RI-1 dan RI-2 Retak?
[JAKARTA] Hubungan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Jusuf Kalla (JK)
disinyalir mulai retak, terutama menjelang pemilu presiden tahun ini.
Indikator keretakan tersebut terbaca dari materi iklan Partai Demokrat
dan Partai Golkar, yang seolah bersaing mengklaim keberhasilan
masing-masing di pemerintahan.
Partai Demokrat, misalnya, sebagai
pendukung utama SBY mengklaim bahwa penurunan harga BBM hingga tiga
kali adalah prestasi SBY. Sedangkan iklan Golkar menyodorkan prestasi
partai Beringin itu dalam ekspor beras.
Sumber SP mengungkapkan, gejala
keretakan keduanya juga terbaca melalui manuver JK yang mulai mendekati
Sri Sultan Hamengku Buwono X, dan kuat dugaan, keduanya berpeluang
besar berpasangan. Bila JK dan Sultan berpasangan, niscaya akan memberi
energi bagi Kalla dan Golkar, untuk kembali memenangi pemilu
legislatif. Apalagi, JK tengah menghadapi tekanan internal, yakni
tuntutan supaya Golkar menang, dan kekecewaan bahwa JK hanya mengincar
kursi wapres.
Terkait hal itu, sejumlah kalangan di
Golkar yang mendesak dipercepatnya penetapan capres sebelum pemilu
legislatif mendatang. Kelompok tersebut berupaya mengusung Ketua Umum
DPP Partai Golkar Jusuf Kalla sebagai capres. Latar belakangnya,
menyikapi dinamika politik akhir-akhir ini, belum ada kejelasan sikap
dari SBY, apakah akan kembali meng- gandeng JK pada pilpres mendatang.
[A-17/M-16]
++++
http://202.169.46.231/spnews/News/2009/01/30/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY
SBY Mulai Panik
Seharusnya, Presiden lebih memikirkan kehidupan rakyat
[JAKARTA] Berbagai "serangan"
yang dilancarkan lawan-lawan politik membuat Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) mulai terlihat panik. Hal itu semakin tercermin dari
pernyataan Presiden pada Kamis (29/1) mengenai adanya gerakan di
kalangan perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang mendukung calon
presiden (capres) tertentu dan sebaliknya menolak capres berinisial
"S".
"Saya mendengar informasi ada seorang
petinggi TNI Angkatan Darat yang mengatakan ABS, asal bukan capres S
begitu. Ada petinggi Polri yang diisukan membentuk tim sukses untuk
capres tertentu. Saya yakin informasi itu tidak benar. Saya yakin
sekali lagi informasi itu tidak benar. Wartawan jangan salah mencatat,"
kata Presiden saat memberi pembekalan pada rapat pimpinan TNI dan rapat
kerja Polri di Istana Negara, Jakarta, Kamis (29/1).
Menanggapi hal itu, Sekjen Partai Gerindra, A Muzani kepada SP,
Jumat (30/1) pagi, menyebutkan pernyataan itu menunjukkan SBY mulai
panik, karena khawatir dukungan kepadanya mulai digerogoti. Dia juga
menyesalkan respons Presiden yang justru menanggapi isu murahan seperti
itu.
"Kami menyesalkan kenapa seorang
presiden harus menanggapi isu murahan tersebut. Seharusnya Presiden
memerintahkan para intelijennya untuk menyelidiki apakah isu tersebut
benar atau tidak," ujarnya.
Seharusnya, kata Muzani, Presiden
lebih memikirkan hal-hal yang penting atau terkait dengan kehidupan
rakyat banyak dan bukan menanggapi isu-isu yang belum tentu benar. Hal
itu menunjukkan SBY belum pantas disebut sebagai negarawan, tetapi baru
sebatas politisi. "Seorang negarawan akan lebih bijak melihat sesuatu
atau mengeluarkan pernyataan-pernyataan di hadapan publik. Yang jelas
kami menilai SBY bukan seorang negarawan," tegasnya.
Sedangkan, Sekjen Partai Hati Nurani
Rakyat (Hanura) Yus Usman Sumanegara berpendapat sebagai pimpinan
tertinggi angkatan bersenjata, Presiden memiliki kewenangan untuk
menegur jika mengetahui ada aparat TNI yang tidak netral. "Sebagai
Presiden tentunya mengingatkan aparaturnya jangan sampai
digiring-giring ke arah politik. Tak ingin kejadian 2004 lalu terjadi,
dimana dirinya merasa dirugikan," ujarnya.
Sementara itu, peneliti Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jaleswari Pramodhawardani menilai
pernyataan Presiden itu merupakan sebuah kewajaran, sekaligus respons
atas kekecewaanya sebagai korban ketidaknetralan TNI pada Pilpres 2004.
"Presiden SBY selaku panglima
tertinggi angkatan bersenjata mencoba mengingatkan TNI agar tetap
menjaga netralitasnya. Ini ibarat gayung bersambut, di satu sisi untuk
kepentingan politik dan di sisi lain mengingatkan agar tentara tidak
berpolitik," ujarnya.
Jaleswari menyatakan posisi TNI/Polri
memang sangat strategis, sehingga sering kali ingin ditarik ke wilayah
politik. "Menjelang 10 tahun reformasi TNI, Panglima TNI pun diuji
konsistensinya untuk menjamin profesionalisme dan kenetralan anggotanya
pada Pemilu 2009. Panglima TNI harus buktikan janjinya. Jika tidak,
kita akan tagih janjinya," ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Divisi Humas
Mabes Polri Irjen Pol Abu Bakar Nataprawira menyatakan Kapolri Jenderal
Pol Bambang Hendarso Danuri mengatakan siap menindak jika ada oknum
Polri yang terbukti memihak parpol tertentu saat bertugas mengamankan
pemilu. Posisi jajaran Polri dalam pengamanan pesta demokrasi tersebut
harus netral, tidak boleh memihak salah satu parpol atau capres.
[Ant/A-21/M-16/ASR/G-5]
No comments:
Post a Comment