Kampanye si Dagangan Politik |
Oleh : Drs Safwan Khayat, MHum
Lima tahun lalu, rakyat memilih calonnya untuk duduk di kursi legislatif.
Sungguh sebuah kursi elitis yang bahan baku terbuat dari suara rakyat, alas busa kekuasaan dan sandaran partai. Bungkusannya dilapisi kain politik yang diperindah dengan jahitan bordiran negosiasi. Semua mata "takjub" melihatnya, bukan karena indahnya tapi nilainya yang penuh ditaburi rupiah. Alangkah gemerlapnya bila seseorang menduduki kursi itu yang lengkap dengan fasilitas lainnya.
Tak sedikit pula rekening kontan mata uang rupiah untuk mendapatkannya. Itu pun tak cukup, harus ditambah pula dengan rekening giro janji-janji. Giro janji itu ada yang berjangka 6 bulan, 12 bulan hingga periodesasi 5 tahun. Giro janji itu digunakan untuk perbaikan jalan, pendidikan, kesehatan hingga rumah ibadah. Walau ada yang giro isi, tetapi tak sedikit giro kosong alias janji kosong.
Kursi ini di beli bukan di toko mebel atau gallery perabotan, tetapi dengan perjuangan kekuatan dan kekuasaan. Ruang pemasaran di buka dengan memasang gambar wajah harap, kata pilih, doa dan dukungan. Kursi pun dipasarkan di arena dagang politik secara terbuka. Si penjual mulai membentangkan dagangannya dengan menggenggam alat pengeras suara sambil berkata lantang. Mereka berharap dagangan politiknya laku terjual hingga orang berbondong-bondong menjatuhkan sikap belinya kepada si pedagang politik. Sungguh nyaris sama bagaikan bang Samirin ketika menjajaki dagangannya dengan obralan ekonomi di pasar.
Massa tumpah ruah di pasar politik yang telah di gelar. Kerumunan massa menuju titik kumpul yang telah di tentukan jadwal dan tempatnya. Beragam atribut berseleweran di jalanan persis seperti pawai karnaval yang mengundang perhatian massa. Teriakan, dan yel-yel lebur dalam sorakan ambisius tanpa memperdulikan keadaan sekitarnya. Jalanan macet karena dirambah padatnya kenderaan. Hukum lalu lintas ditabrak bias dari konvoi kenderaan aksi massa partai. Ada yang bergantungan di atas kenderaan mobil angkutan, pengemudi sepeda motor yang tak pakai helm, terobos lampu merah (traffic light), konvoi sambil berteriak terkesan menimbulkan sikap gaduh di jalanan dan sedikit mengganggu kenyamanan bagi pengguna jalan raya.
Kini kampanye telah di gelar dengan olahan kata yang dirangkai bagai puisi salju yang digerai di panggung politik. Tak satu kata yang tersisa, tak sedikit janji yang terucap. Tak ada kata yang berbilang semua lebur dalam dagangan politis yang dikerumuni massa. Orasi menjadi senjata utama guna meyakini produk dagangannya. Strategi, teknik dan taktik (Stratak) beragam pola yang penting dagangan laris terjual.
Terkadang sengaja atau tidak, ucapan pembusukan atas produk lain keluar tanpa pengawasan. Kemampuan berorasi menjadi senjata bagi sang penjual (juru kampanye) menyerang lawan politiknya. Etika, norma dan adab tak lagi bertahta sebagai basis kekuatan moral, tetapi yang muncul kental nuansa kepentingan untuk menang.
Rangkaian kata tersusun rapi, puisi yang di cipta terucap syahdu dan ayat-ayat Tuhan ikut terbawa dilantunkan hikmad. Semua itu menjadi "Stratak" yang direncanakan secara sistematis dan matang.
Kampanye bagian dari strategi mendulang suara. Ada yang digelar rapat umum atau kampanye terbuka, ada bentuknya tersembunyi dengan memberikan bantuan dengan pola dan jenis material tertentu. Kampanye metode dagangan politik dengan rekayasa modus yang disesuaikan dengan situasi. Berjuta uang habis terpakai, beribu orang turun ke jalan, beragam pola dilakukan demi mengejar setitik kepuasan. Berjuta janji terucap, berjuta harap pula di benak rakyat. Politisi tebar peduli, rakyat terpikat hati. Politisi mendapat kursi, rakyat terus menanti janji.
Kampanye bukanlah tujuan tetapi metode menuju tujuan. Kampanye hendaknya jangan melukai dan menyakitkan sebab perilaku itu melemahkan persatuan. Sampaikan yang benar walau tajam tapi tak melukai. Ajarkanlah rakyat berpolitik tanpa berniat mencabik-cabik. Politisi butuh suara, rakyat butuh murahnya harga. Politisi butuh kursi, rakyat minta bukti janji.
Hindari politik bagaikan membeli buah kuweni. Buah di pilih, di tekan dan di cium. Andai tak harum maka terbuanglah ia, jikalau harum maka dibeli buah itu. Bisa jadi, buah harum manis jika di buka isinya kelihatan busuk dan berulat. Terkadang buah yang di luar tajam kulitnya justru laris terjual yakni bagaikan buah durian dengan kulit yang tajam tetapi diminati banyak orang.
Gambaran buah ini tidak menjamin seseorang menyukainya. Bias jadi ada orang yang doyan kuweni, malah tidak suka bau durian apalagi memakannya. Tetapi cukup banyak pengagum durian walau kulitnya tajam melukai tangan. Jika buah itu matang dan andaikan rusak, tak ada durian busuk, yang ada durian asam. Tak ada kuweni asam, tetapi yang banyak kuweni busuk.
Agar tidak dapat buah yang asam dan busuk, pilihlah dengan cermat, teliti dan gunakan rasio memilih. Berkampanye tetap menjaga persatuan dengan memperkuat saling menghargai, menghormati dan tidak menyakiti. Harapan kita kualitas Pemilu tahun 2009 ini menghasilkan kualitas politisi yang beradab. Semoga..!!***
*Penulis, Alumni SMA Negeri 1 Medan, Alumni dan Dosen UMA, Alumni Pasca Sarjana USU Medan, , Email; safwankhayat@ yahoo.com. Website:http//Selalukuingat. blogspot.com
No comments:
Post a Comment