Jawa Pos
[ Sabtu, 14 Februari 2009 ]
Pasar Gelap Politik Indonesia
Oleh Adde M. Wirasenjaya *
ATMOSFER kompetisi politik terus memanas saat ini. Iklan-iklan politik membanjiri media massa. Poster dan bendera partai maupun calon legislatif mengepung sudut-sudut negeri, sepanjang kota dan desa.
Dengan teks dan visual yang kadang sedikit narsis dan mesianistik, para tokoh politik menjadi juru iklan bagi sebuah merek kecap: semua mengklaim sebagai nomor satu, semua menahbiskan diri sebagai penyelamat keadaan dan pembawa obor perubahan. Begitulah, tiba-tiba panggung politik Indonesia didatangai banyak mesiah, yang datang dari dunia antah berantah.
Tak kurang dari 38 partai akan ikut berlaga dalam kontestasi politik 2009. Yang pasti, ongkos untuk menghelat pesta itu begitu tinggi. Bukan saja yang disiapkan pemerintah dalam bentuk anggaran, tapi juga sirkulasi modal yang beredar di masing-masing peserta, baik partai maupun calon legislatif.
Akan sangat ironis rasanya jika biaya politik yang amat mahal itu hanya berakhir dengan lahirnya sistem politik yang dekaden, munculnya aktor yang jauh dari standar, serta hanya menjadi panggung bagi infantilitas politik kaum elite.
Dalam gugusan gelombang demokrasi, kita masuk pada fase keempat di mana pada akhirnya demokrasi banyak ditentukan oleh bekerjanya institusi politik pada kehidupan masyarakat secara riil. Inilah fase pendalaman demokrasi (deepening of democracy).
Kegagalan melakukan pendalaman akan melahirkan risiko yang amat besar bagi seluruh konstruksi politik negeri ini. Masih dominannya aktor dan elite politik lama dalam panggung politik, munculnya kekuatan konservatif pesaing partai dari kelompok sosial dan keagamaan, serta militer yang belum sepenuhnya ikhlas meninggalkan arena politik merupakan serangkaian faktor yang bisa mengancam proses transisi demokrasi.
Dapat pula ditambahkan, penyerahan kehidupan politik pada supremasi sipil juga tidak selalu membuat proyek transisi berjalan mulus selama masih muncul uncivilian mentality di kalangan sipil dalam berdemokrasi.
Kualifikasi dan sirkulasi aktor politik yang memiliki kompatibilitas dengan lembaga politik baru merupakan faktor penting bagi proses pendalaman demokrasi. Politik Indonesia hari ini berlangsung dalam ruang sosial-ekonomi yang sangat rapuh, yang menghidupkan semacam darwinisme politik. Jumlah penganggur yang masih tinggi, dunia kerja yang amat sempit, serta disparitas sosial yang masih menganga menjadi arena bagi kegiatan berpolitik masyarakat kita.
Dalam kondisi semacam itu, politik menjadi semacam kanalisasi sosial-ekonomi yang dirasa begitu sesak. Dunia politik bagi generasi politik baru adalah dunia vocational. Politik hari ini adalah pasar yang dikelola dengan cara yang lain. Dan generasi baru politik yang hadir belakangan datang dari wilayah-wilayah yang market friendly.
Politik adalah tanah yang dijanjikan bagi akumulasi modal dan kekuasaan. Maka, ketika para aktor telah tiba di tanah yang dijanjikan itu, banyak yang enggan kembali.
Karena dunia politik adalah dunia vocational, ia menjadi arena amat keras untuk dipertaruhkan. Dengan logika seperti itu, hubungan antara partai dengan aktor-aktornya bukanlah hubungan yang organik, tapi hubungan instrumental.
Bisa dipahami jika yang kemudian terjadi dalam kehidupan kepartaian negeri ini bukan saja fenomena swing voters, tapi juga jangan-jangan malah muncul ''swing actors''. Jika swing voters dipahami sebagai sebuah bentuk oportunisme pemilih, ''swing actors'' juga merupakan manifestasi dari oportunisme kalangan elite.
Kita bisa melacak hipotesis ini dengan munculnya ''koalisi yang aneh'' dan kadang ''ajaib'' yang dilakukan partai politik di berbagai daerah dalam pilkada. Jika swing voters merupakan bentuk kebingungan pemilih dalam melakukan proses identifikasi politik, swing actors adalah bentuk tiadanya koherensi antara aktor dan institusi politik seperti partai.
Ideologi benar-benar telah mati dalam fenomena itu. Fenomena itu secara dramatis telah meletakkan berbagai platform partai di laci meja sekretariat partai.
Pasar Gelap
Kini, demokrasi berada dalam pusaran industri. Demokrasi industrial di satu sisi telah mengakhiri segregasi antara ekonomi dan politik, tapi pada saat yang sama menciptakan segregasi yang semakin nyata antara massa dengan aktor politik. Politik dan ekonomi, pada potretnya kini, menjadi dua wilayah yang saling mengorporasi satu sama lain.
Sistem otoriter telah memunculkan korporasi oleh negara yang merupakan institusi politik atas kehidupan ekonomi. Sistem liberal memunculkan sebaliknya.
Sistem neo-liberal menyempurnakan hubungan itu dalam logika win-win solution dan mekanisme ''bagi hasil'' antara kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Keduanya -kekuatan politik dan kekuatan ekonomi- kini menjadi kuat jika tampil bersama yang boleh jadi sedang meneriakkan slogan: ''Bersama kita bisa''.
Karena demokrasi liberal hanya berlangsung pada level instrumental, lanskap politik multipartai di Indonesia lebih mengarah pada terciptanya pasar gelap.
Anda yang pernah mampir di pasar gelap (black market) pasti tahu tentang kualitas barang atau produk yang dijajakan di sana. Hanya nasib mujur yang membuat kita bisa menemukan produk yang bagus.
Jadi, orisinalitas dan otentisitas bukan sesuatu yang penting di pasar gelap. Yang penting adalah kemasan (packaging) dan sedikit provokasi para sales. Jangan pernah berharap bisa menagih garansi karena banyak produk yang lahir dari model rekondisi.
Cacat produk tak pernah bisa diklaim di sebuah pasar gelap. Dorongan untuk memilih produk selalu dipengaruhi oleh isu dan iklan yang spartan ketimbang dorongan-dorongan logis, apalagi dorongan moral.
Kehidupan demokrasi kita hari ini, tampaknya, mirip-mirip dengan dunia pasar gelap. Di sana aktor dan partai datang silih berganti, mengibarkan partai, memuntahkan iklan dan janji, tapi kita tidak bisa berharap akan garansi politik dari semua itu.
Kanibalisme produk adalah khas kehidupan di pasar gelap. Maka, tampillah aktor-aktor dan elite rekondisi dari partai-partai hasil proses kanibalistik. Aktor dan elite politik yang memiliki otentisitas harus tersingkir karena tak cukup punya tempat dalam politik berbiaya tinggi.
Kekuatan-kekuatan civil society dan media massa yang mampu memberi tafsir kritis senantiasa dibutuhkan untuk mencegah kristalisasi pasar gelap dalam panggung politik negeri ini. Masyarakat harus terus mendapat pencerahan dari kalangan-kalangan kritis supaya tidak mudah terpesona dalam aneka iklan yang bisa dipastikan makin mengepung menjelang perhelatan pemilu nanti.
Kita diingatkan oleh pepatah lama, ''cerita tentang bulan, bukanlah bulan...''. Dan cerita tentang perubahan, bukanlah perubahan. Dan demokrasi, tak akan pernah bisa tegak, hanya oleh advertensi.
* Adde M. Wirasenjaya, pengajar di Fisipol Universitas Muhammadiyah Jogjakarta
[ Sabtu, 14 Februari 2009 ]
Pasar Gelap Politik Indonesia
Oleh Adde M. Wirasenjaya *
ATMOSFER kompetisi politik terus memanas saat ini. Iklan-iklan politik membanjiri media massa. Poster dan bendera partai maupun calon legislatif mengepung sudut-sudut negeri, sepanjang kota dan desa.
Dengan teks dan visual yang kadang sedikit narsis dan mesianistik, para tokoh politik menjadi juru iklan bagi sebuah merek kecap: semua mengklaim sebagai nomor satu, semua menahbiskan diri sebagai penyelamat keadaan dan pembawa obor perubahan. Begitulah, tiba-tiba panggung politik Indonesia didatangai banyak mesiah, yang datang dari dunia antah berantah.
Tak kurang dari 38 partai akan ikut berlaga dalam kontestasi politik 2009. Yang pasti, ongkos untuk menghelat pesta itu begitu tinggi. Bukan saja yang disiapkan pemerintah dalam bentuk anggaran, tapi juga sirkulasi modal yang beredar di masing-masing peserta, baik partai maupun calon legislatif.
Akan sangat ironis rasanya jika biaya politik yang amat mahal itu hanya berakhir dengan lahirnya sistem politik yang dekaden, munculnya aktor yang jauh dari standar, serta hanya menjadi panggung bagi infantilitas politik kaum elite.
Dalam gugusan gelombang demokrasi, kita masuk pada fase keempat di mana pada akhirnya demokrasi banyak ditentukan oleh bekerjanya institusi politik pada kehidupan masyarakat secara riil. Inilah fase pendalaman demokrasi (deepening of democracy).
Kegagalan melakukan pendalaman akan melahirkan risiko yang amat besar bagi seluruh konstruksi politik negeri ini. Masih dominannya aktor dan elite politik lama dalam panggung politik, munculnya kekuatan konservatif pesaing partai dari kelompok sosial dan keagamaan, serta militer yang belum sepenuhnya ikhlas meninggalkan arena politik merupakan serangkaian faktor yang bisa mengancam proses transisi demokrasi.
Dapat pula ditambahkan, penyerahan kehidupan politik pada supremasi sipil juga tidak selalu membuat proyek transisi berjalan mulus selama masih muncul uncivilian mentality di kalangan sipil dalam berdemokrasi.
Kualifikasi dan sirkulasi aktor politik yang memiliki kompatibilitas dengan lembaga politik baru merupakan faktor penting bagi proses pendalaman demokrasi. Politik Indonesia hari ini berlangsung dalam ruang sosial-ekonomi yang sangat rapuh, yang menghidupkan semacam darwinisme politik. Jumlah penganggur yang masih tinggi, dunia kerja yang amat sempit, serta disparitas sosial yang masih menganga menjadi arena bagi kegiatan berpolitik masyarakat kita.
Dalam kondisi semacam itu, politik menjadi semacam kanalisasi sosial-ekonomi yang dirasa begitu sesak. Dunia politik bagi generasi politik baru adalah dunia vocational. Politik hari ini adalah pasar yang dikelola dengan cara yang lain. Dan generasi baru politik yang hadir belakangan datang dari wilayah-wilayah yang market friendly.
Politik adalah tanah yang dijanjikan bagi akumulasi modal dan kekuasaan. Maka, ketika para aktor telah tiba di tanah yang dijanjikan itu, banyak yang enggan kembali.
Karena dunia politik adalah dunia vocational, ia menjadi arena amat keras untuk dipertaruhkan. Dengan logika seperti itu, hubungan antara partai dengan aktor-aktornya bukanlah hubungan yang organik, tapi hubungan instrumental.
Bisa dipahami jika yang kemudian terjadi dalam kehidupan kepartaian negeri ini bukan saja fenomena swing voters, tapi juga jangan-jangan malah muncul ''swing actors''. Jika swing voters dipahami sebagai sebuah bentuk oportunisme pemilih, ''swing actors'' juga merupakan manifestasi dari oportunisme kalangan elite.
Kita bisa melacak hipotesis ini dengan munculnya ''koalisi yang aneh'' dan kadang ''ajaib'' yang dilakukan partai politik di berbagai daerah dalam pilkada. Jika swing voters merupakan bentuk kebingungan pemilih dalam melakukan proses identifikasi politik, swing actors adalah bentuk tiadanya koherensi antara aktor dan institusi politik seperti partai.
Ideologi benar-benar telah mati dalam fenomena itu. Fenomena itu secara dramatis telah meletakkan berbagai platform partai di laci meja sekretariat partai.
Pasar Gelap
Kini, demokrasi berada dalam pusaran industri. Demokrasi industrial di satu sisi telah mengakhiri segregasi antara ekonomi dan politik, tapi pada saat yang sama menciptakan segregasi yang semakin nyata antara massa dengan aktor politik. Politik dan ekonomi, pada potretnya kini, menjadi dua wilayah yang saling mengorporasi satu sama lain.
Sistem otoriter telah memunculkan korporasi oleh negara yang merupakan institusi politik atas kehidupan ekonomi. Sistem liberal memunculkan sebaliknya.
Sistem neo-liberal menyempurnakan hubungan itu dalam logika win-win solution dan mekanisme ''bagi hasil'' antara kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Keduanya -kekuatan politik dan kekuatan ekonomi- kini menjadi kuat jika tampil bersama yang boleh jadi sedang meneriakkan slogan: ''Bersama kita bisa''.
Karena demokrasi liberal hanya berlangsung pada level instrumental, lanskap politik multipartai di Indonesia lebih mengarah pada terciptanya pasar gelap.
Anda yang pernah mampir di pasar gelap (black market) pasti tahu tentang kualitas barang atau produk yang dijajakan di sana. Hanya nasib mujur yang membuat kita bisa menemukan produk yang bagus.
Jadi, orisinalitas dan otentisitas bukan sesuatu yang penting di pasar gelap. Yang penting adalah kemasan (packaging) dan sedikit provokasi para sales. Jangan pernah berharap bisa menagih garansi karena banyak produk yang lahir dari model rekondisi.
Cacat produk tak pernah bisa diklaim di sebuah pasar gelap. Dorongan untuk memilih produk selalu dipengaruhi oleh isu dan iklan yang spartan ketimbang dorongan-dorongan logis, apalagi dorongan moral.
Kehidupan demokrasi kita hari ini, tampaknya, mirip-mirip dengan dunia pasar gelap. Di sana aktor dan partai datang silih berganti, mengibarkan partai, memuntahkan iklan dan janji, tapi kita tidak bisa berharap akan garansi politik dari semua itu.
Kanibalisme produk adalah khas kehidupan di pasar gelap. Maka, tampillah aktor-aktor dan elite rekondisi dari partai-partai hasil proses kanibalistik. Aktor dan elite politik yang memiliki otentisitas harus tersingkir karena tak cukup punya tempat dalam politik berbiaya tinggi.
Kekuatan-kekuatan civil society dan media massa yang mampu memberi tafsir kritis senantiasa dibutuhkan untuk mencegah kristalisasi pasar gelap dalam panggung politik negeri ini. Masyarakat harus terus mendapat pencerahan dari kalangan-kalangan kritis supaya tidak mudah terpesona dalam aneka iklan yang bisa dipastikan makin mengepung menjelang perhelatan pemilu nanti.
Kita diingatkan oleh pepatah lama, ''cerita tentang bulan, bukanlah bulan...''. Dan cerita tentang perubahan, bukanlah perubahan. Dan demokrasi, tak akan pernah bisa tegak, hanya oleh advertensi.
* Adde M. Wirasenjaya, pengajar di Fisipol Universitas Muhammadiyah Jogjakarta
No comments:
Post a Comment