Kebocoran Dana Pembangunan di Daerah Capai 50 Persen |
Rabu, 10 Juni 2009 | 10:03 WIB
TEMPO Interaktif, Denpasar: Setelah diberlakukannya undang-undang Otonomi Daerah, tingkat korupsi di daerah masih cukup tinggi. Kebocoran anggaran pembangunan bahkan mencapai 45-50 % setiap tahunnya.
Fakta itu diungkap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Candra Hamzah dalam Seminar "Pemberantasan Korupsi Melalui Peningkatan Kinerja dan Kualitas Pelayanan Publik " di Denpasar, Rabu (10/6). "Padahal otonomi mestinya mendorong penurunan angka korupsi," tegasnya.
Undang-undang Otonomi Daerah Nomor 33 tahun 2004 menyatakan, daerah memiliki hak politik dan hukum untuk mengelola dan menatur rumah tangganya sendiri. Karena itu daerah bisa mengelola Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sendiri, memberdayakan asetnya sendiri, meningkatkan Penghasilan Asli Daerah (PAD). Semuanya, mesti berujung pada layanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Sayangnya, selain kebocoran, banyak pejabat daerah tersangkut korupsi. Pungutan tidak resmi di daerah dikeluhkan oleh pengusaha mencapai 30 % dari biaya produksi. Sementara itu 10.000 Peraturan Daerah dianggap menghambat investasi. KPK juga kasus pengalihan aset Pemda kepada pihak swasta serta penyalahgunaan sumberdaya alam. "Karena itu banyak hutan digunduli dengan alasan pembangunan," ujar Candra.
Buruknya pelayanan publik terlihat dari biaya pengurusan perizinan yang tetap mahal, tidak transparan tidak transparan, tanpa kejelasan waktu penyelesaian, tidak jelas prosedur pelayanannya, kurang ramah dan tanpa sikap melayani. Keberadaan calo masih gampang ditemui di kantor-kantor pemerintah.
Candra mengungkap, biaya resmi pengurusan perizinan yang sudah ditetapkan pusat seringkali menjadi menjadi bervariasi. Contohnya Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 37 tahun 2007 tentang izin Tanda Daftar Perusahaan untuk jenis Perusahaan Perseroan mestinya Rp 100 ribu. Penerapannya di daerah sangat bervariasi antara Rp125 ribu hingga Rp 500 ribu.
Sementara itu, kebocoran juga banyak terjadi dalam proses Pengadaan Barang dan Jasa. Akibatnya, barang menjadi tidak tepat waktu, sasasran, kualitas dan tidak efisien. "Bahkan banyak yang tak bisa dipakai karena tak sesuai dengan kebutuhan," ujar Candra. Banyak gedung pemerintah yang masa pakainya hanya 30-40 % dari usia yang seharusnya. KPK juga menemukan perbedaan harga pembelian barang yang sangat bervariasi antara satu instansi dengan yang lain. Sementara, praktek pemberian komisi oleh kontraktor tetap berlangsung.
ROFIQI HASAN
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/06/10/brk,20090610-181058,id.html
-----------------------------------
Notes :
Apa ya begitu amat sifat korup Pejabat di Negeri ini. Kalau memang seperti itu kok ya nggak malu petentang-petenteng tanpa ada rasa bersalah.
:(
TEMPO Interaktif, Denpasar: Setelah diberlakukannya undang-undang Otonomi Daerah, tingkat korupsi di daerah masih cukup tinggi. Kebocoran anggaran pembangunan bahkan mencapai 45-50 % setiap tahunnya.
Fakta itu diungkap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Candra Hamzah dalam Seminar "Pemberantasan Korupsi Melalui Peningkatan Kinerja dan Kualitas Pelayanan Publik " di Denpasar, Rabu (10/6). "Padahal otonomi mestinya mendorong penurunan angka korupsi," tegasnya.
Undang-undang Otonomi Daerah Nomor 33 tahun 2004 menyatakan, daerah memiliki hak politik dan hukum untuk mengelola dan menatur rumah tangganya sendiri. Karena itu daerah bisa mengelola Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sendiri, memberdayakan asetnya sendiri, meningkatkan Penghasilan Asli Daerah (PAD). Semuanya, mesti berujung pada layanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Sayangnya, selain kebocoran, banyak pejabat daerah tersangkut korupsi. Pungutan tidak resmi di daerah dikeluhkan oleh pengusaha mencapai 30 % dari biaya produksi. Sementara itu 10.000 Peraturan Daerah dianggap menghambat investasi. KPK juga kasus pengalihan aset Pemda kepada pihak swasta serta penyalahgunaan sumberdaya alam. "Karena itu banyak hutan digunduli dengan alasan pembangunan," ujar Candra.
Buruknya pelayanan publik terlihat dari biaya pengurusan perizinan yang tetap mahal, tidak transparan tidak transparan, tanpa kejelasan waktu penyelesaian, tidak jelas prosedur pelayanannya, kurang ramah dan tanpa sikap melayani. Keberadaan calo masih gampang ditemui di kantor-kantor pemerintah.
Candra mengungkap, biaya resmi pengurusan perizinan yang sudah ditetapkan pusat seringkali menjadi menjadi bervariasi. Contohnya Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 37 tahun 2007 tentang izin Tanda Daftar Perusahaan untuk jenis Perusahaan Perseroan mestinya Rp 100 ribu. Penerapannya di daerah sangat bervariasi antara Rp125 ribu hingga Rp 500 ribu.
Sementara itu, kebocoran juga banyak terjadi dalam proses Pengadaan Barang dan Jasa. Akibatnya, barang menjadi tidak tepat waktu, sasasran, kualitas dan tidak efisien. "Bahkan banyak yang tak bisa dipakai karena tak sesuai dengan kebutuhan," ujar Candra. Banyak gedung pemerintah yang masa pakainya hanya 30-40 % dari usia yang seharusnya. KPK juga menemukan perbedaan harga pembelian barang yang sangat bervariasi antara satu instansi dengan yang lain. Sementara, praktek pemberian komisi oleh kontraktor tetap berlangsung.
ROFIQI HASAN
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/06/10/brk,20090610-181058,id.html
-----------------------------------
Notes :
Apa ya begitu amat sifat korup Pejabat di Negeri ini. Kalau memang seperti itu kok ya nggak malu petentang-petenteng tanpa ada rasa bersalah.
:(
No comments:
Post a Comment