2009-03-10
George Junus Aditjondro
Keluarga Cendana, sekarang, terang-terangan berdiri di belakang Gerindra, yang mencalonkan Letjen (Purn) Prabowo Subianto sebagai presiden RI yang ke-7. Ini diungkapkan, Jumat (6/3), di depan massa di muka rumah orangtua Soeharto di Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Kabupaten Bantul, DIY, oleh Probosutedjo, adik tiri Soeharto, yang sering menjadi juru bicara keluarga Cendana.
Probosutejo sudah pernah mengeluarkan pernyataan serupa, yang kontan ditanggapi mantan Ketua MPR Amien Rais, waktu itu. Menurut Amien, dukungan Cendana malah merugikan Prabowo, karena akan mempersempit dukungan bagi dia (Okezone, 23/1).
Mengapa? "Keluarga Cendana mewakili masa lalu. Padahal Prabowo, yang dikesankan dalam iklan TV, mau mengubah Indonesia, mau membuat terobosan-terobosan baru. Saya kira, reformasi sudah mengucapkan selamat tinggal kepada Orde Baru. Sekarang, malah ada tokoh yang mengajak Prabowo ke zaman baheula. Ini akan merugikan dia," kata mantan Ketua MPR, yang ikut memotori gerakan menjatuhkan Presiden Soeharto, sebelas tahun lalu.
Pernyataan Probosutejo memang penuh kontroversi. Dalam kampanye di Kemusuk, ia menyatakan, dalam tiga tahun setelah Prabowo menjadi presiden, setiap rakyat akan memiliki tanah minimal dua hektare (Harian Yogya, 7/3). Padahal, keluarga besar Prabowo sendiri menguasai lebih dari tiga juta hektare tanah dari Aceh sampai Papua.
Janji pembagian tanah seluas dua hektare buat setiap keluarga tani, mustahil dapat diwujudkan. Kecuali kalau Prabowo dan adiknya, Hashim Djojohadikusumo, bersedia membagi jutaan hektare tanah yang mereka kuasai dalam bentuk perkebunan kelapa sawit, teh, jagung, jarak, akasia, padi, dan aren, serta ratusan ribu hektare hutan pinus, kepada jutaan petani.
Bagaikan zamrud di khatulistiwa, tanah-tanah pencetak dolar bagi kedua bersaudara Djojohadikusumo tersebar dari Aceh ke Papua. Di sekeliling Danau Lot Tawar di Aceh, mereka menguasai konsesi PT Tusam Hutani Lestari, seluas 96.000 ha. Konsesi itu sumber kayu pinus bagi pabrik PT Kertas Kraft Aceh (KKA) di Lhokseumawe. Di Sumatera Barat dan Jambi, mereka menguasai perkebunan kelapa sawit seluas lebih dari 30.000 ha di bawah PT Tidar Kerinci Agung.
Di Kaltim, mereka telah mengambil alih konsesi hutan PT Tanjung Redep HTI seluas 290.000 ha, yang dulu dikuasai Bob Hasan. Juga di Kaltim, mereka telah mengambilalih konsesi hutan seluas 350.000 ha dari Kiani Group yang dulu juga dikuasai Bob Hasan dan mengganti namanya menjadi PT Kertas Nusantara, berkongsi dengan Luhut B. Panjaitan, mantan Menteri Perdagangan pada era Habibie. Masih di provinsi yang sama, mereka menguasai konsesi hutan PT Kartika Utama seluas 260.000 ha, PT Ikani Lestari seluas 260.000 ha, serta perkebunan PT Belantara Pusaka seluas 15.000 ha lebih.
Bergeser ke Indonesia Timur, di Pulau Bima (NTB), mereka memiliki budi daya mutiara serta perkebunan jarak seluas seratus hektare untuk bahan bakar nabati. Sedangkan di Kabupaten Merauke, Papua, mereka berencana membuka Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) seluas 585.000 ha. Di Papua, mereka juga mengeksplorasi blok gas Rombebai di Kabupaten Yapen dengan kandungan gas lebih dari 15 triliun kaki kubik.
Konsesi Migas
Semua ekspansi bisnis itu serta kampanye Gerindra dibiayai dari keuntungan Hashim dari bisnis migas. Pada masa kejayaan Soeharto, Hashim dan Arifin Panigoro diajak sang presiden bermuhibah ke negara-negara eks Uni Soviet yang kaya migas, seperti Kazakhstan dan Azerbaijan, dan membeli konsesi-konsesi migas di sana.
Krisis moneter yang disusul jatuhnya Soeharto, membuat para keluarga dan kroni Istana harus segera melunasi utang mereka yang dikelola BPPN. Arifin melepas ladang migasnya di Asia Tengah, 2000, sedangkan Hashim baru enam tahun kemudian melepas ladang migasnya di Kazakhstan, yang dikuasainya melalui Nations Energy Co. yang bermarkas di Calgary, Kanada. Aset itu dijualnya kepada CITIC Group (RRT) seharga US$ 1,91 miliar, atau Rp 17,2 triliun (Trust, 12-18 November 2007, hal. 11; Swasembada, 24 November.-3 Desember. 2008, hal. 113-114, 116; Globe Asia, Desember. 2008, hal. 49).
Pelepasan ladang migas Kazakhstan tidak mengakhiri kiprah Hashim di bidang migas, sebab di Azerbaijan ia masih memiliki ladang migas yang juga dioperasikan oleh Nations Energy Co. Tahun lalu, ladang itu pun ia lepas, karena "harganya bagus", kata Hashim kepada Swasembada.
Hasil penjualan ladang migas di Kazakhstan saja lebih dari cukup untuk membiayai kampanye Gerindra. Saldo partai ini paling besar di antara 38 parpol peserta Pemilu 2009, yakni Rp 15 miliar (Seputar Indonesia, 7/3).
Keluarga besar Djojohadikusumo ikut mendukung kampanye Gerindra. Selain Hashim, sebagai penyandang dana utama, jabatan Bendahara dipegang oleh keponakan Prabowo, Thomas Djiwandono. Putra sulung mantan Gubernur BI, Soedradjad Djiwandono, abang ipar Prabowo, juga menjabat sebagai Direktur Comexindo International (CI) milik Hashim. Dengan investasi sebesar US$ 6 juta, CI membawahi perkebunan karet, teh, dan jagung seluas total 1.200 ha di Jabar dan Minahasa (Sulut), sementara 21.000 ha sedang diurus di Kaltim. Juga ratusan ribu hektare perkebunan enau untuk produksi gula dan etanol sedang dirintis di Minahasa dan Papua (Swasembada, 24 November-3 Desember 2008).
Jadi, pertanyaannya sekarang, seandainya Prabowo berhasil meraih kursi RI 1, bagaimana mencegah rezim mendatang tidak mengulangi kesalahan era Soeharto, waktu negara dikelola sebagai imperium bisnis keluarga besar presiden?
Penulis adalah pengarang buku Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (LKiS, Yogyakarta, 2006).
No comments:
Post a Comment