak suka Sudharmono jadi Wapres dan menggerakkan John Naro dari PPP untuk menantang dalam pemilihan wapres di SU MPR 1988. Ketua Fraksi ABRI di MPR 1993 mencalonkan Try Sutrisno jadi wapres, tanpa restu Soeharto yang marah besar, sehingga Hartas tidak jadi menteri seperti tradisi Kasospol pendahulunya. Tekad Soeharto untuk mengangkat Habibie tetap dilaksanakan 1998 dan kemudian Soeharto menyesal, karena Habibie menjadi Brutus terhadap dirinya sendiri.
Pergolakan internal elite ABRI itu baru terungkap setelah para jenderal dan Soeharto lengser termasuk kiat Soeharto memecat Ibnu Sutowo, memusuhi Ali Sadikin, Letjen M Jasin, serta Jenderal Besar AH Nasution. Semuanya dibungkus dengan slogan persatuan dan kesatuan tentara, tapi elitenya penuh persaingan dan permusuhan sengit yang biasanya diledakkan dengan meminjam tangan pihak ketiga. Mungkin saja ada kepentingan politik sesaat, tapi kemudian tersesat jadi anarki dan menimbulkan korban rakyat jelata mulai dari Malari sampai penjarahan Mei 1998.
Masa lalu ini tidak boleh terulang. Itulah sebabnya seruan PGI - KWI agar pemilih mewaspadai rekam jejak elite partai dan capres sebelum menjatuhkan pilihan pada 9 April. Elite yang bermental status quo telah membuat regulasi yang mengakibatkan rakyat terjebak pada dualisme dan kohabitasi "kumpul kebo" sistem presidensial dan parlementer. Calon independen tidak bisa muncul, partai dikuasai oligarki yang mewarisi pola kepemimpinan manunggal Soeharto. Partai bersifat kultus individu, pendiri, Pembina identik dengan partai, tidak mungkin muncul calon alternatif dari dalam struktur kepartaian.
Ketua umum otomatis jadi capres, seperti ketua umum parpol dalam sistem parlementer yang otomatis menjadi perdana menteri. Padahal, dalam sistem presidensial dengan pemilihan langsung, mekanisme internal partai juga harus terbuka untuk memungkinkan aspirasi segar menguak dari hierarki partai. Obama muncul dari bawah mengalahkan para senior, karena tidak ada ketua umum partai yang memonopoli posisi capres sebagai prerogatifnya. Inilah amburadulnya "kumpul kebo" presidensial parlementer.
Secara praktis pemilih Indonesia dihadapkan pada dilema ingin memilih capres yang secara individu popular (SBY), tapi kendaraan politiknya mirip "bemo". SBYmirip pembalap mobil Formula 1, tapi rakyat tidak sreg dengan partainya. Sementara Jusuf Kalla, dalam survei, tingkat elektabilitasnya rendah, tapi Golkar ibarat mobil balap klasik yang sudah menang terus-menerus dalam balap pemilu meskipun dulu secara monopoli.
Pemilu tinggal 10 hari lagi, jadi tidak mungkin lagi mengejar suatu formula duet yang bisa memantapkan para pemilih agar menjatuhkan suara kepada duet kepresidenan yang ideal. Seandainya saya adalah SBY maka saya tidak akan ragu-ragu untuk mengumumkan cawapres justru sebelum Pemilu legislatif 9 April. Sekaligus mentransformasikan Partai Demokrat untuk menjadi Forum Masyarakat Indonesia (Formasi) yang menampung 30 juta golongan putih agar tidak ragu memilih SBY. Secara individual SBY adalah capres terkuat dan tidak perlu politicking untuk terpilih kembali.
Pada sarapan pagi di Washington DC, saya mengatakan bahwa sebagai presiden termin kedua harus berani meninggalkan legacy, yang akan tercatat kinerja prima dalam sejarah.
Tidak perlu terlalu "takut dengan DPR yang tidak bersih" yang citranya terpuruk, tapi harus langsung terjun ke rakyat seperti Obama menjual idé APBN-nya langsung ke rakyat. DPR tidak bisa seenaknya lagi "membajak" dan "menyandera" eksekutif.
Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional
No comments:
Post a Comment