Kekejaman Orde Lama - Beratnya Kewajiban Kita

BERATNYA KEWAJIBAN KITA*

Dua minggu sesudah selesainya Sidang MPRS yang telah mengambil keputusan menjadikan Ir. Soekarno menjadi "Presiden yang sudah digantikan", dan mengangkat Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden, terasalah bahwa suasana sudah berubah. Kita mulai merasakan sedikit ketenangan, sesudah lebih dari satu tahun dalam keadaan yang gelisah. Lembaran lama sudah ditutup, lembaran baru sudah dibuka. Tetapi kenangan yang pahit pada masa-masa yang telah dilampaui tidaklah segera hilang dari ingatan. Tekanan jiwa belum pulih, bekas indoktrinasi yang dipompakan dengan paksaan ke dalam jiwa dan mental, dengan menghamburkan uang berjuta-juta, belumlah sembuh sama sekali. Yang paling menderita di zaman indoktrinasi Orde Lama itu ialah gerak umat Islam!

Penulis karangan ini pada tahun 1960 pernah mengatakan dalam
satu khutbah di Masjid Agung Al-Azhar, bahwa sekarang ini Islam dalam bahaya. Dia mengatakan pada masa itu, Islam dalam bahaya, karena kaum komunis kian hari kian diberi hati oleh Kepala Negara sendiri. Dalam pada itu kegiatan propaganda agama Kristen bertambah lama bertambah hebat, berlipat kali daripada di zaman negeri ini masih dijajah Belanda, sedang ulama yang berani berterus terang menyatakan ajaran Islam dalam dasar akidah yang sejati, kian lama kian dipersempit langkahnya.

Pondok-pondok sudah mulai ditinggalkan, ulama-ulama berduyun mencari pangkat dan kebesaran ke kota. Perkumpulan-perkumpulan Islam, demi menjaga supaya tidak dibubarkan, ada yang tidak segan­segan lagi pergi menjual keyakinan agama ke dalam Istana atau kepada pihak yang berkuasa. Kekuatan Islam telah habis, meskipun orang masih ramai juga shalat Jumat ke masjid. Antara satu golongan Islam dengan golongan yang lain dipecah belah, ditimbulkan fitnah. Yang ini dirangkul dan yang itu disepakkan, yang satu dipuji dan yang lain dibenci. Sehingga akhirnya sama sekali berduyun-duyun mendekati Istana, takut ketinggalan. Karena kalau ketinggalan, takut nanti difitnah pula oleh kawan sendiri. Itulah sebabnya maka pada waktu itu seorang muballigh pernah mengatakan Islam dalam bahaya!

Tetapi tidaklah dia menyangka bahwa perkataannya "Islam Dalam Bahaya" itu mendapat reaksi hebat dari Kepala Negara sendiri. Beberapa hari saja sesudah pers menyiarkan khutbah "Islam Dalam Bahaya" itu, Presiden Soekarno menyatakan, "Islam tidak dalam bahaya, yang dalam bahaya ialah yang berkhutbah itu sendiri ". Dan yang beliau katakan itu beberapa waktu kemudian telah terjadi. Bahaya itu telah dilalui oleh yang berkhutbah "Islam Dalam Bahaya" itu. Memang, kalau sekiranya yang berkhutbah itu mau menyesuaikan diri, kalau sekiranya dia mau mengatakan bahwa Islam bisa bekerjasama dengan komunis. Kalau sekiranya dia mau mengatakan bahwa Nasakom itu adalah perasan dari Pancasila. Kalau sekiranya dia mau menyusun khutbah-­kutbah Jum'at, mencari ayat-ayat Qur'an dan Hadits Rasulullah Saw buat memperkuat gagasan apa yang waktu itu dinamai haluan negara, yaitu MANIPOL-USDEK.

Kalau sekiranya dia mau mendustai dirinya sendiri, lalu turut memuji dan memuja perbuatan-perbuatan yang munkar, lalu suka merunyut- runyut dan menarik-narik ayat-ayat Allah dan Hadits Nabi Saw supaya dapat "disesuaikan" dengan kemungkaran itu, niscaya apa yang dikatakan bahaya yang telah diancamkan Presiden itu dapat dielakkan. Tetapi dia tidak mau berubah dan menyesuaikan diri. Kita dapat memahami bahwa dia memang tidak akan dapat menyesuaikan diri, sebabnya ialah karena dia selalu juga membaca Alqur'an. Dengan membacaAlqur'an itu dia diberi petunjuk tentang yang haq dan yang bathil. Di dalam Alqur'an itu diperingatkan kepadanya bahwa dunia ini hanya perhiasan hidup yang sedikit. Namun yang haq tetaplah yang haq, sampai hari kiamat.

Alqur'an itu memberi peringatan kepadanya supaya dia jangan terpesona oleh banyaknya yang khabits, kotor, dan sedikitnya yang thayyib, bersih. Sebab khabits tetap khabits, walaupun dia banyak. Yang thayyib tetap thayyib walaupun dia kelihatan hanya sedikit. Alqur'an memperingatkan tentang dosa dan pahala. Alqur'an memperingatkan bahwa segala sikap dan langkah, sepak dan terjang selama hidup di dunia ini, semuanya tercatat dalam kitab Tuhan, dicatat oleh malaikat Raqib dan 'Atid. Dan kelak di akhirat akan dipertanggung jawabkan kembali dihadapan Tuhan. Alqur'an mengetuk hati orang yang mempercayainya supaya tetap amar ma'ruf nahi munkar. Kalau tidak, maka dia berdosa dan dia akan masuk neraka.

seorang pejuang penegak Alqur'an itu pada hakikatnya ialah seorang yang terpaksa berani, karena dia penakut. Dia berani menempuh bahaya di dunia karena takutnya bahaya akhirat. Itulah sebabnya maka di dalam segala zaman, seorang yang telah terpesona oleh Alqur'an, karena takutnya kepada Tuhan, dia berani menghadapi bahaya yang ditimpakan oleh manusia. Sekarang sudah Orde Baru, kita tentu saja berharap, tekanan batin seperti yang kita alami di zaman Orde Lama tidak akan terulang lagi. Ada kemungkinan bahwa suaraAlqur'an akan bebas dikumandangkan, tetapi ada juga kemungkinan bahwa cita-cita demikian masih jauh. Mengapa kita menyebut semuanya ini dengan "kemungkinan"? Untuk itu kita harus bertanya dalam hati, sudahkah habis sama sekali pengaruh indoktrinasi berpuluh tahun, yang telah menyelinap dalam jiwa sebagian besar Bangsa Indonesia?

Bila direnungkan lebih jauh, Bangsa Belanda menjajah negeri ini, sampai 350 tahun. Beratus tahun lamanya mengajarkan bahwa Islam itu berbahaya! Islam itu suka berontak melawan kekuasaan yang ada, kalau tidak sesuai dengan ajaran Alqur'annya, niscaya akan ditentangnya. Kemudian kitapun merdeka. Setelah merdeka, dan setelah Soekarno berkuasa dan setelah kekuasaan Soekarno disokong oleh kaum komunis, ajaran membenci Islam itu lebih diaktifkan lagi. Ditekankan dalam doktrin komunis bahwa, Islam itu kontra Revolusi, subversif, Islam itu Kartosoewiryo, Kahar Muzakkar, Islam itu anti Pancasila. Orang Islam hendak mendirikan negara Islam dengan kekerasan, dan akan melakukan kudeta.

Sekarang tetah datang Orde Baru! Jenderal Nasution sendiri telah menjelaskan dalam beberapa kali pidatonya bahwa isu-isu semacam itu, di zaman Orde Baru ini bukanlah tambah sepi, bahkan tambah santer.  Meskipun telah kita jawab dan akan terus kita jawab, bahwa kaum muslimin tidaklah anti Pancasila, sebab Pancasila itu, seperti yang telah terpancang datam mukaddimah Undang-undang Dasar 45, adalah hasil piagam yang ditandatangani oleh Sembilan orang pemimpin bangsa,             termasuk lima diantaranya Ulama-Ulama dan pemimpin Is­lam, namun keterangan kita itu tidak juga akan diperdulikan orang. Meskipun kita kemukakan 1001 penjelasan lagi bahwa tidak mungkin orang Islam anti Pancasila, sebab kelima dasar itu adalah ajaran dari Islam; namun kebencian yang telah masuk ke dalam bawah sadar (hasil indoktrinasi) tidaklah mungkin menghilangkannya. Dia kan memakan waktu bertahun!

Nasib kita kadang-kadang serupa dengan nasib anak kambing dengan serigala ketika minum di pinggir sungai. Jika kita minum di hulu sungai, kita salah, sebab air yang akan diminum serigala telah jadi sisa kita. Kita minum air dihilirpun kita salah, sebab artinya air bekas minum kita berani-berani saja mendahului mengalirnya air minum baginda. Ada orang memberi nasehat, supaya Ulama-ulama, muballigh-muballigh, khatib, dan ahli-ahli dakwah terlepas dari bahaya, sebaiknya mereka mengurus agama saja, jangan campur dengan politik dan hendaklah membantu pemerintah.

Sediakan segala tenaga buat dipergunakan untuk melancarkan program pemerintah. Dan alangkah bingungnya seorang yang pandangan hidupnya dibentuk oleh Alqur'an, jika ada yang memerintahkan kepadanya supaya memisahkan di antara agama dan politik. Padahal Islam, tegasnya Alqur'an tidak mengenal pembatasan itu. Alangkah bingungnya seorang mustim, jika dia dilarang mengurus dunia dan diperintahkan mengurus soal-soal akhirat saja, padahal mujur malangnya di akhirat ditentukan oleh amalnya di dunia.

Dia disuruh membantu pemerintah, padahal membantu pemerintah dalam pandangan hidup seorang muslim; liyuhiqqol hoqqo wa yubthilal bathila; Membenarkan yang benar dan menjalankan mana yang salah. Sedang manusia itu kadang-kadang hanya mau jika dibenarkan saja, dan marah kalau disalahkan. Bukankah manusia itu tidak bebas daripada khilaf dan lupa, sedang hukum Tuhan mutlak kebenarannya? Dan lagi, meskipun orang melihat kekocar-kaciran umat Islam, namun orang tetap mengharap bantuannya. Sehingga tidak ada satu pemerintahpun yang berani berdiri, kalau di dalamnya tidak ada dari kalangan Islam.

Lantaran itu membantu pemerintah itu bukan pula mudah, fitnahpun akan timbul pula. Kita akan difitnah bahwa kita membantu dan mendekati pemerintah karena hendak menukar haluan negara ini dengan haluan Islam. Haluan Islam bagi mereka adalah bahaya yang lebih besar dari segala bahaya. Akan duduk berdiam diri saja, kitapun berdosa. Sebab agama kita mengajarkan jihad, yang berarti selatu berjuang dan selatu bekerja keras. Meninggatkan jihad artinya dalam ajaran agama kita ialah vonis kematian bagi Islam itu sendiri.

Sebab itu maka di masa Orde Baru sekarang ini, kita muballigh-­muballigh, imam-imam, khatib, apalagi Ulama wajib memperbaharui jiwa kita pula. Kita wajib aktif menegakkan agama dalam negeri ini. Kita tidak akan menganggu Pancasila, dan Pancasila tidak perlu diganggu. Kalau ini sajapun benar-benar dijalankan tidak sedikit kemenangan Islam dalam negeri ini. Bahkan boleh dikatakan bahwa kita difitnah hendak merombak Pancasila, ialah karena yang memfitnah itu sendiri tidak berani menjalankan Pancasila itu dengan sungguh-sungguh.

Kita mempunyai tugas khusus, tugas yang bukan kita terima dari manusia, tetapi dari Tuhan, buat bekerja keras, berjihad dan beramal menegakkan Islam ini, baik dalam diri kita sendiri, ataupun dalam rumah tangga kita, ataupun dalam masyarakat kita, bahkan dalam negara kita ini. Dan kita wajib sadar benar bahwa pekerjaan kita ini berat dan halangannya banyak. Iman Ghazali pernah mengatakan: "Apabila suatu tujuan teramat suci don mulia, sukarlah jalan yang harus ditempuh, dan banyaklah penderitaan yang akan ditemui di tengah jalan ". Tetapi kita akan selalu berbesar hati, Sebab tempat kita bertanggung jawab bukanlah manusia, melainkan langsung kepada Allah Subahanahu wa Ta'ala. Asal kita sadar akan hal ini, tidaklah ada seorang manusiapun yang akan dapat memperalat kita, baik untuk kepentingan kedudukannya ataupun kepentingan kekuasaannya.*

*Dikutip Dari Buku "Dari Hati Ke Hati" Karya Prof. Dr Hamka

 

Kuala Lumpur, 09/03/09,

Afriadi Sanusi

PhD Cand. Islamic Political Science

University Of Malaya

No comments:

Archives