Pilihlah Legislator, Bukan Koruptor
Rabu, 04 Maret 2009 | 01:37 WIB
Pemilihan umum tinggal beberapa pekan lagi, tapi lagi-lagi kita disodori fakta memalukan. Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang namanya dipampangkan kembali dalam daftar calon legislator, tertangkap karena diduga menerima suap. Inilah lampung kuning bagi para pemilih agar tidak terkecoh mencontreng koruptor atau calon koruptor dalam pemilu nanti.
Terjeratnya Abdul Hadi Jamal, politikus dari Partai Amanat Nasional, membuktikan bahwa partai-partai kurang serius memerangi korupsi. Legislator itu ditangkap tangan bersama pegawai tata usaha Direktorat Perhubungan Laut, Darmawati H. Dareho, di Karet, Jakarta Selatan. Dalam penggerebekan tersebut Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan uang yang diduga hasil suap sebesar US$ 80 ribu (Rp 960 miliar) dan Rp 54 juta.
Uang itu berasal dari seorang pengusaha, Hontjo Kurniawan. KPK menduga uang itu merupakan kado bagi kerja keras Hadi Jamal mengegolkan proyek dermaga dan bandara di wilayah Indonesia Timur.
Sudah jadi rahasia umum, DPR merupakan salah satu sarang koruptor selain sederet instansi pemerintah. Justru karena itulah orang mempertanyakan kenapa partai tidak lebih selektif ketika memasang lagi mereka dalam daftar calon legislator. Partai gagal menyaring calon wakil rakyat yang bersih. Asal punya kuasa, punya popularitas, dan juga duit, mereka boleh menjadi calon legislator. Padahal mereka mungkin hanya bermental "makelar proyek". Berkedok wakil rakyat, mereka mengegolkan kebijakan yang menguntungkan teman atau orang yang membayar.
Kasus Hadi bak puncak gunung es. Banyak petualang politik yang telah mengundurkan diri karena berbagai kasus, dari terjerat kasus perdagangan narkoba hingga mencuri sepeda motor. Tapi tidak sedikit politikus yang selama ini dikenal kurang bersih, atau namanya pernah tersangkut kasus suap, masih dipajang dalam daftar calon legislator.
Kehadiran para politikus busuk inilah yang harus dilawan. Dalam Pemilu 2004, gerakan "jangan memilih politikus busuk" pernah muncul, namun kurang berhasil. Apalagi orang masih cenderung memilih partai, bukan nama calon legislator. Pilihan rakyat saat itu terbukti mengecewakan. Banyak anggota DPR yang akhirnya terlibat dalam berbagai kasus korupsi, dari kasus suap proyek alih fungsi hutan lindung hingga skandal suap Bank Indonesia.
Mumpung belum terlambat, kini semua elemen masyarakat harus mengkampanyekan lagi slogan tolak politikus busuk. Bila perlu, lembaga swadaya masyarakat harus mengumpulkan jejak-jejak calon legislator yang tak bersih dan membeberkannya kepada masyarakat. Meski belum ada putusan pengadilan yang menguatkan tuduhan keterlibatan mereka dalam suatu kasus, paling tidak hal ini bisa menjadi pertimbangan bagi masyarakat dalam menilai.
Di Korea Selatan, kampanye serupa pernah membuahkan hasil. Melalui kampanye intensif selama enam bulan, 80-85 persen politikus yang masuk daftar hitam tidak terpilih. Di Seoul, malah 90 persen tidak dipilih.
Orang boleh saja tidak peduli akan pentingnya memilih calon legislator yang bersih. Namun, jangan lupa, sikap ini sama dengan membiarkan Senayan tetap menjadi sarang koruptor.
No comments:
Post a Comment