Sungai Bukan Bak Sampah
Oleh
Sulung Prasetyo
JAKARTA – Ketika Pantai Kuta di Bali diserang sampah awal tahun ini, ratusan turis yang sedang berjemur tiba-tiba panik. Tak cuma turis, pecalang, petugas pantai, masyarakat, dan pemerintah daerah seperti secara tiba-tiba diserang makhluk halus. Sepertinya Pulau Dewata mendapat kutukan karena kurangnya persembahan yang biasa diletakkan di jalan-jalan.
Lalu doa-doa di pura-pura dilakukan dengan makin khusuk, ditambah persembahan yang diperbanyak. Tapi tampaknya dewa tetap tak senang, Pantai Kuta kembali diserang kedua kalinya oleh sampah di bulan Februari. Kali ini sampah kebanyakan berjenis plastik dan tempat-tempat persembahan kecil berbahan daun kelapa. Usut punya usut, ternyata bukan kemarahan dewa sebagai musabab Pantai Kuta dihantui sampah. Tapi, tampaknya pengelolaan sampah di Bali memang perlu dibenahi. Budaya masyarakat yang suka membuang sampah sembarangan di sungai, ditelisik menjadi awal musibah tersebut. Jadi, pantas bila persembahan menjadi seperti tak ada gunanya karena bukannya membuat Pantai Kuta tak diserang sampah kembali, namun justru membuat sampah menjadi makin banyak, karena makin banyak persembahan yang diberikan.
Pangkal Masalah
Maggie Dunkle, seorang warga negara Australia yang kerap mengunjungi Bali jeli melihat pangkal masalah tersebut. Kemudian dengan nalar pintar, wanita berusia 52 tahun itu mengejewantahkannya dalam sebuah buku anak-anak. Buku yang bercerita mengenai perjalanan seekor burung Camar dan Kokokan menyusuri sungai itu dan menjabarkan cerita mengenai sungai yang makin tak bersahabat. "Ada dua hal yang ingin disampaikan buku ini," ujar Maggie saat peluncuran bukunya di Ubud Bali, Sabtu (14/3) lalu. "Yang pertama, menolong anak-anak untuk belajar memahami masalah dan menyebarkan semangat harapan," tambah Maggie dengan senyum lebarnya.
Buku itu sendiri merupakan buku kedua, setelah tahun lalu diluncurkan pula buku dengan gaya serupa berjudul Penyu dan Lumba-Lumba. Margiyono, pelukis dari buku tersebut kali ini mengaku agak kesulitan mengilustrasikan gambar. "Kalau untuk buku pertama butuh tiga bulan untuk menggambar, sekarang butuh enam bulan," ujar pria dengan rambut gondrong ini.
Melukiskan masalah dengan gambar memang menjadi cara Maggie menyampaikan pesan lingkungan di dalamnya. Dengan cara tersebut diharapkan anak-anak menjadi tertarik dan ingin turut menyelamatkan lingkungan, terutama sungai. Di dalam buku tersebut memang digambarkan bagaimana burung Camar dan Kokokan merasa sedih melihat pantai yang penih sampah. Kemudian mereka terbang menyisiri sungai untuk mencari sumber masalah. Di sepanjang perjalanan mereka menemukan banyak orang yang membuang sampah sembarangan. Beberapa pemancing hanya mendapatkan sandal dan beberapa anak sedang bermain-main di sungai.
Dharma, yang tinggal di Bali bagian barat membenarkan asumsi kalau sungai di Bali sekarang tambah buruk rupa. Sekarang sulit melihat dasar beberapa sungai di sekitar tempatnya. "Padahal dulu kami bisa berenang-renang dan mencari ikan disana," ujar Dharma, mengenang masa kecilnya.
Mencemaskan
Kondisi sungai di sebagian besar wilayah Indonesia kini memang mencemaskan. Kalau diibaratkan secara negatif, sekarang sungai seperti tempat sampah berjalan saja. Di Sungai Kapuas Kalimantan Barat, sampah pernah terjebak di pinggir-pinggir ponton yang sedang diistirahatkan. Di Sungai Palu Sulawesi Tengah, orang-orang membuang sampah di malam hari. Di Sungai Musi, beberapa anak sungainya seperti Sungai Jeruju, Bayas, Karang, Sungai Tawar, Sungai Bendung, Rendang, dan Sungai Kedukan, tampak dipenuhi sampah. Apalagi, di Sungai Ciliwung yang membelah Jakarta. Dalam sebuah laporan di awal tahun ini setidaknya 90 truk sampah harus disediakan untuk mengangkut sampah yang tersangkut di jembatan pascabanjir. Jumlah tersebut setara dengan 1.800 meter kubik per hari.
Sementara itu, menurut Tri Mumpuni, Direktur Eksekutif Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) yang banyak berkecimpung dalam pemanfaatan listrik menggunakan arus sungai menyatakan, banyak Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) saat ini rusak karena pasokan air sungai yang makin sekarat. Seperti di Lamajan, Bengkok di Dago Pakar, Bandung, PLTMH milik PLN sebanyak dua buah saat ini dinyatakan tak berfungsi lagi.
Sementara itu, di Cijambe dan Cinangkling, PLTMH yang telah dibangun dari zaman Belanda juga rusak. "Produksinya turun karena memang sudah terlalu banyak manusia, dan lokasinya sudah tidak di hutan seperti dulu lagi karena sudah banyak permukiman," urai Tri Mumpuni melalui surat elektroniknya, Jumat (20/3) lalu.
Sementara itu, PLTMH yang dibangun Ibeka biasanya masih di pedesaan yang lokasinya sangat terpencil serta memiliki hulu sungai yang baik, sehingga minim kerusakan. Memang, sungai-sungai yang digunakan untuk beberapa PLTMH banyak mengandung sampah sekarang. Jenisnya seperti sampah kasur dan sofa. Itu kalau di kota, kalau di desa biasanya sampah organik dan plastik pembungkus. Meskipun juga mengganggu produksi listrik dari PLTMH, Tri Mumpuni menganggap sampah tersebut belum mengganggu. Sebab, sistem desain PLTMH sudah menggunakan saringan sedemikian rupa sehingga air yang masuk sudah benar-benar tersaring.
Dalam pengamatan SH di Sungai Cisadane bersama Mapala UI, akhir minggu pertama bulan Maret 2009 ini, sampah masih tampak memenuhi bagian sungai antara Bantar Kambing hingga daerah Karikil. Warna air juga makin bertambah cokelat. Beberapa anak sungai Cisadane seperti Ciareuteun dan Cianten, bernasib sama.
Bau Tak Sedap
Pengalaman SH melintasi beberapa sungai di Jawa menunjukkan kondisi yang tak jauh berbeda. Di Sungai Citarum, dekat lokasi Sang Hyang Sirah, bau sungai sangat tak sedap. Sungai Cimandiri, tak kontan debit airnya, pertanda kondisi hutan-hutan di hulunya makin tak baik. Bahkan di sungai-sungai yang kerap dijadikan lokasi arung jeram, seperti Cicatih dan Citarik, kondisi sungai sepertinya tak lebih baik. Beberapa sungai yang jauh dari permukiman seperti Cikandang, Cikaso, dan Cibuni, tampak agak lebih bersih. Namun sungai besar seperti Cimanuk, tak luput dari serangan sampah yang makin besar jumlahnya.
Tampaknya jumlah sampah di sungai juga berhubungan erat dengan jumlah orang yang tinggal di sekitarnya. Sungai-sungai dekat perbatasan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, seperti Sungai Balease, Pattikala, dan Kalaena, tampak aliran airnya masih jernih. Sementara itu, sungai di Yogyakarta seperti Kali Code, terus mengalami penurunan kejernihan karena tabiat warganya yang membuang sampah secara serampangan. (sulung prasetyo)
No comments:
Post a Comment