INILAH.COM, Jakarta – Keberadaan laboratorium kesehatan NAMRU-2 milik Angkatan Laut AS kembali mengemuka. Bukan karena pengembangan virus berbahaya, melainkan karena naiknya Endang Rahayu Sedyaningsih yang dikenal dekat dengan NAMRU sebagai Menteri Kesehatan.
Terpilihnya Endang sebagai Menteri Kesehatan menimbulkan tanda tanya bagi menteri kesehatan sebelumnya Siti Fadilah Supari. “Dia (Endang) adalah mantan pegawai NAMRU. Dia memang sekarang ini tidak mempunyai jabatan khusus sebagai peneliti biasa," ucapnya dalam wawancara di sebuah stasiun televisi.
Saat menjabat, Siti memang dikenal sangat vokal terhadap keberadaan lembaga yang secara lengkap bernama Naval Medica Research Unit 2 itu. Dia bahkan secara tegas meminta agar lembaga itu segera ditutup.
Dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR 2008 lalu, Departemen Luar Negeri, Departemen Kesehatan, dan Departemen Pertahanan dengan tegas menyatakan NAMRU-2 tidak memberikan manfaat bagi bangsa. Justru berpotensi membahayakan pertahanan negara.
Pada akhir rapat, sebagian besar anggota Komisi I DPR menyatakan kerja sama dengan lembaga itu tidak perlu dilanjutkan. Komisi I memberikan tiga pilihan kepada pemerintah. Dihentikan, dihentikan untuk dievaluasi kembali, atau dievaluasi dan dilanjutkan dengan memperjuangkan persyaratan dalam perjanjian baru.
Namun, hingga kini pemerintah belum mengumumkan secara resmi keputusan akhir tentang keberadaan NAMRU-2 dan staf asing yang sebelumnya diberi kekebalan diplomatik.
Apa yang membuat keberadaan laboratorium kesehatan milik Angkatan Laut milik AS ini dianggap ‘berbahaya’? Siti menyinyalir NAMRU melakukan hal-hal rahasia di tempat yang notabene merupakan aset Depkes.
Entah apa yang sebenarnya terjadi antara Siti dengan NAMRU. Yang jelas, NAMRU bukan barang baru. Lembaga ini bertugas meneliti penyakit menular dan penyakit tropis sejak 1968. Termasuk malaria, muntaber, AIDS, dan flu burung.
Dalam perbincangan dengan INILAH.COM, Presidium Medical Emergency Rescue Comittee (Mer-C) Joserizal Jurnalis menuding lembaga itu telah menciptakan sejumlah virus baru. Virus itu kemudian disebarkan secara massal di negara kita.
Sehingga dapat menimbulkan morbiditas (penyakit) dan mortalitas (kematian). Pada akhirnya, jika persoalan kesehatan di Indonesia sudah tak mampu diatasi, maka akan datang tawaran bantuan dari pihak luar.
Ia mencontohkan ketika masih bertugas sebagai dokter di puskesmas belasan tahun lalu. Saat itu, penyakit tuberkulosis (TB) masih menyerang sebatas paru-paru. Namun, kini penyakit TB sudah mengalami banyak varian dan menjadi penyakit non-paru, karena juga menyerang persendian.
“Penyakit itu kini bukan hanya mengenai orang miskin lagi. Tapi juga kelompok strata menengah. Ini menimbulkan kecacatan bagi si pengidap dan menyerang usia produktif. Sehingga tenaga pekerja muda bisa melemah,” paparnya.
Jurnalis secara tegas menyatakan bahwa permasalahan Departemen Kesehatan bukan sebatas persoalan kesehatan ibu dan anak, tapi juga keamanan negara. Sebab, pihak asing bisa menggunakan ‘senjata kesehatan’ demi menghancurkan sendi perekonomian Indonesia.
Pengamat intelijen Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Al Chaidar sepakat dengan hal itu. Menurut dia, setiap penetrasi sebuah negara pasti memiliki kepentingan yang sifatnya lethal (mematikan), sehingga negara itu bisa mengontrol negara yang disasarnya.
“Mustahil jika ada laboratorium kedokteran tanpa ada kepentingan politik di belakang itu. AS terkenal dengan kebijakan pengembangan persenjataan kimia dan biologi. Itu alat kontrol AS untuk mengontrol negara yang berpotensi bagi ekonomi AS,” paparnya.
Menurut dia, SBY harus lebih bijak dan jangan mau didikte AS. Sehingga, tidak terkesan memberi peluang bagi kepentingan kapitalistis. “Kalau Menkesnya sudah orang yang pro-AS, maka kita akan terus dimainkan dengan virus-virus yang bisa jadi produk imperialisme,” tegasnya.
Di sisi lain, pengamat intelijen Lembaga Pengembangan Kemandirian Nasional (LPKN) Wawan Purwanto menilai keberadaan NAMRU tidak perlu dicurigai. Bahkan, justru menguntungkan negara. Dari kerja sama yang dilakukan, hasilnya bisa dibagi dua.
“Dari sampel (penelitian) itu tercipta obat dengan produk baru. Kita tidak perlu beli dengan mahal," ujarnya. Yang penting, lanjutnya, adalah pengawasan terhadap lembaga itu. “Bisa angkatan laut, bisa ke marinir, dan panglima TNI yang lakukan. Kalau kontrol bisa dilakukan dengan baik, ya bisa," imbuhnya.
Lalu, apa yang membuat pemerintah belum mengambil sikap atas keberadaan Namru? Yang jelas, Menkes baru memang berencana akan membuka kerja sama lagi dengan lembaga itu. [mdr]
No comments:
Post a Comment