(inilah.com/ Raya Abdullah)
INILAH.COM, Jakarta – Tak ada rotan, akar pun jadi. Tak ada calon wapres pilihan pertama yang didambakan, pilihan kedua pun jadi. Itulah pragmatisme politik SBY, dan itu sah saja. Dan, pragmatisme itu dilakukan SBY dengan melirik Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Dengan kemungkinan berpisahnya duet Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, pilihan SBY untuk meminang Hidayat Nur Wahid atau Hilmi Aminuddin sebagai cawapresnya, tampak sudah di depan mata. Meski, semua itu masih menunggu hasil pemilu.
Kemungkinan SBY menggaet politisi PKS sebagai cawapresnya, sangat terbuka. Jika JK jadi maju sebagai capres, maka SBY akan kehilangan cawapres terkuatnya. Mau tak mau, ia mencari wakil dari sosok sipil lainnya.
Dan, politisi PKS seperti Hidayat Nur Wahid atau Hilmi Aminuddin, berpeluang untuk digaetnya. Politisi PKS itu juga tak bakal menolak karena mereka masih melihat SBY sebagai capres paling populer dalam berbagai survei. Pertimbangannya sederhana: SBY sebagai incumbent, berpeluang menang meski elektabilitasnya cenderung stagnan.
Persoalannya, duet SBY-Hidayat atau SBY-Hilmi ini ditengarai akan membuat isu syairah Islam dan Islamisasi menggelayuti SBY kemanapun melangkah pergi. Tantangan religio-politik ini harus diatasi kubu SBY, jika mereka memiliki political skill yang memadai untuk soal ini.
Di kalangan publik, terutama simpatisan dan kader PKS, sudah beredar pesan pendek (SMS) SBY-PKS. Jangan kaget bila hari-hari ini menerima pesan singkat di ponsel: PKS Partaiku, SBY Presiden Pilihanku!
SMS tersebut memang tengah beredar di kalangan kader PKS, pasca pertemuan Ketua Dewan Syuro PKS, Hilmi Aminuddin dengan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, SBY.
Sinyal kemungkinan PKS berkoalisi dengan Partai Demokrat dan kembali mengusung SBY sebagai presiden memang disambut sangat antusias oleh kader dan simpatisan PKS. Dari sejumlah nama capres yang beredar, nama SBY memang paling favorit dalam survei internal yang dilakukan PKS.
Sebelumnya, para pembaca INILAH.COM dari kalangan PKS menyingkapkan melalui surat elektronik bahwa masalah ketidakpastian siapa capres yang akan didukung PKS memang sempat membuat bingung dan galau para konstituen.
Berbeda dengan para kader yang akan mematuhi semua keputusan partai --siapapun capres yang diusung-- simpatisan PKS sejatinya lebih bersifat kritis. Mereka bisa saja punya pilihan lain, ketika partai mencalonkan figur yang tidak mereka dukung. Ketika nama SBY kembali diusung oleh PKS, mereka mungkin merasa lega dan komit kembali memilih PKS. Benarkah demikian?
Analis politik Burhanudin Muhtadi MA melihat, swing voters dalam pemilu tahun ini, akan menentukan perolehan suara Partai Demokrat dan PKS. Jika sebagian besar swing voters lari ke Golkar atau Gerindra, peta politik bakal berubah. Atau jika swing voters itu lari ke golput, itu lebih menguntungkan parpol-parpol yang memiliki captive market dan pemilih tradisional.
Bagi PKS, pilihan untuk kembali merapat ke SBY, merupakan langkah yang realistis dan pragmatis, sekaligus aspiratif. "Selama PKS hanya jadi partai menengah, ia akan tahu diri. Persoalan jadi lain jika PKS ternyata meraih 20% suara. PKS pasti mengajukan capresnya sendiri,'' kata Zulkieflimansyah, anggota DPR dari PKS.
Dengan kata lain, SBY merapat ke PKS atau PKS yang merapat SBY, lebih didesak oleh kebutuhan pragmatisme politik. SBY sudah melirik ke PKS, dan PKS merespon dengan silaturahmi politik Hilmi Aminudin ke Cikeas.
Pertanyaannya, apakah koalisi ini ampuh membendung koalisi 'Golden Triangle' yang disusung oleh Golkar, PDIP, dan PPP? Jangan lupa, masih ada kuda hitam dari Blok Perubahan dan Gerindra, yang bisa saja berkoalisi membentuk kekuatan tersendiri.
Agaknya, PKS dan Demokrat masih berusaha mencari tempat yang pas di tengah arus politik yang cenderung mampat dan saling jerat. [I4]
No comments:
Post a Comment