Tjipta Lesmana
Politik itu mahal. Di luar negeri, apalagi di Indonesia, permainan politik membutuhkan dana yang besar. Untuk bisa mewujudkan ambisi Anda menjadi wali kota atau bupati, gubernur atau presiden, dibutuhkan "logistik" yang kuat.Ketika diadakan Pilkada Gubernur DKI Jakarta, setahun lalu, misalnya, calon tertentu dikabarkan menghimpun dana sampai Rp 1 triliun. Bahkan supaya sebuah partai mau menyebutkan nama Anda sebagai salah satu cagub saja, paling tidak Rp 200 juta sudah melayang. Untuk pilkada gubernur di salah satu provinsi di Pulau Sumatera, baru-baru ini, seorang cagub menyediakan "logistik" sampai Rp 500 miliar.
Untuk apa saja dana sebesar itu? Terutama untuk kampanye, khususnya melalui media massa. Tarif iklan di koran dan televisi sangat mahal. Pos spendng kedua yang juga besar ialah kampanye massa. Katakan, sebuah partai politik mau berkampanye di Medan. Karena Medan -ibu kota Sumatera Utara- dinilai daerah strategis, partai menerjunkan pimpinan top-nya untuk berkampanye. Kalau bos pergi, selalu harus didampingi oleh sejumlah fungsionaris. Lazimnya juga dalam rombongan terdapat sejumlah artis.
Lalu, ini pos pengeluaran ketiga yang juga tidak kecil. Kepada massa yang dihadirkan di lapangan besar biasanya harus diberikan "amplop". Pasaran "amplop" sekarang Rp 20.000 per orang. Karena parpol Anda tergolong besar dan ternama, maka Anda menghimpun 10.000 "pendukung". Itu berarti Rp 200 juta hanya untuk pengeluaran "amplop".
Bagaimana dengan pengeluaran untuk atribut partai? Mereka yang hadir harus pakai kaos berlogo partai, bukan? Harus ada bendera partai dan umbul-umbul. Kendaraan bermotor yang ikut pawai harus dihias dengan segala macam atribut partai. Pengeluaran tidak berhenti sampai di situ. Massa mustahil datang dengan sendirinya dari rumah mereka masing-masing ke lapangan. Perlu ada orang-orang yang menggerakkan, mengkoordinir, dan membujuk mereka untuk mau hadir. Urusan teknis seperti ini biasanya dikerjakan oleh fungsionaris partai cabang, entah DPD atau DPC. Untuk itu, tentu, diperlukan dana.
Pertanyaan, dari mana partai politik mempunyai dana sebesar T-T-an, bukan lagi M-M-an?! "Oh, dana partai kami berasal dari sumbangan sukarela anggota, para kader, dan simpatisan," begitu kilah basa-basi pimpinan partai jika ditanya watawan, sebuah pernyataan yang bisa dipastikan bohong alias ngibul.
Parpol di Indonesia -untuk bisa memenangkan "peperangan"- harus "berkoalisi" dengan pengusaha besar alias cukong/konglomerat. Di Amerika, seorang politisi bisa sepenuhnya mengandalkan dana kampanye dari acara fund raising. Para pengusaha dan orang-orang ternama diundang dalam jamuan makan siang atau malam malam. Lalu calon memaparkan visi-misi dan kebijakannya jika terpilih, kemudian dari mereka diminta donasi. Di Indonesia, cara fund raising tidak populer. Orang kaya tidak mau tampil di publik dengan sorotan kamera pers. Takut nanti diincar petugas pajak. Yang lazim dilakukan oleh pimpinan parpol adalah mendekati satu atau dua konglomerat, minta dukungannya. Setelah itu, mereka diminta "mengkoordinir" urusan pendanaan.
Peta Politik
Bagaimana "peta politik cukong" Indonesia menghadapi Pemilu 2009? Sebelum menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita mengkaji dulu siapa calon presiden kuat sekarang. Ada lima capres kuat: Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati, Jusuf Kalla (JK), Sultan Hamengku Buwono X, dan Prabowo Subianto. Dari kelima calon ini, hanya Prabowo yang tampaknya mengandalkan pendanaannya dari diri sendiri. Sultan? Raja Yogyakarta ini tidak terlalu banyak koneksinya dengan cukong. Tentu, saya kenal satu atau dua bos besar yang sangat "simpati" pada pencalonan Sultan. Kepada salah satu "pembantu dekat" Sultan, saya pernah bertanya: "Dari mana logistiknya? Ia menjawab: "Sultan kaya, Pak, dari warisan!"
Jusuf Kalla dari sono-nya memang sudah kaya. Dia saudagar besar. Ayah dan kakeknya menjadi pengusaha sukses. Ditambah dengan beberapa konconya yang juga pengusaha besar, maka logistik JK tidak perlu diragukan.
Bagaimana dengan Megawati? Pada Pemilu 2004, perang terjadi antara PDI-P dan Partai Golkar. Kedua partai politik ini sama-sama kuat, sama-sama mendapat dukungan "logistik" besar dari banyak pengusaha. Suaminya diketahui pengusaha sukses. Wajar jika ia memiliki hubungan dekat dengan sejumlah konglomerat. Karena Megawati adalah mantan Presiden RI, sah-sah saja jika ketika itu tidak sedikit konglomeat yang "merapat" ke PDI-P. Persoalannya, apakah mereka masih setia kepada Mega?
Dari kelima capres itu, dari sudut "logistik" SBY dikabarkan paling perkasa. Sejumlah cukong besar mendukung pencalonannya kembali. Chairul Tandjung dan Antony Salim, disebut-sebut dekat dengan Cikeas. Perhatikan juga ketika digelar acara peringatan Tahun Baru Imlek pada Februari yang lalu. Puluhan pengusaha besar berdiri di belakang SBY di atas panggung. Mereka meneriakkan slogan khas SBY. Secara simbolik -menurut teori interaksi simbolik- adegan itu memiliki meta-meaning yang amat dalam jika dikaitkan dengan Pemilu 2009.
Penulis adalah pengamat politik, dan pakar komunikasi politik
No comments:
Post a Comment