SESUDAH sebulan menjalankan ibadah Ramadhan, tibalah Hari Kemenangan. Kegembiraan dan perasaan bahagia menyebar dan dirasakan umat Islam seantero jagat.
Di Indonesia, negeri yang berpenduduk mayoritas muslim, yakni sekitar 207,000,105 jiwa (88.20%), perayaan kemenangan itu kian semarak. Suara takbir bersahutan di mana-mana, bayangkan jika di Jakarta saja terdapat sekitar 1.000 mesjid dan musholla, maka pada saat yang bersamaan terdapat sekitar 1.000 suara takbir yang saling bersahutan, belum lagi di rumah-rumah yang selalu memutar kaset takbir semakin menambah ingar-bingar hari kemenangan Islam tersebut.
Di tengah gegap gempita merayakan Hari Raya Idul Fitri ini, perlu kiranya kita menangkap yang tersembunyi dari peristiwa tersebut. Apa hikmah di balik kemenangan ini semua?
Lebaran telah tiba. Dan arus mudik terus mengalir dari ibu kota Jakarta ke berbagai daerah, dari kota-kota ke desa. Mudik sudah menjadi tradisi di negeri ini.
Bagi sebagian besar warga indonesia, mudik ke kampung halaman pada saat lebaran merupakan sebuah tradisi. Orang yang bekerja di luar kampung halamannya, menyempatkan diri kembali ke kampung halaman untuk berlebaran dengan orang tua dan sanak saudaranya.
Para pengamat mencatat, ritual mudik lebaran pasca Ramadhan kini sudah bergeser, bukan semata-mata untuk kembali ke haribaan kampung halaman, sungkem kepada sesepuh, kerabat, dan handai tolan semata, namun sudah banyak muatan-muatan kepentingan yang mengikutinya dalam rangka pencitraan diri, dan kayaknya ini semakin ditonjolkan oleh para pemudik.
Mudik bisa dimaknai sebagai pengalihan sementara perputaran rupiah ke pedesaan. Betapa tidak, selama acara mudik, uang dari kota dan manca negara tumpah ruah berputar di desa yang nilainya bisa mencapai miliaran rupiah, karena pada hari itu, segala produk konsumtif yang ada di kota pun beredar pula di seluruh penjuru desa, berseliweran sebagai simbol sukses kerja di rantau (tanpa harus tahu semua barang itu milik sendiri, beli kontan, atau kreditan, pinjaman bahkan mungkin colongan), tidak masalah yang penting bisa gaya di hari Idul Fitri yang penuh barokah dan maghfiroh.
Inilah mungkin model Islam ala Indonesia, lebaran sebagai tanda akhir puasa Ramadhan harus diwarnai dengan ritual mudik yang menguras tenaga dan biaya. Padahal di era kemajuan teknologi informasi, kita sudah bisa melakukan komunikasi saling kabar-kabari sekaligus meminta maaf secara online dari jarak jauh. Yah…, dilematis sekali, bagi yang punya fasilitas, mudik tidak masalah, malah sebagai suatu kebanggaan sekaligus menjadi “pamer sugih bondo”, tapi bagi yang tidak punya, apakah harus dipaksakan dan memaksakan diri ?
Namun demikian, kita semestinya mengucap syukur dan ‘’marhaban ya Lebaran’’. Ada tradisi khas milik orang Indonesia, kampung halaman kita di hari raya 'Idul Fitri, yaitu silaturrahim, atau orang menyebutnya silaturahmi. Meskipun silaturrahim tidak ada kaitannya secara langsung dengan rangkaian ibadah Ramadhan dan 'Idul Fitri, tapi tradisi ini sangat baik untuk dilestarikan dan dikembangkan. Kita saling mengunjungi sanak saudara bahkan tetangga atau teman sejawat, atasan dan bawahan. Terkadang kita secara sengaja mudik, bepergian jauh, beratus kilometer bahkan mungkin beribu kilometer, hanya sekedar untuk menjumpai orang tua atau sanak famili. Sekedar untuk menjumpainya dan bersilaturahmi, menyegarkan ikatan kekerabatan, menyambung dan mempererat tali persaudaraan.
Kesempatan 'Idul Fitri tidak akan dijumpai pada moment lain apapun. Untuk itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Bagi yang masih punya masalah dengan sanak saudaranya, kesempatan ini sangat cocok untuk saling bermaafan. Kepada mereka yang sudah mulai renggang, kesempatan ini sangat baik untuk merapatkan kembali. Kepada yang sudah akrab dan dekat, kesempatan ini tetap lebih baik untuk memupuk tali persaudaraan.
Ada janji Rasulullah.saw yang patut untuk direnungkan. Beliau bersabda, "Barangsiapa menjamin untukku satu perkara, aku jamin untuknya empat perkara. Hendaknya dia bersilaturrahim, niscaya keluarganya akan mencintainya, diperluas baginya rezekinya, ditambah umurnya dan Allah memasukkannya ke dalam syurga yang dijanjikan-Nya." (HR. Ar-Rabii')
Dari hadist tersebut, betapa besar nilai silaturahmi. Kegiatan ini sangat khas di kampung halaman kita. Jarang di negara lain yang mempunyai kebiasan seperti di kita. Itulah makna mudik dan lebaran. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir batin. Marhaban, ya Lebaran! [nic]
.
Di Indonesia, negeri yang berpenduduk mayoritas muslim, yakni sekitar 207,000,105 jiwa (88.20%), perayaan kemenangan itu kian semarak. Suara takbir bersahutan di mana-mana, bayangkan jika di Jakarta saja terdapat sekitar 1.000 mesjid dan musholla, maka pada saat yang bersamaan terdapat sekitar 1.000 suara takbir yang saling bersahutan, belum lagi di rumah-rumah yang selalu memutar kaset takbir semakin menambah ingar-bingar hari kemenangan Islam tersebut.
Di tengah gegap gempita merayakan Hari Raya Idul Fitri ini, perlu kiranya kita menangkap yang tersembunyi dari peristiwa tersebut. Apa hikmah di balik kemenangan ini semua?
Lebaran telah tiba. Dan arus mudik terus mengalir dari ibu kota Jakarta ke berbagai daerah, dari kota-kota ke desa. Mudik sudah menjadi tradisi di negeri ini.
Bagi sebagian besar warga indonesia, mudik ke kampung halaman pada saat lebaran merupakan sebuah tradisi. Orang yang bekerja di luar kampung halamannya, menyempatkan diri kembali ke kampung halaman untuk berlebaran dengan orang tua dan sanak saudaranya.
Para pengamat mencatat, ritual mudik lebaran pasca Ramadhan kini sudah bergeser, bukan semata-mata untuk kembali ke haribaan kampung halaman, sungkem kepada sesepuh, kerabat, dan handai tolan semata, namun sudah banyak muatan-muatan kepentingan yang mengikutinya dalam rangka pencitraan diri, dan kayaknya ini semakin ditonjolkan oleh para pemudik.
Mudik bisa dimaknai sebagai pengalihan sementara perputaran rupiah ke pedesaan. Betapa tidak, selama acara mudik, uang dari kota dan manca negara tumpah ruah berputar di desa yang nilainya bisa mencapai miliaran rupiah, karena pada hari itu, segala produk konsumtif yang ada di kota pun beredar pula di seluruh penjuru desa, berseliweran sebagai simbol sukses kerja di rantau (tanpa harus tahu semua barang itu milik sendiri, beli kontan, atau kreditan, pinjaman bahkan mungkin colongan), tidak masalah yang penting bisa gaya di hari Idul Fitri yang penuh barokah dan maghfiroh.
Inilah mungkin model Islam ala Indonesia, lebaran sebagai tanda akhir puasa Ramadhan harus diwarnai dengan ritual mudik yang menguras tenaga dan biaya. Padahal di era kemajuan teknologi informasi, kita sudah bisa melakukan komunikasi saling kabar-kabari sekaligus meminta maaf secara online dari jarak jauh. Yah…, dilematis sekali, bagi yang punya fasilitas, mudik tidak masalah, malah sebagai suatu kebanggaan sekaligus menjadi “pamer sugih bondo”, tapi bagi yang tidak punya, apakah harus dipaksakan dan memaksakan diri ?
Namun demikian, kita semestinya mengucap syukur dan ‘’marhaban ya Lebaran’’. Ada tradisi khas milik orang Indonesia, kampung halaman kita di hari raya 'Idul Fitri, yaitu silaturrahim, atau orang menyebutnya silaturahmi. Meskipun silaturrahim tidak ada kaitannya secara langsung dengan rangkaian ibadah Ramadhan dan 'Idul Fitri, tapi tradisi ini sangat baik untuk dilestarikan dan dikembangkan. Kita saling mengunjungi sanak saudara bahkan tetangga atau teman sejawat, atasan dan bawahan. Terkadang kita secara sengaja mudik, bepergian jauh, beratus kilometer bahkan mungkin beribu kilometer, hanya sekedar untuk menjumpai orang tua atau sanak famili. Sekedar untuk menjumpainya dan bersilaturahmi, menyegarkan ikatan kekerabatan, menyambung dan mempererat tali persaudaraan.
Kesempatan 'Idul Fitri tidak akan dijumpai pada moment lain apapun. Untuk itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Bagi yang masih punya masalah dengan sanak saudaranya, kesempatan ini sangat cocok untuk saling bermaafan. Kepada mereka yang sudah mulai renggang, kesempatan ini sangat baik untuk merapatkan kembali. Kepada yang sudah akrab dan dekat, kesempatan ini tetap lebih baik untuk memupuk tali persaudaraan.
Ada janji Rasulullah.saw yang patut untuk direnungkan. Beliau bersabda, "Barangsiapa menjamin untukku satu perkara, aku jamin untuknya empat perkara. Hendaknya dia bersilaturrahim, niscaya keluarganya akan mencintainya, diperluas baginya rezekinya, ditambah umurnya dan Allah memasukkannya ke dalam syurga yang dijanjikan-Nya." (HR. Ar-Rabii')
Dari hadist tersebut, betapa besar nilai silaturahmi. Kegiatan ini sangat khas di kampung halaman kita. Jarang di negara lain yang mempunyai kebiasan seperti di kita. Itulah makna mudik dan lebaran. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir batin. Marhaban, ya Lebaran! [nic]
.
No comments:
Post a Comment