Senin, 23 Maret 2009 |
BURAS |
H. Bambang Eka Wijaya
"SETIAP bicara perilaku politik selalu Kakek kaitkan dengan moral dan etika para aktornya! Bukankah moral dan etika itu isinya sama?" ujar cucu. "Lalu Kakek juga mengatakan di atas hierarki moral dan etika itu ada estetika! Kenapa pula estetika menempati hierarki lebih tinggi?"
"Dilihat dari luar, praktek moral dan etika dalam perilaku memang bisa terlihat serupa--sama-sama tak melanggar hukum, yang haram, atau tidak berperilaku tercela! Bedanya pada penyikapan dalam bertindak pada sang aktor!" jawab kakek.
"Di persimpangan lampu merah, misalnya, dua pengendara sama-sama berhenti! Yang satu berhenti karena takut ada polisi berlindung di seberang lampu merah, dia bisa kena tilang! Orang ini mengamalkan moral, menaati aturan karena takut ancaman hukuman atau sanksi-sanksinya! Orang mengamalkan etika, ketika ia berhenti bukan takut polisi atau sanksi hukum, melainkan karena sadar saat itu ada orang dari arah lain sedang diberi hak melintas! Hingga, berdasar etika ia berhenti untuk menghormati hak orang lain!"
"Implementasi berpolitik dengan moral berarti, politisi tidak melanggar aturan karena takut di-PAW atau terjebak KPK! Sedang politisi yang terbukti diseret KPK dan dijebloskan hakim ke penjara, berarti tak mengamalkan moral dalam berpolitik!" timpal cucu.
"Yang tak menghormati hak dan kepentingan orang lain, tapi main tabrak atau bahkan asal serobot hak dan kepentingan orang lain, berpolitik tanpa etika! Lalu, bagaimana definisi estetika?"
"Sikap yang berorientasi pada estetika itu beyond, tidak sekadar bersikap lepas rodi atau pas-pasan pada tuntutan moral dan etika, tapi berbuat lebih jauh lagi dari sekadar kewajiban yang ada untuk itu! Beyond, berusaha mencapai kesempurnaan yang maksimal sesuai dengan batas kemampuan manusia dalam perbuatannya!" tegas kakek.
"Contohnya seorang anak yang diwajibkan orang tuanya setiap malam membaca Alquran dan maknanya setidaknya satu ayat, ia bukan hanya membaca lebih banyak ayat dan meresapi maknanya setiap malam, malah melakukannya dengan tajwid yang benar baik bunyi dan intonasi setiap hurufnya, maupun panjang pendek bacaannya! Tepatnya ia membaca dengan estetika yang maksimal, hingga yang terdengar bacaan merdu yang syahdu--mengaktualkan indahnya Alquran ciptaan Sang Khalik--estetika yang Illahiah!"
"Wow! Betapa indahnya kehidupan bernegara-bangsa kalau para politisi beyond, berpolitik dengan estetika, berusaha agar pengabdiannya sempurna semaksimal bisa dicapai manusia!" timpal cucu. "Malang nian rakyat, ketika yang hadir cuma politisi penebar janji palsu, tak jelas juntrungnya setelah mendapat kekuasaan!"
No comments:
Post a Comment