Kamis, 25 Juni 2009 | 16:25 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta: Calon wakil presiden Prabowo Subianto membantah jika disebut pernah memiliki kewarganegaraan Yordania. Sebuah tim hukum kabarnya sudah dibentuk oleh kubu Mega-Pro untuk mengadukan saya ke polisi. Tapi apa saja bisa mereka lakukan, kecuali menuduh saya melakukan fitnah dan kampanye hitam. Saya hanya ingin orang-orang Indonesia tidak mudah melupakan sejarah. Apa yang saya lakukan di dalam talk show malam itu adalah bertanya. Dengan menyitir berita di sebuah harian nasional tentang pemberian kewarganegaraan Yordania kepada Prabowo. Tujuannya mempersoalkan: mengapa dia absen dari Tanah Air saat Presiden B.J. Habibie memerintahkan pemeriksaan atas dugaan keterlibatannya di dalam kerusuhan Mei 1998?
Lagi pula ini adalah masa kampanye. Ini waktunya setiap calon pemimpin mengatakan apa saja yang bisa membuat mereka kelihatan lebih unggul dari yang lain. Tapi ini juga masa bagi pemilih untuk menilai para calon pemimpin. Politik adalah cara untuk mewujudkan kepentingan publik. Kita semua harus terlibat aktif di dalam wacana publik untuk memastikan: para pemimpin yang kelak terpilih adalah yang memenuhi standar tertinggi. Bukankah kepada mereka kita akan mempercayakan hidup kita sebagai warga negara?
Sebenarnya, pada kurun waktu 1998-2000, pemberian kewarganegaraan Yordania kepada Prabowo sudah menjadi percakapan publik. Media massa, di dalam dan luar negeri, gencar memberitakan. Tapi semua itu adalah bagian dari keprihatinan umum atas ketidakmampuan pemerintah menghadirkan Prabowo untuk diperiksa. Lagi pula berpindah kewarganegaraan adalah hak individual yang dijamin kebebasannya oleh banyak konstitusi. Soalnya mendadak sontak berbeda karena hari ini Prabowo mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Konstitusi kita mewajibkan setiap calon presiden dan wakilnya tidak pernah mendapatkan kewarganegaraan lain. Maka sekarang ada dua hal yang harus kita uji dari cawapres Prabowo: komitmennya kepada perlindungan hak-hak asasi manusia dan kejujurannya kepada konstitusi.
Bagi saya, apakah Prabowo pernah memiliki kewarganegaraan Yordania adalah sebuah misteri. Prabowo mengakui ditawari oleh sahabatnya, Pangeran Abdullah, namun menolak. Misterinya, tidak ada satu pun media di dalam dan luar negeri--sekurangnya yang saya periksa--menulis Prabowo "ditawari" kewarganegaraan Yordania. Semuanya menulis "diberi". Berusaha menjawab teka-teki itu, sebuah harian nasional melakukan investigasi. Laporannya mengejutkan: kewarganegaraan Yordania sesungguhnya hanya bisa diberikan bila diminta. Lebih jauh, kewarganegaraan Yordania diberikan serentak kepada Prabowo dan beberapa individu kebangsaan lain setelah sidang Dewan Kabinet pada akhir November 1998 memeriksa permohonan mereka. Hasilnya kemudian dikukuhkan oleh dekrit kerajaan pada 10 Desember 1998 dan diberitakan oleh koran Yordania, Al-Ra'i, keesokan harinya.
Kantor berita Xinhua pada 23 Desember 1998 bahkan menulis begini: "According to reports from Amman, the office of Prime Minister Fayez Tarawneh has confirmed that Prabowo's bid for citizenship had been endorsed by a Royal Decree on December 10." Laporan itu secara tidak langsung dikonfirmasi oleh Hashim Djojohadikusumo. Dia bilang, saudaranya telah diberi kewarganegaraan Yordania, namun tidak akan menyerahkan kewarganegaraan Indonesianya. Hashim menyebut pemberian itu sebagai "penghargaan internasional".
Yordania adalah negara monarki. Namun, undang-undang kewarganegaraannya memiliki aturan yang jelas mengenai prosedur pemberian kewarganegaraan. Itu hanya bisa diberikan atas permintaan. Syaratnya, si pemohon sudah tinggal sekurangnya empat tahun di Yordania. Namun, kuasa raja bisa mengabaikan syarat tinggal empat tahun itu. Yordania juga tidak mengakui dwikewarganegaraan.
Pada sisi lain, dan ini kontroversinya, Menteri Luar Negeri Ali Alatas dilaporkan pernah meminta penjelasan tentang pemberian kewarganegaraan Prabowo kepada pemerintah Yordania. Menurut dia, Kementerian Dalam Negeri Yordania tidak menemukan file Prabowo dalam registrasi kewarganegaraan dan paspor. Duta Besar Yordania di Indonesia juga menyatakan serupa. Pertanyaannya: bagaimana keterangan Kementerian Dalam Negeri dan Duta Besar Yordania bisa bertolak belakang dengan keterangan kantor Perdana Menteri?
Prabowo sendiri sudah meninggalkan Indonesia sejak Agustus 1998, lima hari setelah keluar keputusan DKP yang menghukumnya dengan menghentikannya dari dinas militer. Ia tidak pernah kembali ke Indonesia sampai November tiga tahun kemudian. Fadli Zon dan Hashim Djojohadikusumo dalam beberapa wawancara mengakui sejak itu Prabowo berada di Amman. Sang patriot tidak pulang ke Tanah Air ketika negara memerlukan kehadirannya untuk diperiksa sebagai tindak lanjut temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998.
Demi ketaatan pada konstitusi, fakta-fakta itu membuat kita di hari-hari menjelang pemilu presiden ini perlu bertanya: sesungguhnya, pernahkah Prabowo mendapat kewarganegaraan Yordania? Tapi agaknya kita tidak punya pilihan selain kembali menerima misteri sebagai jawaban. Persis seperti misteri tentang siapa yang harus bertanggung jawab dalam kerusuhan Mei 1998, yang meninggalkan korban-korban tewas, luka, diperkosa, dan trauma. Kita tidak boleh lupa.
Rachland Nashidik, Direktur Eksekutif Imparsial
---------------------------------
Notes :
Lupa-lupa syairnya
")
No comments:
Post a Comment