Pemilu yang Mengkhawatirkan
Selasa, 07 April 2009 00:00 WIB
PEMILU kini berada pada dua kutub yang berlawanan. Satu kutub yakin pemilu siap dilaksanakan pada 9 April mendatang. Sebaliknya kutub lain, orang meragukan apakah pemilu bisa diselenggarakan secara luber dan jurdil.
Kutub optimistis tentu saja datang dari pihak penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hingga H-3, KPU menegaskan semua logistik akan sampai di tempat pemungutan suara (TPS) pada H-1 atau 8 April 2009.
KPU sah-sah saja menggenggam erat optimismenya, setidaknya di tingkat verbal. Sayangnya, rasa optimistis KPU itu kurang didukung akurasi dan transparansi data.
Sebagai contoh, hasil validasi daftar pemilih tetap (DPT) saja sampai sekarang belum juga diumumkan. Soal logistik apalagi. Padahal, KPU semestinya secara berkala mengumumkan kesiapan logistik. Misalnya, pada H sekian sudah berapa persen logistik sampai ke tujuan.
Padahal transparansi dan akurasi kesiapan merupakan bagian penting dari pesta demokrasi lima tahunan itu. Sayangnya, berbagai kritikan yang ditujukan kepada KPU, justru disikapi dengan cuek atau sikap defensif.
Faktor itulah yang mendorong lahirnya kutub yang cenderung pesimistis terhadap pelaksanaan pemilu kali ini. Mereka bukan hanya datang dari publik atau partai politik peserta pemilu, melainkan juga dari badan kelengkapan penyelenggara pemilu seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Mereka melancarkan kritik karena KPU memang kedodoran sejak dari segi persiapan. Misalnya saja, kendati hari pemilu tinggal hitungan jari, tidak sedikit calon pemilih yang belum mengetahui bagaimana caranya mencontreng.
Pemilih bahkan banyak yang belum mengetahui lokasi TPS-nya karena surat pemberitahuan untuk memilih belum juga datang. Atau bahkan sebaliknya, seorang anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Yogyakarta justru memperoleh dua surat pemberitahuan untuk memilih.
Buruknya kinerja KPU juga terlihat dari tidak transparannya KPU dalam mencetak surat suara. Sampai kini, KPU belum pernah mengumumkan secara terbuka berapa surat suara yang dicetak, berapa yang sudah didistribusikan, dan berapa surat suara yang rusak.
Fakta lain ada daerah yang kekurangan surat suara, ada yang belum menerima kotak suara, dan ada pula yang kekurangan tinta.
Beragam masalah yang muncul baik mengenai DPT, logistik, maupun yang lain mencerminkan KPU sekarang memang buruk dalam mengelola administrasi dan tidak becus dalam menyosialisasikan pemilu.
Pengalaman panjang bangsa ini dalam melaksanakan pemilu sayangnya memang belum menghasilkan KPU yang lebih tangkas dan cerdas.
Label sebagai negara demokrasi terbesar di dunia kini terancam tercoreng oleh kinerja KPU yang tidak becus menyiapkan dan melaksanakan pemilu. Bahkan, bisa dikatakan, inilah KPU terburuk sepanjang sejarah pemilu di Tanah Air.
Itu sebabnya muncul pandangan bahwa pemilu sekarang berada di ambang ketidakpastian. Namun, beres-tidaknya pelaksanaan pemilu bukan hanya tanggung jawab KPU, melainkan juga tanggung jawab pemerintahan sekarang.
Kutub optimistis tentu saja datang dari pihak penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hingga H-3, KPU menegaskan semua logistik akan sampai di tempat pemungutan suara (TPS) pada H-1 atau 8 April 2009.
KPU sah-sah saja menggenggam erat optimismenya, setidaknya di tingkat verbal. Sayangnya, rasa optimistis KPU itu kurang didukung akurasi dan transparansi data.
Sebagai contoh, hasil validasi daftar pemilih tetap (DPT) saja sampai sekarang belum juga diumumkan. Soal logistik apalagi. Padahal, KPU semestinya secara berkala mengumumkan kesiapan logistik. Misalnya, pada H sekian sudah berapa persen logistik sampai ke tujuan.
Padahal transparansi dan akurasi kesiapan merupakan bagian penting dari pesta demokrasi lima tahunan itu. Sayangnya, berbagai kritikan yang ditujukan kepada KPU, justru disikapi dengan cuek atau sikap defensif.
Faktor itulah yang mendorong lahirnya kutub yang cenderung pesimistis terhadap pelaksanaan pemilu kali ini. Mereka bukan hanya datang dari publik atau partai politik peserta pemilu, melainkan juga dari badan kelengkapan penyelenggara pemilu seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Mereka melancarkan kritik karena KPU memang kedodoran sejak dari segi persiapan. Misalnya saja, kendati hari pemilu tinggal hitungan jari, tidak sedikit calon pemilih yang belum mengetahui bagaimana caranya mencontreng.
Pemilih bahkan banyak yang belum mengetahui lokasi TPS-nya karena surat pemberitahuan untuk memilih belum juga datang. Atau bahkan sebaliknya, seorang anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Yogyakarta justru memperoleh dua surat pemberitahuan untuk memilih.
Buruknya kinerja KPU juga terlihat dari tidak transparannya KPU dalam mencetak surat suara. Sampai kini, KPU belum pernah mengumumkan secara terbuka berapa surat suara yang dicetak, berapa yang sudah didistribusikan, dan berapa surat suara yang rusak.
Fakta lain ada daerah yang kekurangan surat suara, ada yang belum menerima kotak suara, dan ada pula yang kekurangan tinta.
Beragam masalah yang muncul baik mengenai DPT, logistik, maupun yang lain mencerminkan KPU sekarang memang buruk dalam mengelola administrasi dan tidak becus dalam menyosialisasikan pemilu.
Pengalaman panjang bangsa ini dalam melaksanakan pemilu sayangnya memang belum menghasilkan KPU yang lebih tangkas dan cerdas.
Label sebagai negara demokrasi terbesar di dunia kini terancam tercoreng oleh kinerja KPU yang tidak becus menyiapkan dan melaksanakan pemilu. Bahkan, bisa dikatakan, inilah KPU terburuk sepanjang sejarah pemilu di Tanah Air.
Itu sebabnya muncul pandangan bahwa pemilu sekarang berada di ambang ketidakpastian. Namun, beres-tidaknya pelaksanaan pemilu bukan hanya tanggung jawab KPU, melainkan juga tanggung jawab pemerintahan sekarang.
No comments:
Post a Comment