Menyelamatkan Pengadilan Korupsi
Selasa, 10 Maret 2009 | 00:23 WIB
Dalam kampanye, hampir semua partai mendukung pemberantasan korupsi. Tapi ucapan mereka hanya basa-basi. Nyatanya, para kader mereka di Senayan cenderung menelantarkan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. Citra para wakil rakyat akan semakin buruk bila tugas yang penting ini benar-benar diabaikan.
Kalangan antikorupsi paham betul pentingnya RUU tersebut. Rancangan itu diajukan pemerintah setelah Mahkamah Konstitusi mengoreksi pasal 53 mengenai pengadilan korupsi dalam Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut MK, pengadilan korupsi harus diatur dalam undang-undang tersendiri sekaligus disesuaikan dengan konstitusi. Mahkamah, yang memutuskan masalah ini pada 2006, memberikan tenggat tiga tahun, yakni sampai 19 Desember 2009.
Amat tragis bila pengadilan korupsi bubar hanya karena tenggat itu tidak terpenuhi. Pengadilan khusus ini jelas sangat efektif. Belum ada terdakwa yang dibebaskan oleh pengadilan ini. Hukumannya pun cukup berat, rata-rata 4 tahun penjara. Bandingkan dengan pengadilan umum. Menurut Indonesia Corruption Watch, pengadilan umum membebaskan 46 persen dari 1.421 terdakwa yang diadili dalam empat tahun terakhir. Yang dihukum pun divonis ringan, rata-rata 5,8 bulan penjara.
Harus diakui, pemerintah juga terlambat. Mereka baru tahun lalu menyodorkan RUU Pengadilan Korupsi. Tapi hal ini seharusnya tidak dijadikan alasan oleh para politikus di Dewan Perwakilan Rakyat untuk semakin menelantarkannya. Mereka tampak kurang serius membahas rancangan ini sehingga belum juga tuntas sampai menjelang pemilu, ketika mereka mulai harus berkampanye. Padahal para politikus kerap rela bekerja siang-malam, bahkan sampai menginap di hotel, bila membahas RUU yang mereka "minati".
Mungkinkah para politikus Senayan kurang antusias lantaran RUU itu bukanlah proyek yang basah? Ataukah mereka sengaja menghambatnya karena pengadilan korupsi justru sering menjebloskan rekan-rekannya ke penjara?
Itulah tudingan yang muncul, kendati selalu dibantah. Para anggota DPR selalu berdalih keterlambatan itu hanya karena masalah teknis. Ketua DPR Agung Laksono pun masih optimistis pembahasan RUU ini akan selesai sebelum masa tugas wakil rakyat periode 2004-2009 berakhir.
Orang boleh kecewa, namun ada baiknya kita memberikan kesempatan kepada para legislator menyelesaikan pekerjaan rumah itu tanpa mengabaikan kemungkinan terburuk. Artinya, pemerintah tetap perlu menyiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang pengadilan korupsi, seperti yang diusulkan banyak ahli hukum. Perpu ini hanya akan diterbitkan andaikata DPR benar-benar gagal merampungkan pembahasan RUU Pengadilan Korupsi.
DPR masih memiliki sedikit waktu jika tak mau kehilangan muka. Partai-partai yang selama ini getol menyebut dirinya antikorupsi harus mendorong para kadernya di Senayan lebih serius membahas RUU Pengadilan Korupsi. Jika tidak, orang akan menertawai kampanye mereka yang selalu bersikap "tidak" terhadap korupsi.
No comments:
Post a Comment