Menyelamatkan Pemilu 2009 |
Oleh Syamsuddin Haris
Pemilihan umum legislatif tinggal menghitung hari. Namun, kekisruhan manajemen pemilu tak kunjung berakhir. Daftar pemilih tetap yang amburadul, jadwal kampanye yang berubah-ubah, surat suara bermasalah, dan logistik pemilu yang salah alamat masih mewarnai persiapan pemilu. Akan tetapi, haruskah pemilu gagal atau ditunda?
Dibandingkan dengan persiapan Pemilu 2004, harus diakui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) relatif gagal membangun optimisme publik bahwa pemilu tanggal 9 April 2009 bisa berlangsung tanpa masalah berarti. Tanda-tanda akan hal itu sudah tampak sejak proses terbentuknya komisi, kinerja para anggota yang tidak fokus, kurang profesional dan mengabaikan prioritas, serta kepemimpinan dan manajerial yang lemah.
Ironisnya, alih-alih mendengarkan masukan dari berbagai kalangan, DPR, pemerintah, dan masyarakat, para anggota KPU justru sibuk memproduksi wacana yang tidak perlu. Para anggota bahkan diam-diam bergantian menyosialisasikan pemilu di luar negeri ketika kehadiran dan tanggung jawab mereka di dalam negeri lebih diperlukan.
Namun, semuanya sudah telanjur. Agenda kolektif bangsa kita menyelenggarakan pemilu tentu tidak bisa dikorbankan hanya karena berbagai kekisruhan yang sebenarnya bisa diantisipasi jika para anggota komisi bekerja atas dasar pengalaman pemilu sebelumnya. Karena itu, yang diperlukan saat ini bukanlah memperdebatkan wacana apakah pemilu ditunda atau diundur, melainkan meminimalkan distorsi yang bisa menggagalkan terselenggaranya pemilu.
Ditunda berisiko
Terlepas dari kinerja buruk KPU, harus ada komitmen semua pihak berkepentingan untuk turut membantu jajaran komisi serta Badan Pengawas Pemilu dan Panitia Pengawas Pemilu menyukseskan pemilu. Komitmen tersebut adalah bahwa pemilu harus berlangsung sesuai dengan jadwal karena tidak cukup alasan untuk mewacanakan penundaan atau pemunduran jadwal pemilu.
Kekisruhan persiapan pemilu di suatu wilayah atau beberapa daerah tertentu tidak harus dipandang sebagai kegagalan pemilu karena wilayah atau daerah lain tetap dapat melaksanakan pemilu serentak pada 9 April 2009. Apalagi Pasal 219 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif memungkinkan berlangsungnya pemungutan suara ulang. Pasal 228 UU yang sama bahkan memungkinkan dilakukannya pemilu lanjutan dan pemilu susulan bila terjadi situasi force majeure, seperti kerusuhan, bencana alam, dan gangguan keamanan.
Terlalu besar risiko politik bagi bangsa ini jika pemilu harus ditunda atau diundur hanya karena kekisruhan manajemen pemilu di beberapa daerah. Jika pemilu ditunda atau diundur, bukan semata-mata memperburuk citra KPU, melainkan juga merupakan kegagalan Presiden Yudhoyono sebagai penanggung jawab akhir penyelenggaraan pemilu. Selain itu, penundaan pemilu justru memberikan kesempatan bagi kekuatan-kekuatan antidemokrasi untuk benar-benar menggagalkan pemilu sebagai cara damai pergantian kekuasaan di dalam sistem demokrasi.
Antisipasi konflik
Mengingat terbatasnya waktu, yang diperlukan KPU saat ini adalah menyiapkan payung hukum antisipatif untuk mengurangi berlanjutnya kekisruhan yang berpotensi menimbulkan konflik. Payung hukum antisipatif itu terutama diperlukan pada saat pemungutan suara dan penghitungan suara, serta penetapan calon anggota legislatif (caleg) terpilih berdasarkan suara terbanyak oleh jajaran KPU sesuai dengan tingkat kewenangannya.
Pemerintah memang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pemilu Legislatif. Komisi juga sudah menerbitkan Peraturan KPU Nomor 35 Tahun 2008 tentang mekanisme pemungutan suara dan penghitungan suara. Namun, baik perppu maupun peraturan KPU tersebut relatif belum mengantisipasi kemungkinan ditemukannya daftar pemilih tetap bermasalah seperti terungkap di Jawa Timur. Antisipasi yang sama diperlukan berkaitan dengan perubahan cara memberikan suara melalui pencontrengan. Minimnya sosialisasi tentang cara mencontreng yang benar dan jumlah contrengan yang sah bisa berdampak pada tingginya persentase suara tidak sah pada pemilu mendatang.
Masalah lain yang memerlukan antisipasi dan kejelasan adalah cara atau mekanisme mendistribusikan suara rakyat yang hanya mencontreng tanda gambar partai dan tidak mencontreng nama atau nomor urut caleg. Kisruh, bahkan konflik, bisa terjadi apabila sebagian besar pemilih lebih mencontreng tanda gambar partai ketimbang nama atau nomor urut caleg, sementara pada saat yang sama tidak ada kejelasan bagaimana cara menerjemahkan suara partai menjadi suara caleg pada partai yang sama.
Evaluasi menyeluruh
Kekisruhan persiapan pemilu dewasa ini merupakan pelajaran amat berharga bagi bangsa kita sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Betapa tidak, ketika negara-negara lain bisa menyelenggarakan pemilu secara dadakan—acap kali hanya dalam waktu 2-3 bulan—bangsa kita tetap saja tidak pernah benar-benar siap menggelar ajang serupa meski persiapannya telah berlangsung bertahun-tahun.
Faktornya tentu tidak semata-mata kinerja buruk KPU. Problem lain bersumber pada program legislasi nasional yang tambal sulam—UU politik direvisi setiap pemilu, administrasi kependudukan yang sangat buruk, dan tidak adanya koordinasi antarinstansi. Kondisi ini diperparah oleh rendahnya komitmen politisi DPR selaku pembentuk UU dalam melembagakan sistem pemilu yang lebih sederhana dan simpel bagi rakyat.
Oleh karena itu, diperlukan evaluasi menyeluruh atas semua sistem yang terkait dengan manajemen penyelenggaraan pemilu. KPU sebagai penyelenggara pemilu perlu belajar dan bekerja lebih serius agar kekisruhan serupa tidak terulang pada pemilu presiden mendatang. Kalau tidak, kekuatan-kekuatan antidemokrasi akan memanfaatkan kekisruhan pemilu sebagai bagian dari skenario mereka.mr.
Syamsuddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI
No comments:
Post a Comment