Menunggu Argumentasi Prabowo

 

Menunggu Argumentasi Prabowo

Jum'at, 13 Maret 2009 | 23:48 WIB

Keberatan Prabowo terhadap biografi Letnan Jenderal (Purn.) Sintong Panjaitan sebaiknya segera dituangkan pula dalam sebuah buku. Jawaban-jawaban singkat Prabowo Subianto kepada pers, apalagi sambil bercanda, tidaklah memadai. Penjelasan yang serius amat diperlukan demi transparansi sejarah.

Tuduhan Sintong dalam bukunya bertajuk Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando tak bisa dianggap enteng. Salah satunya mengenai tudingan bahwa Prabowo pernah berencana menculik petinggi TNI. Kisah ini didasari pengakuan Luhut Panjaitan, saat itu mayor infanteri, atasan langsung Prabowo di Kopassus. Diungkapkan, pada Maret 1983, Kapten Inf. Prabowo, Wakil Komandan Detasemen Antiteror, bertingkah laku aneh. Ia seperti seorang yang tengah stres dan menganggap negara dalam keadaan genting.

Menurut Luhut, tanpa memberi tahu dirinya, Prabowo telah menyiapkan pasukan detasemen untuk menculik Letjen L.B. Moerdani dan sejumlah perwira TNI. Itu karena ia melihat Moerdani bakal melakukan kudeta merebut takhta Soeharto. Tanda-tandanya, Moerdani memasok senjata dalam jumlah besar ke Jakarta. Luhut kurang percaya kepada informasi ini. Ia akhirnya berhasil mencegah tindakan Prabowo dengan membubarkan status siaga detasemennya.

Ketika dimintai konfirmasi oleh wartawan, Prabowo mengelak. Ia menyatakan tak mungkin seorang kapten seperti dirinya saat itu ingin menculik jenderal. Bantahan seperti ini tidak cukup. Apalagi Luhut sampai ingat betul kata-kata Prabowo: "Bang, nasib negara ini ditentukan oleh seorang kapten dan seorang mayor."

Data yang dihimpun Hendro Subroto, penulis buku biografi Sintong itu, cukup meyakinkan. Pembaca dapat melihat kutipan yang jernih dari berbagai sumber. Memang sumber utama, Benny Moerdani, yang telah meninggal, tak sempat diwawancarai. Tapi banyak sumber lain yang masih hidup yang bisa dimintai konfirmasi.

Mendekati pemilu, penerbitan buku ini memang bisa dianggap upaya memojokkan citra Prabowo sebagai calon presiden dari Partai Gerindra. Tapi kita harus melihat pula dari sisi lain. Munculnya buku seperti ini merupakan hal wajar dalam masyarakat terbuka. Dalam iklim demokrasi, para pelaku sejarah justru dituntut berani membeberkan kesaksiannya atas suatu peristiwa penting.

Ketika disingkirkan dari TNI pada 1998, Prabowo suatu kali dalam sebuah wawancara pernah memetaforakan dirinya bagaikan anak bungsu Raja Hidetora dalam film Ran besutan Akira Kurosawa, adaptasi dari King Lear karya Shakespeare. Anak bungsu itu mengingatkan sang ayah bahwa ia bakal dikudeta. Tapi infonya tak dipercaya, malah ia dianggap mengada-ada dan kemudian disingkirkan. Sebaliknya, Sintong dalam buku itu dengan tajam menyebut Prabowo bagaikan putra Saddam. Setelah Maret 1983 itu, menurut dia, seharusnya Prabowo ditindak. Tapi kenyataannya TNI tak berani mengambil tindakan apa pun, karena segan Prabowo menantu Presiden Soeharto.

Khalayak ingin tahu mana yang benar, apakah Prabowo "putra bungsu King Lear" ataukah "anak Saddam". Polemik berbentuk buku merupakan cara terbaik. Tak hanya berguna bagi publik, tapi juga demi kejernihan sejarah TNI. Itu sebabnya, penjelasan lengkap versi Prabowo amat ditunggu.

No comments:

Archives