Chandra dan Bibit Ditahan
SBY: Jika Saya Intervensi, Sistem dan Kehidupan Bernegara akan Rusak
Anwar Khumaini - detikNews
Jakarta - Presiden SBY tidak mau melakukan intervensi atas penyidikan terhadap dua pimpinan KPK nonaktif Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah. Sebab, jika dirinya melakukan intervensi, maka sistem dan kehidupan bernegara akan rusak. SBY meminta semua pihak menghormati proses hukum yang berlangsung.
SBY mengaku sempat mendapat permintaan dari mantan pimpinan KPK yang meminta agar dirinya meminta polisi mengeluarkan SP3 dalam kasus Bibit dan Chandra. "Penyidikan ini tengah berlangsung. Kalau itu saya ikuti, terus saya minta polisi yang sedang menyidik keluarkan SP3, Kejagung yang sedang menyidik keluarkan SP3, begitu juga dengan KPK, saya kira sistem dan kehidupan bernegara kita akan rusak. Saya dengan tegas mengatakan, saya tidak boleh dan tidak akan melakukan intervensi seperti itu," kata SBY dalam jumpa pers di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (30/10/2009).
Jika yang dimaksud anggapan masyarakat bahwa dirinya melakukan pembiaran adalah karena tidak melakukan intervensi, maka itu akan kacau. Bila dirinya melakukan intervensi, maka yang terjadi adalah tebang pilih.
"Sementara ada perdebatan di luar yang saya dengar, bahwa Pak Bibit dan Pak Chandra sudah pasti tidak bersalah, kenapa harus ditahan. Itu bukan kewenangan saya untuk menjelaskan. Yang harus menjelaskan tentu pimpinan Polri, karena yang menahan beliau adalah Polri," kata SBY.
Penentuan apakah Bibit dan Chandra bersalah atau tidak, lanjut SBY, harus menunggu proses hukum selesai. "Kalau tidak bersalah, tidak dapat dibuktikan melanggar hukum, maka keduanya harus dibebaskan. Itu keadilan. Kalau dalam proses hukum, beliau bersalah, tentu mendapat sanksi," tegas SBY.
SBY meminta semua pihak menghormati proses hukum yang berjalan. "Mari kita hormati proses hukum yang berjaan, karena ini masih dalam penyidikan polisi. Dan andaikata nanti masuk dalam penuntutan kejaksaan, saya tidak tahu apakah akan berhenti di situ atau masuk pengadilan. Yang jelas, sering saya sampaikan kepada Kapori dan Jaksa Agung, bila akan berlanjut nantinya, hakim dan pembela bertindaklah profesional, yang adil dan objektif, yang transparan, supaya rakyat bisa mengikuti proses apa dakwaannya, apa sangkaannya. Dan semuanya mesti dipertanggungjawabkan. Itu yang perlu ditegakkan di negeri ini, demi keadilam," pinta SBY.
(asy/nrl)
Jumat, 30/10/2009 16:53 WIB
Bibit & Chandra Ditahan
Singgung Rivalitas KPK-Polri, SBY Hanya Bisa Menengahi
Anwar Khumaini - detikNews
SBY mengaku sempat mendapat permintaan dari mantan pimpinan KPK yang meminta agar dirinya meminta polisi mengeluarkan SP3 dalam kasus Bibit dan Chandra. "Penyidikan ini tengah berlangsung. Kalau itu saya ikuti, terus saya minta polisi yang sedang menyidik keluarkan SP3, Kejagung yang sedang menyidik keluarkan SP3, begitu juga dengan KPK, saya kira sistem dan kehidupan bernegara kita akan rusak. Saya dengan tegas mengatakan, saya tidak boleh dan tidak akan melakukan intervensi seperti itu," kata SBY dalam jumpa pers di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (30/10/2009).
Jika yang dimaksud anggapan masyarakat bahwa dirinya melakukan pembiaran adalah karena tidak melakukan intervensi, maka itu akan kacau. Bila dirinya melakukan intervensi, maka yang terjadi adalah tebang pilih.
"Sementara ada perdebatan di luar yang saya dengar, bahwa Pak Bibit dan Pak Chandra sudah pasti tidak bersalah, kenapa harus ditahan. Itu bukan kewenangan saya untuk menjelaskan. Yang harus menjelaskan tentu pimpinan Polri, karena yang menahan beliau adalah Polri," kata SBY.
Penentuan apakah Bibit dan Chandra bersalah atau tidak, lanjut SBY, harus menunggu proses hukum selesai. "Kalau tidak bersalah, tidak dapat dibuktikan melanggar hukum, maka keduanya harus dibebaskan. Itu keadilan. Kalau dalam proses hukum, beliau bersalah, tentu mendapat sanksi," tegas SBY.
SBY meminta semua pihak menghormati proses hukum yang berjalan. "Mari kita hormati proses hukum yang berjaan, karena ini masih dalam penyidikan polisi. Dan andaikata nanti masuk dalam penuntutan kejaksaan, saya tidak tahu apakah akan berhenti di situ atau masuk pengadilan. Yang jelas, sering saya sampaikan kepada Kapori dan Jaksa Agung, bila akan berlanjut nantinya, hakim dan pembela bertindaklah profesional, yang adil dan objektif, yang transparan, supaya rakyat bisa mengikuti proses apa dakwaannya, apa sangkaannya. Dan semuanya mesti dipertanggungjawabkan. Itu yang perlu ditegakkan di negeri ini, demi keadilam," pinta SBY.
(asy/nrl)
Jumat, 30/10/2009 16:53 WIB
Bibit & Chandra Ditahan
Singgung Rivalitas KPK-Polri, SBY Hanya Bisa Menengahi
Anwar Khumaini - detikNews
(Foto: dok detikcom)
Jakarta - SBY membantah melakukan pembiaran rivalitas kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri terkait penahanan 2 pimpinan KPK. Sebagai Presiden, dirinya hanya bisa menengahi bukan menyelesaikan sengketa wewenang kedua lembaga penegak hukum itu.
"Ada yang bertanya, ini Presiden kok melakukan pembiaran? Apa yang dimaksudkan pembiaran?" ujar Presiden SBY dalam jumpa pers di Kantor Presiden, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Jumat (30/10/2009).
SBY menambahkan, kalau dikaitkan gesekan Polri dengan KPK atau antarlembaga negara, Presiden bisa menengahi atau memfasilitasi untuk menyelesaikan gesekan itu. SBY mencontohkan saat 5 tahun pemerintahannya yang pertama.
"Saya menengahi antara KPK dengan MA, pada saat pimpinan MA Pak Bagir Manan. Dan saya memfasilitasi gesekan KPK dengan BPK, waktu itu KPK dipimpin Pak Taufiqurrahman Ruki dan BPK Pak Anwar Nasution," jelas SBY.
Sekitar 2 atau 3 bulan lalu, imbuh SBY, dirinya juga sudah mengundang Kapolri, Jaksa Agung dan Pimpinan KPK, memfasilitasi supaya tidak ada gesekan di antara 2 lembaga itu.
"Bahkan secara terpisah saya terima pimpinan KPK. Saya betul-betul adil dari kedua belah pihak, jangan betul-betul ada gesekan antarlembaga," jelasnya.
Lain soal bila gesekan itu menuju kepada penyelesaian sengketa wewenang lembaga negara. Presiden, kata dia, tidak punya kuasa menyelesaikan sengketa wewenang antarlembaga negara.
"Kalau sengketa kewenangan lembaga negara bukan wewenang presiden, itu kewenangan MK untuk menyelesaikannya. Jadi kalau ada usul Presiden mengundang KPK dan Kepolisian, tidak saya lakukan," tegas SBY.
"Tapi kalau yang dilakukan pembiaran Kapolri tidak meminta misalnya, jangan ditahan seseorang, saya memerintahkan pada Kapolri atau Jaksa Agung, maka itu yah, saya melanggar sumpah. Bagaimana mungkin saya melarang atau menyuruh penegak hukum melakukan sesuatu pada proses hukum," ujar dia.
(nwk/nrl
"Ada yang bertanya, ini Presiden kok melakukan pembiaran? Apa yang dimaksudkan pembiaran?" ujar Presiden SBY dalam jumpa pers di Kantor Presiden, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Jumat (30/10/2009).
SBY menambahkan, kalau dikaitkan gesekan Polri dengan KPK atau antarlembaga negara, Presiden bisa menengahi atau memfasilitasi untuk menyelesaikan gesekan itu. SBY mencontohkan saat 5 tahun pemerintahannya yang pertama.
"Saya menengahi antara KPK dengan MA, pada saat pimpinan MA Pak Bagir Manan. Dan saya memfasilitasi gesekan KPK dengan BPK, waktu itu KPK dipimpin Pak Taufiqurrahman Ruki dan BPK Pak Anwar Nasution," jelas SBY.
Sekitar 2 atau 3 bulan lalu, imbuh SBY, dirinya juga sudah mengundang Kapolri, Jaksa Agung dan Pimpinan KPK, memfasilitasi supaya tidak ada gesekan di antara 2 lembaga itu.
"Bahkan secara terpisah saya terima pimpinan KPK. Saya betul-betul adil dari kedua belah pihak, jangan betul-betul ada gesekan antarlembaga," jelasnya.
Lain soal bila gesekan itu menuju kepada penyelesaian sengketa wewenang lembaga negara. Presiden, kata dia, tidak punya kuasa menyelesaikan sengketa wewenang antarlembaga negara.
"Kalau sengketa kewenangan lembaga negara bukan wewenang presiden, itu kewenangan MK untuk menyelesaikannya. Jadi kalau ada usul Presiden mengundang KPK dan Kepolisian, tidak saya lakukan," tegas SBY.
"Tapi kalau yang dilakukan pembiaran Kapolri tidak meminta misalnya, jangan ditahan seseorang, saya memerintahkan pada Kapolri atau Jaksa Agung, maka itu yah, saya melanggar sumpah. Bagaimana mungkin saya melarang atau menyuruh penegak hukum melakukan sesuatu pada proses hukum," ujar dia.
(nwk/nrl
Jumat, 30/10/2009 16:52 WIB
ICM Desak Denny Indrayana Mundur dari Staf Khusus Bidang Hukum SBY
Bagus Kurniawan - detikNews
ICM Desak Denny Indrayana Mundur dari Staf Khusus Bidang Hukum SBY
Bagus Kurniawan - detikNews
dok detikcom
Yogyakarta - Indonesian Court Monitoring (ICM) mendesak staf khusus presiden bidang hukum Denny Indrayana mundur dari jabatannya. Deny lebih baik bergabung kembali bersama para penggiat anti korupsi dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Denny Indrayana masih tercatat sebagai Dewan Etik ICM. Kami mendesak agar Denny Indrayana mundur dari jabatan staf khusus Presiden bidang hukum," kata Direktur Eksekutif ICM Tri Wahyu, kepada wartawan di kantor Pukat Korupsi UGM di kompleks Bulaksumur Yogyakarta, Jumat (30/10/2009).
Menurut Wahyu, ada beberapa hal yang dijadikan alasan desakan ini. Salah satunya Denny tidak mampu mempengaruhi kebijakan SBY di bidang hukum, khususnya kasus korupsi dan kriminalisasi yang terjadi di tubuh KPK.
Di sisi lain, kata Wahyu, saat ini Presiden SBY juga telah berubah pemikirannya dari penekanan untuk percepatan pemberantasan korupsi, kemudian hanya menjadi pencegahan korupsi. Padahal jelas-jelas amanat dari Inpres 5/2004 adalah dilakukannya percepatan pemberantasan korupsi.
"Kami menilai ada perubahan penekanan, dari percepatan pemberantasan korupsi dan hanya menjadi pencegahan korupsi. Ini artinya istana ikut 'merestui' terjadinya korupsi tersebut," kata Wahyu.
Sementara itu Direktur Pukat Korupsi, Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Muchtar menambahkan pihaknya juga sudah tidak ada hubungan secara khusus atau resmi dengan Denny semenjak menjadi staf khusus presiden. Meski Denny juga pernah menjabat sebagai direktur Pukat Korupsi sebelum dipegang oleh Zainal.
"Kita yang di sini (Pukat-red) juga sudah tidak ada hubungan khusus dengan Denny kecuali hubungan sebagai teman atau kolega atau sebagai pengajar. Dia juga sudah tidak tercatat di Pukat," pungkas Zainal.
(bgs/djo)
Jumat, 30/10/2009 16:58 WIB"Denny Indrayana masih tercatat sebagai Dewan Etik ICM. Kami mendesak agar Denny Indrayana mundur dari jabatan staf khusus Presiden bidang hukum," kata Direktur Eksekutif ICM Tri Wahyu, kepada wartawan di kantor Pukat Korupsi UGM di kompleks Bulaksumur Yogyakarta, Jumat (30/10/2009).
Menurut Wahyu, ada beberapa hal yang dijadikan alasan desakan ini. Salah satunya Denny tidak mampu mempengaruhi kebijakan SBY di bidang hukum, khususnya kasus korupsi dan kriminalisasi yang terjadi di tubuh KPK.
Di sisi lain, kata Wahyu, saat ini Presiden SBY juga telah berubah pemikirannya dari penekanan untuk percepatan pemberantasan korupsi, kemudian hanya menjadi pencegahan korupsi. Padahal jelas-jelas amanat dari Inpres 5/2004 adalah dilakukannya percepatan pemberantasan korupsi.
"Kami menilai ada perubahan penekanan, dari percepatan pemberantasan korupsi dan hanya menjadi pencegahan korupsi. Ini artinya istana ikut 'merestui' terjadinya korupsi tersebut," kata Wahyu.
Sementara itu Direktur Pukat Korupsi, Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Muchtar menambahkan pihaknya juga sudah tidak ada hubungan secara khusus atau resmi dengan Denny semenjak menjadi staf khusus presiden. Meski Denny juga pernah menjabat sebagai direktur Pukat Korupsi sebelum dipegang oleh Zainal.
"Kita yang di sini (Pukat-red) juga sudah tidak ada hubungan khusus dengan Denny kecuali hubungan sebagai teman atau kolega atau sebagai pengajar. Dia juga sudah tidak tercatat di Pukat," pungkas Zainal.
(bgs/djo)
Bibit & Chandra Ditahan
MPR Minta Polri Transparan dan Tidak Gegabah
Elvan Dany Sutrisno - detikNews
Jakarta - Desakan agar polisi bersikap transparan dalam kasus penahanan pimpinan KPK Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah terus bergulir. Setelah Presiden SBY memerintahkan kepada Kapolri melakukan transparansi, giliran lembaga MPR juga menuntut hal yang sama.
"Polri jangan mencari-cari alasan, karena publik melihat KPK sebagai lembaga yang tertib. Mereka tidak mangkir dari pemangilan dan pemeriksaan," kata Wakil Ketua MPR Hajriyanto Tohari kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (30/10/2009).
Menurut politisi Golkar ini, seharusnya sebelum menahan Bibit dan Chandra, Polri mengkaji dulu implikasi hukum dan politiknya. Kecermatan seperti itu akan menjadikan wibawa Polri akan meningkat. Tidak seperti saat ini yang dinilai ceroboh.
"Harusnya Polri berhati-hati dalam memeriksa KPK. Harus diingat, aspirasi publik terhadap pemberantasan korupsi sangat besar. Dan KPK itu ikon pemberantasan korupsi yang lahir karena ketidakpercayaan publik kepada penegak hukum," paparnya.
Menurut Hajriyanto, saat ini publik dihadapkan pada keterbukaan yang dicontohkan KPK. Karena itu, sekalipun penahanan menjadi wewenang Polri, keterbukaan dan transparansi tetap sangat dibutuhkan.
"Yang dibutuhkan saat ini keterbukaan dan transparansi. Alasan harus disampaikan secara detail. Jangan alasan umum. Masa karena hanya menggelar konpers, tiba-tiba ditahan. Publik melihat itu terlalu dipaksakan," pungkasnya.
(yid/nrl)
"Polri jangan mencari-cari alasan, karena publik melihat KPK sebagai lembaga yang tertib. Mereka tidak mangkir dari pemangilan dan pemeriksaan," kata Wakil Ketua MPR Hajriyanto Tohari kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (30/10/2009).
Menurut politisi Golkar ini, seharusnya sebelum menahan Bibit dan Chandra, Polri mengkaji dulu implikasi hukum dan politiknya. Kecermatan seperti itu akan menjadikan wibawa Polri akan meningkat. Tidak seperti saat ini yang dinilai ceroboh.
"Harusnya Polri berhati-hati dalam memeriksa KPK. Harus diingat, aspirasi publik terhadap pemberantasan korupsi sangat besar. Dan KPK itu ikon pemberantasan korupsi yang lahir karena ketidakpercayaan publik kepada penegak hukum," paparnya.
Menurut Hajriyanto, saat ini publik dihadapkan pada keterbukaan yang dicontohkan KPK. Karena itu, sekalipun penahanan menjadi wewenang Polri, keterbukaan dan transparansi tetap sangat dibutuhkan.
"Yang dibutuhkan saat ini keterbukaan dan transparansi. Alasan harus disampaikan secara detail. Jangan alasan umum. Masa karena hanya menggelar konpers, tiba-tiba ditahan. Publik melihat itu terlalu dipaksakan," pungkasnya.
(yid/nrl)
Jumat, 30/10/2009 16:52 WIB
ICM Desak Denny Indrayana Mundur dari Staf Khusus Bidang Hukum SBY
Bagus Kurniawan - detikNews
dok detikcom
ICM Desak Denny Indrayana Mundur dari Staf Khusus Bidang Hukum SBY
Bagus Kurniawan - detikNews
dok detikcom
Yogyakarta - Indonesian Court Monitoring (ICM) mendesak staf khusus presiden bidang hukum Denny Indrayana mundur dari jabatannya. Deny lebih baik bergabung kembali bersama para penggiat anti korupsi dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Denny Indrayana masih tercatat sebagai Dewan Etik ICM. Kami mendesak agar Denny Indrayana mundur dari jabatan staf khusus Presiden bidang hukum," kata Direktur Eksekutif ICM Tri Wahyu, kepada wartawan di kantor Pukat Korupsi UGM di kompleks Bulaksumur Yogyakarta, Jumat (30/10/2009).
Menurut Wahyu, ada beberapa hal yang dijadikan alasan desakan ini. Salah satunya Denny tidak mampu mempengaruhi kebijakan SBY di bidang hukum, khususnya kasus korupsi dan kriminalisasi yang terjadi di tubuh KPK.
Di sisi lain, kata Wahyu, saat ini Presiden SBY juga telah berubah pemikirannya dari penekanan untuk percepatan pemberantasan korupsi, kemudian hanya menjadi pencegahan korupsi. Padahal jelas-jelas amanat dari Inpres 5/2004 adalah dilakukannya percepatan pemberantasan korupsi.
"Kami menilai ada perubahan penekanan, dari percepatan pemberantasan korupsi dan hanya menjadi pencegahan korupsi. Ini artinya istana ikut 'merestui' terjadinya korupsi tersebut," kata Wahyu.
Sementara itu Direktur Pukat Korupsi, Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Muchtar menambahkan pihaknya juga sudah tidak ada hubungan secara khusus atau resmi dengan Denny semenjak menjadi staf khusus presiden. Meski Denny juga pernah menjabat sebagai direktur Pukat Korupsi sebelum dipegang oleh Zainal.
"Kita yang di sini (Pukat-red) juga sudah tidak ada hubungan khusus dengan Denny kecuali hubungan sebagai teman atau kolega atau sebagai pengajar. Dia juga sudah tidak tercatat di Pukat," pungkas Zainal.
(bgs/djo)
"Denny Indrayana masih tercatat sebagai Dewan Etik ICM. Kami mendesak agar Denny Indrayana mundur dari jabatan staf khusus Presiden bidang hukum," kata Direktur Eksekutif ICM Tri Wahyu, kepada wartawan di kantor Pukat Korupsi UGM di kompleks Bulaksumur Yogyakarta, Jumat (30/10/2009).
Menurut Wahyu, ada beberapa hal yang dijadikan alasan desakan ini. Salah satunya Denny tidak mampu mempengaruhi kebijakan SBY di bidang hukum, khususnya kasus korupsi dan kriminalisasi yang terjadi di tubuh KPK.
Di sisi lain, kata Wahyu, saat ini Presiden SBY juga telah berubah pemikirannya dari penekanan untuk percepatan pemberantasan korupsi, kemudian hanya menjadi pencegahan korupsi. Padahal jelas-jelas amanat dari Inpres 5/2004 adalah dilakukannya percepatan pemberantasan korupsi.
"Kami menilai ada perubahan penekanan, dari percepatan pemberantasan korupsi dan hanya menjadi pencegahan korupsi. Ini artinya istana ikut 'merestui' terjadinya korupsi tersebut," kata Wahyu.
Sementara itu Direktur Pukat Korupsi, Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Muchtar menambahkan pihaknya juga sudah tidak ada hubungan secara khusus atau resmi dengan Denny semenjak menjadi staf khusus presiden. Meski Denny juga pernah menjabat sebagai direktur Pukat Korupsi sebelum dipegang oleh Zainal.
"Kita yang di sini (Pukat-red) juga sudah tidak ada hubungan khusus dengan Denny kecuali hubungan sebagai teman atau kolega atau sebagai pengajar. Dia juga sudah tidak tercatat di Pukat," pungkas Zainal.
(bgs/djo)
Jumat, 30/10/2009 16:58 WIB
Bibit & Candra Ditahan
Presiden Harus Bisa Bedakan Intervensi & Turun Tangan
Hery Winarno - detikNews
Bibit & Candra Ditahan
Presiden Harus Bisa Bedakan Intervensi & Turun Tangan
Hery Winarno - detikNews
Jakarta - Presiden SBY tidak perlu melakukan intervensi dalam kasus penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Yang dilakukan Presiden seharusnya turun tangan dengan menugaskan pembentukan tim independen.
"Harus dibedakan antara intervensi dan turun tangan. Kami minta Pak SBY itu turun tangan, misalnya seperti ini, hai polisi bentuk tim independen untuk mengtassi masalah ini atau juga misalkan selesaikan masalah ini dalam 1x24 jam," jelas pengacara KPK, Bambang Widjojanto, dalam jumpa pers di kantor Imparsial, Jl Diponegoro, Jakarta, Jumat (30/10/2009).
Bambang menegaskan, intervensi jelas berbeda dengan turun tangan, karena intervensi bersifat mengambil alih.
"Saya dengar Presiden juga prihatin dangan kasus ini, tapi prihatinnya hanya di mulut saja. Tidak di hati dan ada tindakan. Harusnya dia bisa memberi lebih, karena dia seorang presiden," terangnya.
Tindakan turun tangan yang dilakukan Presiden, bisa dengan tindakan nyata. "Presiden bisa memberikan batas waktu ke kepolisian untuk mengungkap itu dan menjelaskan alasan penahanannya apa? Rasanya tidak sulit mengungkap penahanannya," tutupnya.
"Harus dibedakan antara intervensi dan turun tangan. Kami minta Pak SBY itu turun tangan, misalnya seperti ini, hai polisi bentuk tim independen untuk mengtassi masalah ini atau juga misalkan selesaikan masalah ini dalam 1x24 jam," jelas pengacara KPK, Bambang Widjojanto, dalam jumpa pers di kantor Imparsial, Jl Diponegoro, Jakarta, Jumat (30/10/2009).
Bambang menegaskan, intervensi jelas berbeda dengan turun tangan, karena intervensi bersifat mengambil alih.
"Saya dengar Presiden juga prihatin dangan kasus ini, tapi prihatinnya hanya di mulut saja. Tidak di hati dan ada tindakan. Harusnya dia bisa memberi lebih, karena dia seorang presiden," terangnya.
Tindakan turun tangan yang dilakukan Presiden, bisa dengan tindakan nyata. "Presiden bisa memberikan batas waktu ke kepolisian untuk mengungkap itu dan menjelaskan alasan penahanannya apa? Rasanya tidak sulit mengungkap penahanannya," tutupnya.
No comments:
Post a Comment