3 Polisi Yang Nggak Mempan Disuap

Sumber : Unik4U

Polisi Hoegeng

Polisi Patung

Polisi Tidur

Ongkos Politik = Beban Rakyat

Sumber : Tangsel Raya

Dengan terbentuknya DPRD Kota Tangerang akhir Maret 2010 lalu, berarti kota ini mulai punya kepastian bahwa tahap pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk memilih wali kota definitif akan segera dimulai.

Tugas pertama, DPRD akan segera menyusun rencana peraturan daerah (raperda) yang berkaitan dengan pilkada. Setelah itu raperda akan disahkan menjadi perda. Baru kemudian dilakukan tahapan sosialisasi perda, penyaringan calon wali kota hingga akhirnya dilaksanakan pilkada secara jujur dan adil alias jurdil.

Tapi belum lagi tahapan pilkada dimulai ada kabar kurang sedap yang tercuat berkaitan dengan "ongkos politik" yang harus dikeluarkan oleh para calon kandidat wali kota. Setiap calon pasti menyadari bahwa "ongkos politik" memang mutlak diperlukan tapi hendaknya masih dalam hitungan wajar.

Namun isu yang beredar kemudian, ada salah satu calon kandidat dikenakan ongkos politik sebesar Rp 500 juta - Rp 1 milyar per kursi/suara anggota DPRD yang merupakan perwakilan dari partai politik. Sementara untuk mendapatkan "perahu" sebelum mengarungi "lautan pilkada", seorang calon membutuhkan minimal 7 kursi atau suara.

Secara hitungan awam, paling tidak si calon membutuhkan ongkos politik antara Rp 3,5 milyar hingga Rp 7 milyar. Ironisnya biaya tersebut belum termasuk "biaya kampanye" yang juga masuk sebagai "ongkos politik". Sehingga paling tidak dalam pilkada mendatang, si calon harus menyiapkan dana sebesar Rp 10 milyar untuk maju sebagai kontestan.

Terlepas, isu tersebut benar atau tidak, hukum sebab akibat pasti akan terjadi dalam pilkada ini. Dalam prinsip investasi, ada hukum yang disebut tabur tuai. Jika kita menabur sedikit pasti akan menuai sedikit. Tapi jika kita menabur banyak, paling tidak juga harus menuai banyak.

"Dengan pengorbanan sedikit untuk mendapatkan penghasilan yang banyak," secara otomatis merupakan teori mutlak yang berlaku secara umum.

Tanpa ingin menuding calon-calon yang akan bertarung dalam pilkada mendatang akan berlaku seperti pelaku-pelaku bisnis ini, kami mereasa bahwa paling tidak si calon punya beban moral kepada keluarga, sahabat ataupun rekanan yang membantu mereka dalam penyediaan dana kampanye mereka.

Ujung-ujungnya, praktek-praktek ilegal seperti "jual-beli proyek" atau "kongkalikong politik" tentu tak dapat dihindarkan. Maka sebagai para politisi yang berada di partai-partai politik dapat memikirkan hal ini lebih dalam. Jangan hanya karena mengejar kepentingan sesaat, partai politik memanfaatkan calon kandidat sebagai sapi perah. Sebab jika di kemudian hari calon yang didukung melakukan "kecurangan" demi untuk menutupi "ongkos politik" yang dia harus bayar, rakyat yang partai politik wakili juga yang akan menanggung bebannya. (w-2)

Walhi: Ada Makelar Kasus Lapindo

http://www.lampungpost.com/aktual/berita.php?id=16547

Kamis, 15 April 2010

HUKUM-KRIMINAL

Walhi: Ada Makelar Kasus Lapindo

JAKARTA (LampostOnline): Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menduga telah terjadi praktik makelar kasus atau markus dalam proses pengusutan dugaan pelanggaran hukum luapan lumpur Lapindo.

"Walhi menilai telah terjadi makelar kasus dan dugaan korupsi atas terbitnya surat perintah penghentian penyidikan kasus lumpur Lapindo," kata Pengkampanye Tambang Walhi Pius Ginting di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK), Jakarta Selatan, Kamis (15-4).

Pius berada di KPK untuk melaporkan dugaan korupsi dalam proses hukum kasus lumpur Lapindo.

Dugaan korupsi dan praktik mafia hukum itu, menurut Pius, terjadi ketika Kepolisian Daerah Jawa Timur menghentikan penyidikan dugaan pelanggaran hukum dalam kasus lumpur Lapindo.

Surat perintah penghentian penyidikan itu dikeluarkan Direktorat Reserse dan Kriminal Polda Jatim pada Agustus 2009.

Alasan penyidikan dihentikan karena berkas perkara sudah empat kali dikembalikan kejaksaan setempat. Pengembalian berkas disertai dengan dua petunjuk formil serta delapan petunjuk materiil untuk membuktikan unsur tindak pidana yang dipersangkakan.

Namun menurut Pius, pengembalian berkas tidak dapat dijadikan alasan untuk menghentikan penyidikan suatu perkara. "Tidak ada aturan dalam KUHAP yang mengatur mengenai batas mengirim berkas perkara atau yang disebut pra penuntutan," ucap Pius.

"Jadi, tidaklah tepat jika hal itu dijadikan pertimbangan atau alasan penghentian penyidikan." YNI/L-1

1001 Modus Makelar Kasus

Sumber : http://multiply.com/gi/sudarjanto:journal:13948

1001 Modus Makelar Kasus (1)

Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary

Kamis, 15 April 2010 | 10:14 WIB

KOMPAS.com — Kepolisian RI masih terus melakukan penyelidikan mengenai dugaan makelar kasus yang melibatkan oknum polisi. Keterangan dari mantan Kepala Bareskrim Polri, Komjen (Pol) Susno Duadji, menunjukkan adanya indikasi bahwa makelar kasus alias markus ini beroperasi secara berjaringan, bahkan lintas institusi penegak hukum.
Rumor adanya markus memang telah menjadi rahasia umum. Namun, wujudnya selalu tak pernah terungkap. Susno bahkan menyebut, satu markus mati akan digantikan dengan markus lainnya. Anggota Komisi III Nasir Djamil pernah mengatakan, keberadaan jaringan mafia kasus ini sudah dibangun bak dinasti.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Kompas.com, ada sejumlah modus yang biasa dijalankan oleh jaringan ini. Salah satunya dari riset yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2001 di beberapa daerah, di antaranya Jakarta, Makassar, Surabaya, Medan, Samarinda, dan Yogyakarta.
Hasilnya menunjukkan, sejumlah praktik penyelewengan berlangsung di lembaga penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Demikian pula kesaksian kuasa hukum yang kerap berurusan dengan para aparat terkait. Benang merahnya satu: memanfaatkan peluang sebesar-besarnya untuk “mengeruk” pihak beperkara.


“Sang Penyambung”


Jaringan mafia kasus hukum memang terorganisasi. Biasanya, ada oknum yang menjadi “aktor penyambung” antara pihak beperkara dan penegak hukum. Salah seorang pengacara, Luthfie Hakim, mengungkapkan kepada Kompas.com bahwa ia pernah mengenal dua orang yang biasanya berperan sebagai “penyambung” dan menawarkan penanganan perkara. “Tapi saya tidak pernah mau berurusan dengan yang seperti ini,” ungkapnya.
“Sang Penyambung” itu, diakuinya, bukan merupakan orang yang berlatar belakang hukum atau berstatus sebagai pegawai di institusi penegak hukum itu sendiri. Namun, orang ini mempunyai kemampuan yang sangat kuat untuk melobi dan mengatur perkara. “Tidak hanya di kepolisian, ada juga di pengadilan,” katanya.
Bagaimana modusnya? Inilah beberapa di antara banyak modus yang biasa dijalankan oleh para “pengatur” kasus itu….


Penggelapan perkara


Penggelapan perkara biasanya dilakukan dengan menghentikan perkara karena alasan tidak cukup bukti. Modus yang sering digunakan adalah rekayasa berita acara pemeriksaan (BAP). Dalam pembuatan BAP, penyidik menawarkan pengaburan  unsur-unsur pidana dalam perkara tersebut sehingga dalam persidangan kelak dapat meringankan tersangka.
Namun, pengaburan unsur-unsur ini tak “gratis”. Ada harga yang harus dibayarkan. Modus serupa juga bisa terjadi pada saat penyerahan BAP dari polisi ke pihak kejaksaan. Tujuannya sama agar tersangka kelak mendapat keringanan pada saat persidangan. Penggelapan perkara juga dilakukan oleh jaksa.
Pada tahap penelitian, calon tersangka dipanggil ke kejaksaan dan ditanya, apakah kasusnya akan diteruskan atau tidak. Kalau pada saat itu tersangka bersedia membayar sejumlah uang yang telah disepakati, maka kasusnya tidak akan diteruskan karena jaksa akan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).


Negosiasi perkara


Berbagai celah proses hukum selalu dimanfaatkan untuk menekan pihak beperkara. Modusnya, dengan memperpanjang atau mengulur-ulur waktu penyidikan. Luthfie Hakim mengatakan, terkadang pihak penyidik mencari-cari pasal untuk menjerat pihak yang berperkara. Pasal yang dijeratkan menjadi lebih berat sehingga akan ada upaya negosiasi. “Biasanya akan ditanya, mau diteruskan atau bagaimana? Kalau sudah ada pertanyaan ini, maka itu adalah tanda bisa dinegosiasi kalau mau,” kata Luthfie.
Sementara itu, sumber Kompas.com yang namanya tak mau disebut mengungkapkan, mafia kasus ini juga kerap “menciptakan” kasus. Pihak yang disasar biasanya para pengusaha. “Modusnya selalu dicari celah, apa yang bisa dipermasalahkan. Padahal sebenarnya enggak ada masalah, dan mereka ini memang berjaringan,” ujar sumber tersebut.


Tawaran untuk menggunakan jasa pengacara tertentu


Modus ini terungkap dalam riset ICW. Operasional modus ini pula yang sempat diungkapkan oleh Susno saat bersaksi di Komisi III DPR. Saat itu, Susno menyebutkan, aktor “markus” yang terlibat dalam dugaan rekayasa kasus Gayus Tambunan sama dengan aktor yang diduga terlibat dalam kasus penangkaran arwana senilai Rp 500 miliar.
Pihak yang disebutkan Susno di antaranya adalah Mr X (SJ), Andi Kosasih (pihak yang diskenariokan mengakui uang di rekening Gayus), dan Haposan Hutagalung (pengacara Gayus). Dengan melihat aktor yang sama, anggota Komisi III, Syarifuddin, mengungkapkan, mafia ini memang sangat terorganisasi dan berjaringan.
“Katanya, penyidiknya sama. Kemudian, jaksa penelitinya sama. Mungkin hakimnya juga sama. Operasinya sudah sangat sistematis dan terorganisasi, tapi kronis bagi penegakan hukum,” kata Syarifuddin.
Sementara itu, dalam analisis ICW, modus ini menunjukkan adanya hubungan antara penegak keadilan di luar perkara yang dihubungkan dan penanganan perkara yang dilakukan. Pada modus ini, ICW berpendapat, sudah ada kolusi antara penegak hukum dan oknum pengacara untuk memeras pihak beperkara. Pengacara yang ditawarkan biasanya memiliki kedekatan dengan penegak hukum. Keterangan Mabes Polri bahwa SJ merupakan orang yang menghubungkan penegak hukum dengan pihak yang berperkara bisa jadi menguatkan modus ini.

1001 Modus Makelar Kasus (2)

Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary

Kamis, 15 April 2010 | 10:37 WIB

KOMPAS.com — Praktik jaringan mafia kasus bekerja secara sistematis dan terorganisasi. Praktik ini melibatkan oknum-oknum “nakal” di institusi penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun lembaga peradilan. Untuk menghubungkan semua link lembaga penegak hukum ini, biasanya pihak di luar institusi dilibatkan.
SJ, yang diduga sebagai makelar kasus dan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri, disinyalir sebagai pihak yang berperan menjadi penghubung antara penegak hukum dan pihak yang beperkara. Hal itu dikatakan oleh Kepala Bidpenum Polri Zulkarnaen pascapenetapan SJ sebagai tersangka. Modus apalagi yang biasanya dijalankan?
Lobi di pengadilan

Kasus yang sudah sampai pada tahap persidangan pun masih bisa dilobi. Salah seorang pengacara, Luthfie Hakim, menuturkan bahwa biasanya tawaran datang dari orang luar atau dalam pengadilan. Menurut Luthfie, orang dalam pengadilan biasanya panitera. Ia menceritakan pengalaman menangani perkara kelas kakap yang melibatkan adik seorang konglomerat sebagai salah satu tersangkanya.
“Saya menangani legalnya. Tapi ada lawyer yang menangani lobi. Saya katakan, (klien) pasti kena karena waktu itu kan tersangkanya ada empat dan sudah 'dibabat' semua, ngaku semua. Ketika saya bilang pasti kena, adik konglomerat itu pusing. Kata lawyer lobi, enggak akan. Dia bilang Polri 1, 2, 3 sudah dibereskan. Akhirnya belakangan saya baru tahu kalau BAP diganti, pertanyaan dan jawaban dibuat sendiri. Kasusnya akhirnya di-SP3. Saya menghindari terlibat seperti itu dan saya bilang, rusak kalian bikin pengadilan ini,” ujar Luthfie kepada Kompas.com, Rabu (14/4/2010).
Memilih majelis hakim

Riset Indonesia Corruption Watch tahun 2001 pada institusi penegak hukum di beberapa kota di Indonesia juga menunjukkan adanya praktik memilih hakim yang akan menangani kasus dengan menghubungi pimpinan pengadilan.
“Ada kalanya pengacara langsung menghubungi ketua PN atau PT. Hakim-hakim yang dipilih biasanya yang berasal dari suku yang sama dengan harapan perkaranya akan ditangani secara kekeluargaan. Tetapi kebanyakan hal ini dilakukan melalui panitera. Pengacara menghubungi panitera agar dihubungkan ke ketua PN untuk melakukan negosiasi penentuan majelis hakim yang akan menangani perkara kliennya. Secara aktif, pengacara mewakili kliennya melakukan modus ini. Tapi ada juga beberapa pengacara yang tidak mau melakukan negosiasi ini sehingga kliennya-lah yang aktif melakukan negosiasi dengan panitera,” demikian dalam laporan riset ICW.
Hakim dipilih agar majelis hakim yang menangani perkara dapat diarahkan sesuai dengan keinginan pihak-pihak yang berkolusi.
Pemerasan dan suap

Modus lain yang diungkap dalam riset ICW adalah seorang hakim dapat menghubungi pengacara atau pihak yang beperkara dalam kasus yang ditanganinya. Biasanya berdasarkan modus yang digunakan, utusan tersebut akan menyampaikan bahwa putusan sudah disiapkan, tetapi masih terdapat kelemahan atas bukti yang diajukan.
Tawaran “bantuan” memperkuat bukti tentunya tidak gratis. Jika pengacara tidak ingin turut menyuap hakim, maka dia menyerahkan masalah suap-menyuap itu kepada kliennya. Pengacara akan menghubungi hakim yang meminta uang bahwa kliennyalah yang akan menghubungi hakim tersebut. Klien seperti itu memang sejak awal sengaja datang kepada pengacara tertentu yang mau bekerja sama untuk memenangkan perkaranya dengan segala cara, termasuk menyuap hakim.
Riset ICW ini juga diperkuat oleh kesaksian salah satu pengacara yang meminta supaya namanya tak disebutkan. Kepada Kompas.com, ia mengungkapkan bahwa salah seorang klien yang kasusnya tengah diproses di Mahkamah Agung pernah langsung menghubungi hakim-hakim yang akan menangani perkaranya. Kepada sang pengacara ini, klien menceritakan bahwa ia sudah “memegang” dua dari tiga hakim majelis yang menangani kasusnya.
“Tapi, terakhir ternyata kalah juga. Ternyata, katanya, pihak lawan bayar lebih besar sehingga hakim yang tadinya sudah dipegangnya digeser dan digantikan dengan hakim lain. Praktik seperti ini sudah lazim terjadi di lembaga peradilan kita. Kadang sebagai pengacara merasa dikerjain juga,” ujar sumber tersebut.
"Cash and carry"

Seorang pengacara mengakui bahwa tak sedikit rekan seprofesinya yang menjadi bagian dari praktik “haram” itu. Ia menyebutnya sebagai pengacara “SP3”. Biasanya pengacara “aliran” ini piawai melakukan lobi agar kasus kliennya tak dilanjutkan.  “Ciri-cirinya, pengacara terkenal, kaya raya, tapi enggak pernah keliatan kerja di pengadilan. Dia kerjanya di belakang layar. Ya seperti itulah,” katanya.
“Eksekusi” dari lobi dengan oknum mafia kasus biasanya diselesaikan dengan cash and carry dan tak jarang diselesaikan oleh sang pengacara. Pembagian “kue” tak akan dilakukan dengan sistem transfer antarbank. Uang biasanya diserahkan langsung. Selain untuk menghindari pajak penghasilan, hal ini tentunya juga untuk menghindari catatan transaksi keuangan yang bersangkutan.
“Saya pernah main ke kantor pengacara kondang itu, ada satu ruangan yang memang khusus untuk tempat transaksi. Saya ditunjukin sebuah ruangan yang enggak ada meja kerjanya, isinya kayak kapal pecah. Mau tahu apa isinya? Bekas amplop, kardus banyak sekali. Katanya, itu bekas tempat uang. Kalau kami bilang, yang seperti itu lawyer hitam,” kata pengacara tersebut.
Anggota Komisi III DPR, Syarifuddin Suding, mengatakan bahwa pimpinan institusi penegak hukum harus bisa menyelesaikan secara transparan dugaan praktik mafia hukum yang bersarang di tiap-tiap lembaga. Kasus SJ atau Gayus, menurutnya, baru terungkap setelah diungkap oleh Susno Duadji.
Di luar itu, jika merujuk pada laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), maka masih banyak aliran dana mencurigakan yang harus ditindaklanjuti dan dicurigai sebagai hasil kerja para mafia kasus. “Akan tetapi, ternyata banyak laporan PPATK yang tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian atau kejaksaan. Kami mencurigai, ada apa?” kata Syarifuddin.
Oleh karena itu, dalam rapat kerja dengan Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri yang dijadwalkan pada pekan depan, materi mengenai makelar kasus ini akan menjadi perhatian utama oleh Dewan. “Kepolisian harus membuka ini semua. Selama ini, pihak beperkara dan kasus itu seolah jadi ATM,” ujarnya.

Makelar di Markas Besar

12 April 2010

Source : http://multiply.com/gi/sudarjanto:journal:13949

KANTOR PT Fankhaus Far East di Gedung Selmis, tepat di sebelah stasiun kereta api Tebet, Jakarta Selatan, tampak lengang. Kaca gelap dan pintu gulung membuat penampilan kantor konsultan manajemen itu kontras dengan hiruk-pikuk deret an warung soto dan penjual bakso di kanan-kirinya. Tidak ada penanda apa pun di depannya. Hanya tempelan stiker merah menyala berlambang panah dengan tulisan ”Bareskrim”.
Para penyewa ruangan di perkantoran Selmis mengenal pemilik Fankhaus sebagai ”Pak Jenderal”. Seorang anggota staf di satu kantor fi rma hukum di sana bahkan menjelaskan kantor itu biasa dijaga polisi militer. ”Dia memang sudah lama di sini,” katanya. Tapi, Jumat pekan lalu, hanya ada dua pria penunggu kantor itu. Saat Tempo masuk, ruang depan kantor itu kosong melompong dan berdebu.
Di ruangan sebelah, bertumpuk-tumpuk kursi, meja, buku, dan perabot lain. Semua barang itu ditumpuk sekena nya, membuat ruangan mirip gudang penyimpanan. Bahkan kemeja dan kaus digantung di sana-sini. Sekilas, sulit untuk percaya bahwa kantor itu milik seorang bekas diplomat yang dikenal dekat dengan petinggi hukum di negeri ini: Sjahril Djohan.
”Lagi sepi, Mas,” kata si penjaga kantor, pria kurus tinggi dengan rambut sedikit gondrong, saat ditanya soal kondisi kantornya yang mengenaskan. Setelah menanyakan maksud kedatangan Tempo, dia menghubungi seseorang melalui telepon. Lima menit kemudian, telepon berdering.
”Pak Sjahril tidak ada,” kata suara di seberang. Suara perempuan bernada tegas. Dia lalu setengah memerintah, ”Tinggalkan saja nomor telepon Anda, nanti saya hubungi.” Telepon ditutup. Tak sampai semenit, mendadak telepon berdering lagi. Perempuan yang sama di ujung telepon. ”Nama saya cuma untuk Anda. Jangan sebut-sebut nama saya.”
WAJAH Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji mendadak tegang. ”Saya sudah menghitung risiko tindakan saya,” katanya. ”Mati pun saya tidak takut,” katanya lagi. Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI ini memandang wajah para anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat di sekelilingnya, dengan sorot mata tajam. Keringat bercucuran di keningnya.
Kamis pekan lalu, setelah sempat tiarap beberapa saat, didampingi belasan pengacara, Susno muncul di Senayan. Sepekan sebelumnya, pria asal Pagar Alam, Sumatera Selatan, ini memang sudah mengajukan surat permohonan perlindungan hukum ke parlemen. ”Soalnya, klien saya mau diadili secara in absentia di Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri,” kata kuasa hukum Susno, Henry Yosodiningrat.
Di tengah pertemuan dengan Komisi Hukum inilah Susno meledakkan ”bom nuklir”-nya yang kedua. Mafi a hukum dalam kasus Gayus Tambunan yang ia ledakkan sebelumnya tak hanya beraksi sekali. Kelompok yang sama bermain dalam kasus pidana PT Salmah Arwana Lestari di Pekanbaru.
”Andi Kosasihnya sama, Haposannya sama, jaksanya sama, dan Mr X-nya juga sama,” kata Susno. Nilai kasus ini jauh lebih besar daripada kasus Gayus Tambunan yang ”hanya” Rp 28 miliar. Modal awal perusahaan itu mencapai Rp 100 miliar dengan investasi tambahan berupa bibit ikan arwana dan tenaga ahli senilai Rp 32 miliar. Menurut Susno, modus permainan makelar kasus dalam perkara PT Salmah Arwana adalah meng ubah kasus perdata menjadi pidana.
Tak hanya menyebut nama dan kasus baru, Susno membongkar jejaring makelar kasus di Trunojoyo, markas besar hamba wet. Mr X dekat dengan MP, jenderal bintang tiga di kepolisian. Setelah sempat diprotes kanankiri karena menyamarkan tokoh-tokoh kunci ini dengan inisial, Susno akhirnya mengalah. Dia membuka identitas terang X dan MP dalam rapat tertutup.
Seusai rapat, sejumlah politikus membenarkan bahwa yang dimaksud Susno sebagai Mr X adalah Sjahril Djohan, sementara MP adalah Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara, mantan Wakil Kepala Polri. Pagipagi, Makbul sudah membantah. ”Segala aktivitas SJ tidak ada kaitannya dengan saya,” tulis Makbul dalam pesan pendek yang disebarkan kepada jurnalis.
Tak hanya diduga piawai memelintir kasus, jejaring makelar kasus yang dipimpin Sjahril ini dituding punya kekuasaan luar biasa besar. Mereka bisa memindahkan pejabat polisi yang menolak bekerja sama. Begitu Susno membeberkan peran Sjahril, informasi pun mengalir. Satu sumber Tempo berbisik, Sjahril Djohan bermain dalam penerbitan surat perintah penghentian penyidikan dalam kasus penyerobotan lahan pertambangan milik Porodisa oleh Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur, dua tahun lalu.
Jejak Haposan dan kawan-kawan juga tercium dalam kempisnya kasus dugaan suap atas Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar yang diungkap Komisaris Besar Tubagus Irman Santosa, berkaitan dengan penyidikan kasus L/C bodong BNI, empat tahun lalu. Saat itu, Haposan adalah kuasa hukum Irman. Kasus itu menguap karena kurang bukti.

 

Makelar di Markas Besar (2)

Komplotan ini juga dituduh bermain dalam pencairan fulus milik Tommy Soeharto di BNP Paribas senilai US$ 10 juta pada 2007. Pencairan ini mulus berkat bantuan para pejabat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ketika itu, Haposan dituduh mencoba memeras kuasa hukum Tommy, Hidayat Achyar (lihat ”Bancakan Laporan Bocor”).
Tak aneh jika anggota Komisi Hukum terpesona mendengar cerita Susno. ”Jaringan mafi a ini melibatkan seluruh institusi penegak hukum. Semua datanya ada di Pak Susno,” kata politikus Partai Persatuan Pembangunan, Ahmad Yani. ”Kalau benar Mr X adalah sutradaranya, ini adalah kejahatan paripurna dari hulu sampai hilir.”
TIDAK mudah masuk ke kawasan penangkaran ikan arwana milik PT Salmah Arwana Lestari di Desa Muara Fajar, Kecamatan Rumbai, sekitar 40 kilometer di utara Pekanbaru. Tiga orang petugas keamanan melarang siapa pun mendekat. ”Tidak punya izin tidak boleh masuk,” kata satu petugas berbadan kekar.
Total ada 34 kolam ikan di lokasi peternakan arwana seluas 20 hektare itu. Pagar kawat setinggi tiga meter membatasi orang yang ingin mendekat. Peternakan itu juga dilengkapi laboratorium pembibitan dan pembesaran ikan arwana.
Perkara pidana yang membelit perusahaan ini berawal dari pecah kongsinya dua pemilik PT Salmah: Anwar Salmah alias Amo, 61 tahun, pengusaha lokal di Riau, dan Ho Kian Huat, pengusaha asal Singapura. Pada 1992, mereka sepakat bekerja sama mendirikan perusahaan bernama CV Sumatera Aquaprima—belakangan berganti nama menjadi PT Sumatera Aquaprima Buana.
Dalam skema kongsi ini, Ho Kian Huat menyiapkan modal usaha serta mendatangkan bibit dan induk ikan arwana dari Singapura, sementara Amo menyiapkan lokasi di Indonesia. Total dana yang digelontorkan Ho Kian saat itu sekitar Rp 130 miliar. Pada 1993, dia juga mengirim sekitar 1.500 anak ikan arwana, jenis super red, cross back golden, dan golden red, untuk dikembangbiakkan di Pekanbaru. Kerja sama berjalan mulus sampai sepuluh tahun. Amo mengembangbiakkan ikan-ikan arwana, sementara Ho Kian menjualnya ke Cina, Jepang, Amerika, dan Eropa dengan bendera per usahaannya sendiri, Rainbow Aquarium. Sengketa muncul pada 2002 saat Amo memutuskan jalan sendiri dan mulai potong kompas: menjual langsung arwana ke Jepang.
Ho Kian, yang merasa ditipu, mengadukan Amo ke Mabes Polri dengan tuduhan penggelapan. Pengacara yang membantu Ho Kian untuk perkara ini adalah Haposan Hutagalung. Pada Maret 2008, pengacara Amo, Johny Irianto, balik melaporkan Ho Kian ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. ”Kami tidak mau dituding melakukan penggelapan,” kata Johny.
Amo juga menggugat Ho Kian secara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tahun lalu, majelis hakim memenangkan Amo dalam sengketa ini. Putusan pengadilan negeri ini dikuatkan dalam putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Di sini kejanggalan mulai muncul. Johny mengaku heran mengapa polisi ngotot meneruskan kasus pidana yang dilaporkan Ho Kian. ”Padahal, dengan adanya keputusan perdata yang memenangkan kami, seharusnya kasus pidananya batal demi hukum,” katanya.
Keanehan inilah yang juga dicium Susno. ”Sejak awal, saya yakin ini kasus perdata,” kata Susno Duadji saat bersaksi di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Dia menilai tidak ada alasan untuk menindaklanjuti pengaduan pidana Ho Kian. Pengaduan Ho Kian dinyatakan lengkap dan siap dilimpahkan ke pengadilan. Ketika kasus ini terjadi, Susno belum menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal, melainkan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat.
Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Ito Sumardi membantah tudingan Susno soal makelar kasus dalam perkara ini. ”Kasus pidana yang diadukan Ho Kian memang sudah lengkap, tapi kasus yang diadukan Amo juga kami proses,” kata Ito. ”Kita uji saja nanti di pengadilan. Kalau lemah, pasti ada rekayasa,” katanya.
SELAIN bisa mengubah kasus perdata menjadi pidana, trio makelar kasus Sjahril Djohan dkk dituding bisa menyulap kasus pidana menjadi perdata. Kasus dugaan penyerobotan la han pertambangan di Kalimantan Timur milik PT Porodisa Trading and Industrial oleh PT Kaltim Prima Coal disebut-sebut sebagai contohnya. Kasus ini mencuat pada 2008 ketika Porodisa mengadukan tindakan Kaltim Prima Coal membuka enam kawasan pertambangan di area hutan seluas

 

Makelar di Markas Besar (3)

8.480 hektare yang mereka kuasai. Ketika itu, lembaga advokasi lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup, menuding anak perusahaan Bumi Resources itu tidak mengantongi izin hak pemanfaatan hutan. ”Seharusnya KPC mengurus izin ini terlebih dahulu,” kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Timur Izal Wardana saat kasus ini mulai mencuat.
Pengaduan Porodisa ditanggapi baik oleh polisi. Kepala Polda Kalimantan Timur saat itu, Inspektur Jenderal Indarto, menetapkan Manajer TambangKaltim Prima Coal R. Utoro sebagai tersangka. Namun mendadak angin berbalik pada Agustus 2008.
Indarto dicopot dua bulan sebelum pensiun dan digantikan Inspektur Jenderal Andi Masmiyat. ”Sejak itu, penanganan kasus KPC mandek,” kata Izal. Tak hanya mandek. Begitu dilantik, Kepala Polda yang baru langsung mencabut status tersangka Utoro. Tiga bulan kemudian, Masmiyat mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan untuk kasus Kaltim Prima Coal. ”Ini hanya masalah perdata,” katanya ketika itu.
Indarto sendiri, kini pensiun, menolak berkomentar soal insiden itu. ”Itu sudah dua tahun lalu,” katanya pekan lalu. Dia mengaku kenal dengan Sjahril Djohan. ”Waktu saya masih di Bareskrim, dia sering ada di sana,” ujarnya. Seorang sumber Tempo menduga Sjahril Djohan berperan dalam pencopotan Indarto. Soal ini, Indarto justru yang membantah. ”Pencopotan saya adalah kewenangan penuh Kapolri,” katanya kalem.
PENGACARA Haposan, John Panggabean, tidak terima kliennya disebut sebagai makelar kasus. ”Ini pembunuhan karakter,” katanya saat ditemui Jumat pekan lalu. Menurut John, Haposan adalah advokat berpengalaman yang rekam jejaknya lurus. ”Dia menerima semua perkara, dari yang tidak ada duitnya macam kasus mutilasi anak jalanan sampai kasus korupsi BNI,” ujarnya. Karena itulah nama Haposan bertebaran dalam kasus-kasus besar. ”Jaringannya memang luas,” katanya. ”Masak karena itu dia dituduh sebagai makelar kasus?” Menurut John, peran Haposan dalam kasus Gayus Tambunan juga semata-mata untuk membela kliennya.
”Dia tidak terlibat merekayasa pengakuan Andi Kosasih,” ujarnya. Ketua Persatuan Advokat Indonesia Otto Hasibuan, yang juga ketua tim kuasa hukum Haposan, balik menuding polisi tidak cermat menyusun sangkaan atas kliennya. ”Kalau dia turut serta menyuap, siapa yang disuap? Tolong beri tahu saya,” katanya keras. Meski menolak semua tuduhan, tim pembela Haposan membenarkan satu hal: Haposan memang kenal dengan Andi Kosasih. ”Mereka kenal saat menangani kasus PT Salmah Arwana Lestari,” kata John Panggabean. Namun dia tak bisa memerinci bentuk kerja sama Andi dan Haposan saat itu.
Kuasa hukum Andi Kosasih, O.C. Kaligis, belum mau banyak berkomentar soal kliennya. Telepon dan pesan pendek Tempo tidak berbalas. ”Kita tunggu dulu hasil pemeriksaan,” katanya kepada sejumlah jurnalis, dua pekan lalu. Andi Kosasih disangka terlibat dalam kongkalikong yang membebaskan Gayus Tambunan, pegawai Direktorat Pajak Golongan IIIa yang memiliki rekening Rp 28 miliar.
Dari tiga tertuduh komplotan makelar kasus yang dibongkar Susno, memang tinggal Sjahril Djohan yang belum
jelas sosoknya. Ada kabar, eks diplomat yang dikenal punya kemampuan intelijen ini sudah mengungsi ke Perth, Australia. Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung, yang pernah mengangkat Sjahril sebagai anggota staf ahli Kejaksaan Agung pada 2001, mengaku tak yakin akan akurasi tuduhan Susno. ”Tidak masuk akal,” katanya pekan lalu. ”Saya kenal dia sebagai pribadi berkarakter baik.”
Seorang pejabat yang menolak disebut namanya membenarkan. ”Sjahril Djohan membantu polisi mengungkap kasus korupsi di Kedutaan Besar Indonesia di Singapura, kasus manipulasi tiket di Kementerian Luar Negeri, dan banyak kasus korupsi lain,” katanya. Tujuh tahun lalu, namanya pernah dimuat majalah Tempo karena mengungkap aset-aset yang ditinggalkan koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Hendra Rahardja, di Australia.
Ketika itu, Tempo sempat mewawancarainya di kantor PT Fankhaus di perkantoran Selmis, Tebet. Saat pekan lalu Tempo datang lagi ke sana, staf Sjahril masih ingat pada wawancara itu. ”Semua ini salah besar,” kata si penjaga kantor sambil memukul tumpukan koran keras-keras. Hampir semua media hari-hari ini memang memuat besar-besar tuduhan Susno soal peran Sjahril Djohan sebagai makelar kasus. Ia melanjutkan, ”Tunggu saja penjelasan dari pengacara Pak Sjahril.”
Wahyu Dhyatmika, Maria Hasugian (Jakarta), S.G. Wibisono (Balikpapan), Jupernalis Samosir (Pekanbaru)

Yoyo Sang Intelijen

… Dibuat dari kayu, kayu dibulatkan…
Dilempar ke bawah, ditarik ke atas, begitulah
caranya…

LAGU riang itu berdurasi dua menit delapan detik. Suara rekamannya tak lagi jelas. Dinyanyikan Ernie Irawati Djohan—sangat populer dengan lagu Teluk Bayur—bersama kelompok musik Buana Suara, lagu tersebut direkam pada 1968. Judulnya Permainan Yoyo, menceritakan seorang adik yang memainkan ”permainan murah dan gampang didapat di mana-mana”.
Permainan Yoyo diciptakan oleh kakak Ernie, Sjahril Djohan. Ia adalah pria 65 tahun yang disebut Komisaris Jenderal Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, sebagai makelar kasus. Di depan anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Susno memang hanya menyebutkan inisial SJ. Tapi mereka yang pernah berurusan dengan Markas Besar Kepolisian segera mafhum, yang dimaksudnya adalah Sjahril.
Sjahril—dan, tentu saja, Ernie—lahir dari keluarga diplomat. Sang ayah, M. Djohan Bakhaharudin, pernah bertugas di Belanda dan Singapura pada zaman pemerintahan Soekarno. Sjahril pun terbawa ke pergaulan internasional. Ia fasih berbahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Prancis. Tak mengherankan, ia pun bekerja di Departemen Luar Negeri. Ia antara lain pernah bertugas di Kedutaan Besar Repub lik Indonesia di Swiss. Duta Besar Djoko Susilo menyatakan Sjahril bertugas hingga akhir 1970-an. ”Ketika itu duta besarnya Pak Suryono Darusman,” kata mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat ini. Suryono adalah ayah mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman.
Sjahril hampir setiap tahun pergi ke Swiss. Dia selalu menjadikan negeri itu sebagai ”rumah” ketika melakukan perjalanan ke Eropa. Terakhir kali, ia tercatat berada di sana sekitar Juni tahun lalu. Seorang warga negara Indonesia di Bern menyatakan Sjahril mengenal hampir semua jalan di kota itu. Tapi, seperti yoyo, nasib Sjahril sempat terlempar ke bawah. Ia dituduh memalsukan ijazah buat masuk Departemen Luar Negeri. ”Ia dipecat akhir 1980-an,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, Jumat pekan lalu. ”Saya ingat karena jarang ada orang (diplomat) dikeluarkan.”
Tapi, ketika Marzuki Darusman diangkat menjadi Jaksa Agung oleh Presiden Abdurrahman Wahid, Sjahril kembali tertarik ke atas. Marzuki yang dikenalnya di Swiss mengangkat Sjahril sebagai anggota staf ahli. Kepada Tempo, Marzuki mengatakan Sjahril direkrut karena ”punya jaringan luas dan berkemampuan di bidang intelijen”. Dulu, kata Marzuki, Sjahril bekerja untuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Lembaga ini dibentuk setelah peristiwa 1965, dan berubah menjadi Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional pada 1988. Badan Koordinasi merupakan jantung kekuasaan Soeharto.
Kemampuan intelijen Sjahril sangat membantu Kejaksaan Agung dalam melacak buron atau aset negara yang dibawa kabur ke luar negeri. ”Dua tahun bekerja sama, dia memberi manfaat,” kata Marzuki. Tapi Marzuki hanya setahun lebih menjadi Jaksa Agung. Ia digantikan Baharuddin Lopa. Sejak itu, Marzuki tidak tahu lagi jejak Sjahril. Posisinya di Kejaksaan Agung membawa Sjahril ke pergaulan para pejabat kepolisian. Itu sebabnya ia kemudian masuk ke lingkaran Trunojoyo, Markas Besar Kepolisian.
Menurut Susno, Sjahril belakangan sangat dekat dengan seorang perwira tinggi berinisial MP. Banyak yang mafhum MP adalah Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara, mantan Wakil Kepala Kepolisian. Tapi sang jenderal membantah tudingan ini. Sjahril juga punya pertautan dengan politikus. Nurfi na, 64 tahun, istrinya, adalah bibi Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Ia datang ke pesta perkawinan Ardi Bakrie, anak Aburizal, dengan Nia Ramadhani di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, Kamis dua pekan lalu. Soal ini, juru bicara Bakrie, Lalu Mara Satria Wangsa, menyatakan tak tahu. ”Saya tak pernah dengar nama itu,” ujarnya.
Keluarga Sjahril tinggal di rumah dua lantai berpagar hijau di Jalan Rasamala, Tebet, Jakarta Selatan. Tapi ketika Tempo datang ke rumah itu, Sjahril tak bisa ditemui. Fandi, penjaga rumah, menyatakan bosnya pergi ke Australia akhir bulan lalu. Menurut seorang koleganya, ia memang punya rumah dan bisnis di sana.
Sunudyantoro, Wahyu Dyatmika, Bunga Manggiasih

Bancakan Laporan Bocor

HIDAYAT Achyar langsung teringat Haposan Hutagalung begitu makelar kasus menjadi sorotan. Tiga tahun silam, pengacara fi rma hukum Ihza & Ihza ini berurusan dengan Haposan, yang kini dituduh menjadi pelaku perdagangan perkara. Penghubung keduanya adalah duit US$ 10 juta atau sekitar Rp 90 miliar milik Tommy Soeharto, yang disimpan di Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas Cabang London.
Awalnya, buat mencairkan duit simpanannya, Tommy menyewa kantor pengacara Ihza & Ihza pada 2004. Ini fi rma hukum yang didirikan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ketika itu. Hidayat kemudian ditunjuk menangani klien besar dari Keluarga Cendana ini.
Pada fase akhir urusan dengan duit Tommy pada 2007 inilah Haposan masuk Ia menghubungi Hidayat, meminta bertemu. ”Pokoknya ketemu Abang dulu,” kata Hidayat kepada Tempo, Jumat pekan lalu, menirukan ajakan Haposan. Pertemuan pun dilakukan di kantor Haposan di lantai 19 gedung Patra Jasa, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Rupanya, ada duit US$ 600 ribu atau sekitar Rp 5,4 miliar yang masuk rekening Hidayat. Sebagian uang Tommy di BNP Paribas yang dapat dicairkan itu masuk ke BNI Cabang Melawai, Jakarta Selatan, lalu ke rekening Hidayat. ”Itu uang Ihza & Ihza. Saya ketitipan saja,” kata Hidayat. ”Jadi, setelah itu saya berikan ke Ihza.” Aliran dana ini yang menuntun Haposan datang.
TIGA rekening Tommy senilai US$ 60 juta atau Rp 540 miliar dibuka di BNP Paribas pada 1998. Diatasnamakan Garnet Investment of Triden, duit masuk hanya dua bulan setelah Presiden Soeharto, ayah Tommy, mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Garnet beralamat di Tortola, British Virgin Island.
Finance Intelligence Service, lembaga yang memantau pergerakan uang di Inggris, mencurigai sejumlah rekening di BNP Paribas. Rekening ini diduga punya kaitan dengan Soeharto sehingga dibekukan. Di antaranya simpanan milik Tommy itu. Tommy, yang waktu itu menjalani hukuman penjara karena terlibat pembunuhan Hakim Agung Syafi uddin Kartasasmita, berusaha menyelamatkan uangnya. Putra bungsu penguasa Orde Baru ini sempat menyewa pengacara dari Inggris dan Amerika. Tapi lawyer asing ternyata tak sukses. Atas saran seorang sahabatnya, ditunjuklah Hidayat Achyar untuk membantu. Dalam surat kuasa Tommy, Ihza & Ihza diminta mencabut pembekuan rekening atas nama Motorbike Corporation.
Hidayat menggunakan aturan bahwa seseorang atau badan hukum harus dinyatakan beriktikad baik, sampai bisa dibuktikan sebaliknya. Ia juga berargumen bahwa negara wajib membantu Tommy agar uang itu disimpan di Indonesia karena milik orang Indonesia. Dalil itu diterima Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman.
Singkat kata, rombongan Hidayat bersama antara lain sang Direktur Jenderal pergi ke London. Debat sengit terjadi antara Motorbike dan Paribas. Bank itu ngotot tak mau mencairkan dana nasabahnya. Paribas tetap mengajukan syarat, di antaranya pernyataan resmi dari pemerintah bahwa duit itu tak bermasalah dan surat keterangan bahwa Motorbike bebas utang. Surat inilah yang belakangan dikeluarkan oleh Departemen Hukum. Pada saat itu, Yusril telah digantikan Hamid Awaludin.
Sebagian duit dapat dicairkan. Sebanyak Rp 90 miliar mengalir melalui re kening Departemen Hukum, yang dipinjam khusus buat transaksi ini. Dalam sekejap, duit lenyap mengalir ke mana-mana. Di antaranya ke rekening milik Hidayat Achyar itu. Data ini rupanya telah dipegang Haposan

 

Bancakan Laporan Bocor (2)

Dalam pertemuan di kantor Haposan, tuan rumah langsung menyorongkan laporan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Haposan memberikan informasi penting bahwa Hidayat menjadi target polisi karena melakukan transaksi mencurigakan. Kepada tamunya, Haposan menyatakan mendapatkan laporan hasil analisis itu dari petinggi polisi. ”Saya beli ini, Bang,” kata Hidayat menirukan pernyataan Haposan.
Menurut Hidayat, setelah itu Haposan langsung menyodorkan kuitansi dan meminta Hidayat mengganti sejumlah uang yang tertulis di situ. Ia juga me nawarkan diri menjadi pengacara agar Hidayat bisa selamat dari tudingan. Hidayat menolak, dengan alas an sudah mendapatkan laporan yang sama dari sumber lain. Hidayat ju ga ogah didampingi Haposan sebagai pengacara. ”Saya kan juga pengacara, bisa melakukan pembelaan hukum sendiri,” ujarnya. Haposan kini dalam tahanan polisi.
Ia disangka menyuap polisi, jaksa, dan hakim untuk mengatur bebasnya Gayus Tambunan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak golongan IIIa. Gayus sempat bebas dari sangkaan pencucian uang, tapi kini kembali dijerat dengan tuduhan melakukan korupsi dan penggelap an. Ia juga ditahan. Otto Hasibuan, pengacara Haposan, menyatakan belum mendapatkan informasi ihwal tudingan kliennya berusaha memeras Hidayat Achyar. ”Saya belum tahu,” katanya.
Aktivis Indonesia Police Watch, Ne ta S. Pane, mengatakan selama ini Ha posan dikenal sebagai pengacara yang tidak pernah beracara. Dia selalu ber usaha menyelesaikan kasus di luar peng adilan. Soal ini, Otto mengatakan penyelesaian di pengadilan perlu ongkos besar dan melelahkan. Karena itu, yang dilakukan Haposan tak salah.
HAPOSAN yang memanfaatkan laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan hanya satu cerita. Sumber Tempo memberikan informasi, seorang notaris yang juga dekat dengan polisi pun berusaha memeras Tommy Soeharto. Senjatanya sama, data transaksi keuangan. Kedekatan hubungan mereka dengan perwira polisi, terutama pada Direktorat II Bidang Ekonomi Badan Reserse, bisa menjadi modal buat mendapatkan data itu.
Direktorat Ekonomi memang diberi tanggung jawab menangani laporan transaksi mencurigakan. Data ini dipasok Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, yang menyerahkan laporan hasil analisis. Data ini sebenarnya sudah memuat dugaan pelanggaran plus profi l pemilik rekening yang dicurigai. Tapi, sejauh ini, hanya sebagian kecil data dari Pusat Pelaporan yang diproses. Hingga kini, Pusat Pelaporan sudah menyerahkan 1.072 laporan hasil analisis ke polisi dan jaksa. Namun hanya 27 kasus yang diteruskan dan kasusnya disidangkan menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sekitar 25 laporan dari ribuan itu dilimpahkan ke Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Dari laporan itu, belum jelas juga kelanjutannya. Alfons Lemau, pensiunan komisaris besar yang pernah membangkang pada zaman Kepala Kepolisian RI Jenderal Bimantoro, menyatakan ruang lingkup Direktorat Ekonomi memang rawan godaan. Direktorat itu menangani kejahatan perbankan, ekspor-impor, pajak, dan segala yang terkait dengan uang gede. ”Yang diperiksa orang-orang berduit. Potensi untuk memeras tinggi sekali,” katanya.
Kepala Badan Reserse Kriminal Ito Sumardi mengatakan punya semua data laporan Pusat Pelaporan. Yang dilaporkan tidak bisa dengan mudah diproses. ”Laporan PPATK itu petunjuk, bukan bukti,” katanya. Jika setelah ditelusuri, ada perbuatan melanggar hukum, barulah jadi alat bukti. Jadi statusnya sama saja dengan laporan Badan Pemeriksa Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Sunudyantoro, Wahyu Dhyatmika

Ito Sumardi : Pak Susno Tahu Banget

TELEVISI layar datar 64 inci terpajang di ruang kerja Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Komisaris Jenderal Ito Sumadi. Layarnya menayangkan gambar dari kamera keamanan ruang pemeriksaan penyidik, ruang kerja para pejabat, tahanan, hingga ruang wartawan. ”Bisa saya pantau semua dari sini,” katanya kepada Tempo, Jumat pekan lalu. ”Tuh, lihat ada wartawan ngantuk,” katanya geli.
Ito mengatakan kamera keamanan yang terhubung langsung ke ruang kerjanya itu penting buat menghalau makelar kasus. ”Supaya tidak ada negosiasi selama pemeriksaan,” katanya. Ito mengaku ingin mengikis citra buruk reserse setelah terbongkarnya rekayasa kasus korupsi Gayus Tambunan.
Belum lagi upaya itu berhasil, Komisaris Jenderal Susno Duadji, Kepala Badan Reserse sebelumnya, terus merangsek. Di depan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis pekan lalu, ia menyebutkan inisial SJ—singkatan dari Sjahril Djohan, yang dikenal dekat dengan para pejabat kepolisian— sebagai makelar kasus kakap di polisi. Sebagai pucuk pimpinan Badan Reserse, mau tak mau Ito Sumardi ikut terseret. Apalagi Susno menuding Ito—keduanya lulusan Akademi Kepolisian 1977—mengenal Sjahril. Jumat pekan lalu, Ito bersedia diwawancarai tim Tempo.
Komjen Susno Duadji menuding ada permainan makelar kasus yang lebih besar daripada kasus Gayus Tambunan, yakni kasus pidana PT Salmah Arwana Lestari. Komentar Anda?
Kasus itu sedang kami tangani dengan sangat berhati-hati. Ketika pertama kali bergulir pada 2006, sudah diadakan gelar perkara. Kesimpulannya, ini kasus perdata. Namun, setahun kemudian, ada bukti-bukti baru yang membuatnya diteruskan menjadi perkara pidana. Ini semua terjadi ketika Pak Susno masih di sini, lo. Saya hanya kebagian buntutnya.
Ada tudingan perubahan dari perdata menjadi pidana merupakan hasil lobi makelar kasus....
Yang mengubah siapa? Begini saja, kita uji nanti di pengadilan. Kalau memang ada kelemahan, berarti memang ada rekayasa. Saya sendiri bingung, kenapa kasus ini muncul. Saya benar-benar tak mengerti.
Apa ada keterlibatan Andi Kosasih, Haposan Hutagalung, atau Sjahril Djohan dalam kasus ini?
Haposan memang pengacara untuk salah satu pihak dalam perkara ini, yaitu Ho Kian Huat.
Anda kenal Haposan?
Tidak. Bertemu dengan dia pun tidak pernah. Begini ya, sudah kami upayakan penyidikan yang profesional untuk kasus ini. Pengaduan dua pihak yang bersengketa sama-sama kami proses. Soal ini, Pak Susno tahu banget, karena ketika itu Pak Susno yang menjabat Kabareskrim.
Kabarnya Sjahril Djohan adalah pemegang saham di perusahaan Ho Kian?
Saya tidak tahu.
Ada anggota parlemen yang menyesalkan mengapa Sjahril tidak dicekal....
Pencekalan itu membutuhkan proses yang panjang. Dalam kasus apa dia harus dicekal? Statusnya apa dalam kasus itu? Siapa yang harus mencekal?
Menurut Anda, informasi Susno tak berdasarkan fakta?
Begini... suatu pernyataan itu harus jelas, ada fakta dan buktinya. Apakah kalau kenal dengan Kabareskrim lalu sudah pasti orang itu makelar kasus? Belum tentu. Saya hanya mau bicara fakta.
Jadi tidak benar kalau Andi Kosasih, Haposan, dan Sjahril Djohan disebut trio makelar kasus di Bareskrim?
Tanyakan saja kepada Pak Susno. Saya tidak bisa memberikan jawaban.
Anda kenal baik dengan Sjahril Djohan?
Saya tidak kenal dekat dengan Pak Sjahril Djohan. Saya memang pernah bertemu dengan dia beberapa kali. Tapi tidak benar jika saya disebut mengenal dekat atau tahu bahwa dia makelar kasus. Kalau seseorang dituduh makelar kasus, tentunya dia terkait dengan kasus tertentu. Bagaimana seseorang bisa disebut makelar kasus jika saya tidak tahu dia terlibat kasus yang mana?
Di mana biasanya Anda bertemu dengan dia?
Di sini, di Mabes Polri. Beliau kan sudah lama, ya.... Istilahnya, orang berteman kan boleh saja bertemu.
Sjahril adalah penasihat ahli Kepala Polri?
Dia bekas diplomat. Tapi bukan staf ahli saya dan bukan staf ahli Kapolri.
Apa benar dia punya ruangan khusus di sebelah ruang kerja Kepala Polri?
Kalau soal itu, coba tanya Pak Susno. Tunjukkan ruangannya yang mana. Saya tidak tahu. Kalau saya bilang tidak tahu, jangan pula saya disebut berbohong.

Mahalnya “Ongkos” Politik

Sumber : http://www.tangselraya.com/

Pemilihan kepala daerah (pilkada) kerap dituding menghabiskan banyak biaya. Salah satu biaya yang cukup tinggi adalah “ongkos politik” yang harus dibayarkan calon-calon wali kota kepada partai politik? Benarkah?

Meski Pilkada Tangsel baru akan berlangsung sekitar enam bulan lagi, namun suhu politik di kota ini semakin meningkat. Sejumlah bakal calon wali kota telah sibuk memasang spanduk, baliho dan atribut lainnya di sudut-sudut kota.

Entah berapa banyak uang yang dihamburkan oleh para calon ketika mereka memasang spanduk, baliho, stikker, kaos atau atribut lain? Itu baru di awal-awal. Entah berapa banyak lagi biaya yang akan dikeluarkan oleh masing-masing calon ketika  gong pilkada benar-benar ditabuh.

Tapi ketika gaung pilkada ini mulai bergema, sebuah berita mencengangkan beredar. Ada isu politik yang mencuat berkaitan dengan dengan pelaksanaan pilkada Kota Tangerang Selatan tersebut. Sejumlah calon mengaku telah dimintai “ongkos politik” dalam jumlah besar oleh partai politik di sana.

Seorang bakal calon wali kota menyebutkan bahwa dirinya dimintai ongkos politik antara Rp 500 juta hingga Rp 1 Milyar untuk satu kursi dukungan. “Ya, sekitar Rp 500 juta per kursi,” ujar calon wali kota yang enggan disebutkan namanya. Dana tersebut merupakan mahar atau emas kawin bagi partai yang bersangkutan. Namun saying, calon itu enggan menyebutkan nama partai yang telah meminta uang sebesar itu dari sang calon.

Jika benar permintaan ongkos politik sebesar itu, lalu berapa besar dana yang diperlukan si calon untuk mendapatkan perahu dalam lomba bernama pilkada tersebut?

Andai kita merujuk pada Pasal 4, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dijelaskan untuk pengajuan bakal calon pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah sekurang-kurangnya harus didukung 15% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota. Karena Kota Tangerang Selatan memiliki 45 kursi anggota DPRD, maka setiap calon minimal harus mendapat dukungan 7 kursi anggota DPRD Tangsel agar bisa ikut pilkada. Dengan demikian, setiap bakal calon pasangan wali kota setidak-tidaknya menyiapkan dana sekitar Rp 3,5 milyar untuk bisa lolos verifikasi. Dana tersebut belum termasuk biaya atribut pendukung kampanye seperti spanduk, poster, baliho, kaos, stiker dan lain-lain.

Mahalnya biaya “mahar politik” tersebut mungkin yang menyebabkan sejumlah calon hingga kini belum mau mempersunting partai politik dan lebih memilih untuk masuk jalur independen.

Toto, warga Ciputat yang dimintai komentarnya oleh Tangsel Raya menyatakan bahwa “ongkos politik” yang terlalu tinggi itu akan menyebabkan calon-calon berkualitas yang tidak punya dana pasti akan kesulitan untuk membayar ongkos tersebut.
“Jika dana yang diminta partai politik sangat besar, tentu ada banyak calon potensial yang tidak berani mencalonkan diri. Akibatnya, kualitas pilkada pun akan berkurang,” tambah Toto.

Sedangkan, Indah, warga Pamulang menilai harga yang ditawarkan oleh partai-partai politik tersebut tidak rasional. Sebab, dengan dana sebesar itu, paling tidak para calon memerlukan dana tak kurang dari Rp 5 – 10 milyar. “Jika dana kampanyenya tinggi, pasti calon wali kotanya juga akan berusaha untuk mengembalikan dana tersebut. Lantas bagaimana pemerintahan wali kota baru itu akan bersih,” tutur karyawati swasta ini.

Dia menuturkan kalau “ongkos politik” yang dibayarkan kepada partai cukup mahal, si wali kota terpilih juga pasti punya kecenderungan untuk melakukan korupsi. “Sebab pasti dia akan banyak berhutang pada pihak ketiga. Dan untuk membayar hutang-hutangnya, dia pasti akan memilih cara KKN,” tambah ibu dua anak ini.

Indah menambahkan jika memang “ongkos politik” yang dibayarkan kepada partai-partai itu terlampau tinggi, dia menyarankan agar calon-calon wali kota memilih jalur independen saja. “Mungkin jalur independen akan lebih murah. Yang penting programnya bisa diterima masyarakat. Atau bisa juga sekalian memboikot pilkada,” katanya.
Kontribusi Pantes
Menanggapi isu soal besarnya biaya yang harus ditanggung bakal calon pasangan wali kota, sejumlah partai politik menganggapnya bahwa “ongkos politik” memang ada namun mereka mengelak kalau ada patokan harga khusus kepada para calon tersebut.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PKS Tangsel, Ruhamaben menyebutkan partainya terbuka dari awal pembicaraan. Dari agenda pemenangan calon seperti apa, masing-masing calon dan partai saling memberikan kontribusi. “Sehingga memang ada biaya yang harus dipakai. Namun PKS bukan semata-mata hanya mengejar uang,” ujar Ruhamaben.

Dia menjelaskan, biaya-biaya tersebut akan dipakai untuk agenda pemenangan, pembuatan spanduk, kampanye, kerja sama dengan media dan sebagainya. Tapi jumlahnya tidak mencapai Rp 1 milyar.

“Tidak sampai sebesar itu. Tergantung popularitas pasangan calon, Kalau sudah dikenal publik, biaya semakin kecil. Kalau dari nol, kita berjuang lebih keras lagi untuk mengenalkannya kepada masyarakat,” lanjut Ruhamaben.

Hal senada juga disampaikan Ketua DPD Banten, Partai Gerindra, Budi Hariadi. Menurutnya, setiap partai termasuk Gerindra memang meminta kontribusi yang pantas untuk pemenangan pasangan calon yang didukung partai. “Tapi kami belum membentuk Tim Penjaringan, jadi belum menentukan besarnya biaya. Kalaupun ada, pasti kami minta kontribusi yang pantas saja,” imbuh Budi Hariadi.

Anggota DPR RI Komisi IX ini juga menambahkan, DPD Banten Partai Gerindra mendukung sepenuhnya Tangsel dipimpin oleh putra-putri asli daerah, bukan oleh orang lain.

Sekretaris DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tangsel, Bambang Priadi membantah kalau partainya memungut biaya sebesar itu. “Tidak ada pemungutan biaya sebesar itu. Yang ada melalui mekanisme partai yakni melalui penjaringan pendaftaran. Bila ada kader yang mencalonkan diri, paling-paling dikenakan biaya Rp 1 juta. Paling top Rp 5 juta,” ujar Bambang.

Mekanisme partai yang berlaku di PDIP, menurut Bambang, penjaringan pendaftaran melalui rapat khusus. Kader yang ingin mencalonkan harus mencari dukungan grass root. Konsekuensinya, calon harus sosialisasi melalui stiker, spanduk atau atribut lainnya. “Jadi, yang meminta uang bukan dari partai tapi calon sendiri yang bisa mencari dukungan grass root,” kata Bambang.

Beberapa partai lain juga membantah isu soal adanya dana sebesar itu yang diminta oleh partai-partai politik tersebut. Mereka beranggapan bahwa hal tersebut mungkin hanya dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan partai. Sebab partai sendiri tidak akan melakukan hal itu, apalagi ketika masyarakat sudah semakin kritis. (TIM TR)

Harifin Tumpa Cs Jangan Lamban Tangani Perkara

Selasa, 13 April 2010, 06:27:46 WIB

Jakarta, RMOL. Untuk Menghindari Penumpukan Berkas
Untuk membuktikan komitmennya dalam menegakan hukum, Mahkamah Agung atau MA harus cepat memutus perkara yang masih menumpuk.
Berdasarkan data yang diperoleh Rakyat Merdeka, sejak tahun 2009, MA punya tunggakan lebih dari sembilan ribu perkara. Perkara yang me­numpuk itu terdiri dari ba­nyak kasus. Apakah itu perkara kasasi atau Peninjauan Kembali (PK).
Ketua Gerakan Pemuda Anti Korupsi (Gepak), Thariq Mah­mud meminta majelis hakim secepatnya memutuskan per­kara yang masih menumpuk itu. “Lebih cepat lebih baik. Tapi tentunya sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. MA ja­ngan lamban tangani perkara dong,” ujarnya.
Dia memberi dua contoh kasus yang perlu mendapat perhatian MA, yaitu kasus PK kuasa hukum Djoko S Tjandra dan kasus illegal logging di Ketapang, Kalimantan Barat, dengan terdakwa Tony Wong. Kasus Djoko Tjandra diajukan PK sejak 29 Juni 2009, se­dang­kan kasus Tony Wong diajukan PK sejak 11 Mei 2009.
Lebih lanjut Thariq meminta agar perkara yang diputus MA adil tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Me­nu­rut­nya, MA harus memper­tim­bangkan riwayat hukum se­seorang.
Sementara, Ketua Barisan Suara Muda Indonesia (Basmi), Sayed Junaidi Rizaldi menga­takan, sudah saatnya MA trans­paran memutus perkara.
“Ini merupakan saat yang tepat untuk menunjukkan inde­pendensi dan integritas MA. Caranya memutus perkara-perkara yang masuk dengan cepat dan tentunya,”jelasnya.
Karena saat ini, kata Sayed, masyarakat menyorot kinerja MA dalam memutuskan per­kara. Apalagi jika ada main-main dalam perkara tersebut.
Tidak hanya itu, dia juga meminta kepada Komisi Yu­di­sial (KY) untuk proaktif jika ada hakim yang melanggar etika.
Sebelumnya kuasa hukum Djoko Tjandra, OC Kaligis mengatakan, dasar pengajuan PK terhadap putusan PK klien­nya karena mengacu pada Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang diberikan hak untuk meng­ajukan PK adalah terpidana ataupun ahli warisnya.
Oleh karena itu, OC meng­anggap hak Djoko untuk mela­kukan PK belum dipergunakan. Se­hingga, setelah ada pem­bicaraan dengan kliennya, pi­haknya mengajukan PK. “Tentu saya akan PK. PK itu kan hak terpidana, kita belum pernah mengajukan PK,” katanya.
Mengenai Peninjauan Kem­bali (PK) yang sudah diajukan, OC berharap itu dikabulkan MA. “Kita hanya membuat sesuatu dan berharap saja,” ujarnya.
Ketika dikonfirmasi ulang Rakyat Merdeka, telepon geng­gam OC Kaligis tidak aktif.


“Masih Ditangani Majelis Hakimnya”
Salman Luthan, Hakim Agung MA
Salah satu Hakim Agung Mahkamah Agung (MA), Sal­man Luthan mengatakan, sesuai surat edaran yang dikeluarkan ketua MA disebutkan pe­nye­lesaian perkara baik itu kasasi maupun PK dilakukan dalam waktu setahun.
“Kalau belum selesai dalam jangka waktu itu biasanya perkara masih ditangani majelis hakimnya sesuai urutan per­kara,” kata Salman kepada Rakyat Merdeka.
Menurutnya, beberapa waktu lalu ada enam hakim agung yang pensiun.  Tentu sedikit banyak mempengaruhi penye­lesaian perkara, apalagi setiap tahun jumlah perkara yang masuk ke MA terus bertambah.
Walau demikian, kata Sal­man, setiap perkara yang ma­suk pasti akan diselesaikan. Saat ini MA sudah mulai ber­benah diri dalam upaya re­formasi biro­krasi. Ke de­pan­nya penanganan perkara di MA akan lebih trans­paran sehingga masyarakat mu­dah untuk meng­aksesnya.
Disinggung soal putusan PK, Salman mengatakan, biasanya pertimbangan hakim ditingkat PK lebih kepada penerapan dan putusan hukum dari pengadilan yang sebelumnya. “Putusan PK hanya memperkuat atau mem­batalkan putusan hukum se­belumnya,” ucapnya.
Namun Salman enggan ber­komentar soal PK perkara-perkara yang hingga kini belum diputus. “Kami mempunyai aturan, tidak boleh mengo­mentari kasus yang sedang ditangani hakim agung lain,” tandasnya.


“Klien Saya Yang Bongkar Praktik Itu”
Gamal Muaddi, Kuasa Hukum Tony Wong
Gamal Muaddi adalah ku­asa hukum Tony Wong, yang sampai kini, nasib putusan perkaranya masih terkatung-katung di MA. Dia merasa kliennya telah diperlakukan kurang fair, dan alat buktinya kurang kuat.
“Dalam perkara ini, ti­dak terbukti ada kerugian negara. Ini hanya masalah utang. Banyak penunggak lain yang belum bayar te­tapi kenapa hanya klien saya yang di­hu­kum,” kata Gamal.
Gamal menyatakan, klien­nya termasuk orang yang ikut mengungkapkan illegal log­ging. Herannya, kok malah dihukum. Sedangkan pelaku illegal loggingnya malah dibiarkan berkeliaran.
Untuk itu pihaknya meng­ajukan PK karena menilai, terjadi kekeliruan dalam pu­tusan kasasi .
Dia berharap majelis hakim PK bisa memutuskan perkara ini secara adil dan bijaksana. “Klien saya adalah salah seorang yang membongkar ada­nya praktik illegal log­ging di Indonesia. Sudah se­pantasnya men­dapat per­lakuan yang adil,” ung­kap­nya.


“Semoga Diputus Seadil-adilnya”
Ruhut Sitompul, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR, Ruhut Sitompul berharap MA mempunyai batasan waktu pe­nyelesaian perkara yang masuk. Dengan begitu ma­syarakat tidak menunggu lama.
Menurut Ruhut, selama ini kinerja MA masih belum me­muaskan masyarakat. Masih banyak mafia peradilan yang belum dibersihkan dan meng­ganggu upaya penegakan hukum.
“Selama 30 tahun menjadi advokat saya sudah melihat praktik-praktik yang tidak benar di dunia per­adilan,” ujarnya.
Soal kasus illegal logging, Ruhut meminta majels hakim secepatnya memutus perkara tersebut.  “Semoga majelis hakim PK memutuskan per­kara dengan seadil-adilnya. Dengan begitu putusan ter­sebut dapat diterima semua pihak yang berperkara,” je­lasnya.


“Jika Tidak Bayar Akan Diambil Tindakan Tegas”
Masyhud, Kepala Pusat dan Informasi Kehutanan Kemenhut
Kepala Pusat dan Informasi Kehutanan Kementrian Ke­hu­tanan (Kemenhut), Masyhud mengatakan, Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) adalah ke­wajiban yang harus dibayar ke negara bagi pengusaha pen­e­bang hutan.
“Pembayarannya per satu meter kubik kayu yang dite­bang. Jika masih punya utang, akan memberikan surat per­i­ngatan kepada pengusaha yang bersangkutan,” kata  Masyhud ke­pada Rakyat Merdeka, kemarin.
Namun Masyhud mengaku lupa berapa perusahaan yang punya utang Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR), termasuk tarif per meter kubiknya.
Menurutnya, pengusaha yang telat membayar PSDH-DR akan diberikan surat peringatan seba­nyak tiga kali untuk menye­lesaikan utangnya. Jika masih bandel, akan diserahkan ke lembaga penegak hukum untuk diselesaikan secara hukum.
Masyhud mengatakan, pihak­nya akan memilih mana pe­ngusaha yang punya Itikad baik untuk membayar dan mana yang tidak. “Jika tidak mem­bayar akan diambil tindakan tegas,”ucapnya.
[RM]

Tony Wong Inginkan Keadilan

Kamis, 15 April 2010 , 08:17:00

Tony Wong Inginkan Keadilan
Penunggak PSDH-DR Dihukum, Pelaku Ilog Belum Terungkap

JAKARTA--Kuasa Hukum Tony Wong, Gamal Muaddi berharap majelis hakim peninjauan kembali (PK) memperkuat putusan PN Ketapang yang telah memvonis bebas kliennya.“Putusan majelis hakim PN Ketapang sangat tepat sekali,” kata Gamal Muaddi kepada Pontianak Post kemarin di Jakarta. Tony Wong diajukan ke PN Ketapang karena menunggak pembayaran Pemanfaatan Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR), sehingga didakwa melakukan tindak pidana korupsi.

Majelis hakim PN Ketapang dalam putusan tanggal 26 Mei 2008 Nomor 201/pid.b/2007/PN.KTP menyatakan Tony Wong tidak bersalah dan membebaskan terdakwa dari dakwaan.Kemudian JPU pada Kejaksaan Negeri Ketapang melakukan Permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Majelis hakim MA tanggal 21 Oktober 2008 memutuskan mengabulkan permohonan Kasasi JPU. Artinya membatalkan putusan PN Ketapang dan menyatakan terdakwa telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi.

Menurut Gamal, pengajuan PK didasari putusan kasasi dengan jelas memperlihatkan suatu kehilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Hakim putusan kasasi secara jelas melanggar asas legalitas dan asas hukum lex specialis derogat lex generalis atau aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum sebagaimana dimaksud Pasal 63 ayat (2) KUHP, yaitu dalam bentuk tentang unsur perbuatan melawan hukum merupakan bagian inti (Bestandeel) tindak pidana korupsi dalam Pasal 2
ayat (1) UU PTPK (yang bersifat Umum/lex generalis) dengan Pasal 35 UU
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (lex spesialis), yang nota bene Pasal 35 UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan tersebut hanya merupakan ketentuan normatif yang bersifat mengatur saja tanpa dan tidak mengandung sanksi hukum serta bukan dan tidak merupakan atau termasuk ketentuan yang ditentukan sebagai tindak pidana atau tindak pidana kehutanan dan diancam dengan sanksi. Sedangkan sanksi pidana di dalam UU Kehutanan terdapat di dalam Pasal 78 UU Kehutanan.

”Sedangkan dalam kasus Tony Wong tidak terbukti adanya kerugian keuangan negara sebagai salah satu unsur korupsi. Karena ini perkara utang PSDH dan DR berdasarkan UU Kehutanan,”' tambahnya.

Dikatakan Gamal, kalau memang penunggak PSDH dan DR dipenjarakan,  banyak penunggak PSDH DR di negara ini yang belum bayar, tetapi mengapa hanya Tony Wong saja yang dihukum. “Tony Wong yang dihukum 4 tahun karena utang PSDH DR kepada Dinas Kehutanan (Negara dalam hal ini), dimanakah keadilan untuk Tony Wong atau semua penunggak PSDH DR harus dihukum seperti Tony Wong,” jelasnya.

Padahal pembalak illegal logging yang sebenarnya sampai saat ini belum tertangkap, justru yang mengungkapkan illegal logging dihukum. Pihaknya berharap kepada majelis hakim PK bisa memutuskan perkara ini secara adil dan bijak serta mempertimbangkan Toni Wong sebagai salah seorang yang membuka praktek illegal logging di Indonesia dan sudah sepantasnya mendapat perlakuan hukum dari aparat penegak hukum.
Tony Wong, lanjutnya, saat ini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pontianak. Dirinya mendekam di penjara sejak 8 Mei 2007. Maka dari itu dari PK yang telah diajukan sekitar Mei 2009 lalu, sampai sekarang masih dipelajari. ”Tentunya kita juga tetap harus melihat aspek Hak Asazi Manusia dari terdakwa. Kami telah berulang kali menanyakan itu, tetapi masih dipelajari,” katanya.(oji)

Video Penangkapan Susno Duadji

Sumber : http://timetotalks.blogspot.com/2010/04/inilah-video-penangkapan-paksa-komjen.html

Susno ditangkap anggota Propam Mabes Polri di terminal II D, pintu D 1, Bandara Soekarno-Hatta, Banten. Saat itu Susno hendak pergi ke Singapura untuk berobat bersama menantunya. Cengkareng, Tangerang. Susno ditangkap karena hendak pergi ke luar negeri. Drama penangkapan mantan Kabareskrim Mabes polri ini sungguh dramatisir, betapa tidak seorang Jendral polisi bintang tiga ditangkap dengan cara yang tidak prosedural dimana penangkapannyapun tidak didasari atas surat perintah penangkapan. Saat wartawan televisi mengambil gambar penangkapanpun langsung dihalang halangi oleh petugas seakan petugas takut publik mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“Susno mau pergi ke luar negeri tanpa izin atasan. Seharusnya dia melapor meskipun berobat harus izin atasan. Kalau di sana terjadi apa-apa bagaimana?” ujar Edward Aritonang (Kompas)



 


Mantan Kabareskrim Komjen Susno Duadji tiba di Mabes Polri, Senin (12/4/2010) malam sekitar pukul 18.45 WIB dengan pengawalan ketat. Sebelumnya, Susno ditangkap di Bandara Soekarno Hatta saat akan berangkat ke Singapura untuk berobat. Markas Besar Kepolisian RI menyatakan mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Komisaris Jenderal Susno Duadji melanggar disiplin Polri. Jika terbukti bersalah, Susno pun terancam sanksi berat.

Penangkapan Susno mengejutkan banyak pihak karena dilakukan tak lama setelah ia mengungkap informasi yang mengarah terjadinya kegiatan makelar kasus selama ini di Mabes Polri. Susno mengungkap hal tersebut di depan Komisi III DPR RI, minggu lalu. Senin pagi tadi, Susno juga bertemu Satgas Pemberantasan Mafia Hukum untuk kedua kalinya untuk melaporkan informasi terkait kasus Gayus Tambunan dan penangkaran ikan arwana.

Sekarang semua masih remang remang, apa dan bagaimana sandiwara anak manusia ini nanti akhirnya. Siapa yang benar siapa yang salah masih begitu susah menelusurinya, mungkin masyarakat bisa menilai dan boleh menilai, namun Polisi juga punya argumen yang menurut mereka benar, walaupun kebenaran itu selama didunia masih sangat relatif tergantung pada kepentingannya.

Sumber: Kompas/Detik/Vivanews/Metro TV/ http://ruanghati.com/2010/04/12/video-penangkapan-susno-duadji/

Apa ya Pantas Bila Jenderal Bintang Tiga Dijemput Paksa

Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar menilai upaya Divisi Profesi dan Pengamanan Polri (Div Propam) menjemput paksa mantan Kabareskrim Komjen (Pol) Susno Duadji sebagai tindakan berlebihan.

“Ya cara itu berlebihan, seharusnya Mabes Polri dapat memilih cara yang lebih elegan," ujar Bambang saat dihubungi okezone, Selasa (13/4/2010).

Menurutnya, Susno bagaimanapun juga adalah perwira tinggi di Polri. "Jangan yang melakukan tugas seperti ini seorang yang pangkatnya jauh dari Susno," pungkasnya.

Bambang berpendapat, tindakan yang terkesan gegabah tersebut berpotensi merugikan citra Polri di mata publik. “Yang terjadi kemarin itu tidak masuk akal, dan hal tersebut menjadi bumerang bagi kepolisian," katanya.

Bambang sendiri yakin bila Susno diberi izin Polri untuk berpergian ke luar negeri. Asalkan, Ayah dua putri yakni Indira dan Ana melakukan komunikasi terlebih dulu dengan atasannya.

Kemarin sore, jenderal bintang tiga tersebut dijemput di terminal 2 D Bandara Soekarno Hatta. Susno mengaku kepergiannya ke Singapura hanyalah untuk melakukan cek kesehatan semata. (okezone.com)

Toni Wong dan Susno Duaji Sang Peniup Pluit

PONTIANAK POST
Senin, 12 April 2010
Oleh : Sarluhut Napitupulu

Toni Wong dan Susno Duaji Sang Peniup Pluit

KISAH moralnya sama : si peniup pluit atau whistleblower. Namum nasibnya beda. Itulah yang dialami Komjen Susno Dauji dan Toni Wong. Dirut PT Glora Indonesia. Susno dikenal sebagai whistleblower kasus mafia pajak Gayus Tambunan, yang mengguncang institusi Polri, Kejagung dan Ditjen Pajak, nasibnya bak pahlawan. Terwacanakan menjadi Ketua KPK atau Kapolri.

Sedang Toni whistleblower kasus illegal logging di Ketapang, Kalimantan Barat, mengguncang institusi Polda Kalbar dan Polres Ketapang, nasibnya buruk.  Inilah kasihnya:  Awal Maret 2007, Tony meniup pluit ke Mabes Polri melaporkan kegiatan mafia illegal logging di wilayah Ketapang.  Tim Mabes Polri dipimpin Kabareskrim Komjen Bambang Hendarso Danuri, turun ke TKP Bukit Lawang tanpa “kulonuwan” kepada Polda Kalbar dan Polres Ketapang.

Singkat cerita, sindikat mafia illegal logging tersebut berhasil digulung.  24 orang ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.  Diantaranya, 3 pemilik sawmill, 15 nahkoda kapal, 6 oknum dinas kehutanan, Dari unsur kepolisian, 7 ditetapkan sebagai tersangka (3 dari Polres Ketapang, 4 dari Polda Kalbar), diantaranya Kapolres Ketapang AKBP Akhmad Sunan dan dicopot dari jabatanya karena tersangka. Kapolda Kalbar Brigjen Zainal Abidin Ishak dicopot dari jabatanya namun tidak tersangka.  Ia dinyatakan lengah dalam menjalankan tugas dan pengawasan.

Prestasi ini tentu membuat geger.  Sampai-sampai Kapolri Jenderal Pol Sutanto, 3 April 2007, bersama Menteri Kehutanan didampingi Irwasum Polri Komjen Jusuf Manggabarani, Kababinkum Komjen Imam Haryatna, Deops Polri Irjen Rubani Pranoto, Kadiv Humas Polri Irjen Pol R Abubakar Nataprawire, Kadiv Propam Irjn Pol Gordon Mogot, turun langsung meninjau ke TKP, memberi apresiasi.

Dengan prestasi ini, mestinya Toni mendapat pengargaan. Tapi, sungguh beda.  Sebulan kemudian, pada 7 Mei 2007, Toni ditangkap oleh Resmob Polda Kalbar di Bandara Soekarno Hatta Jakarta, dituduh korupsi PSDH-DR.  Saat penangkapan sempat tegang.  Pihak Mabes minta Toni ditahan di Mabes Polri.  Pihak Polda Kalbar ngotot membawa Toni ke Kalbar.

Akhirnya Toni ditahan dan dititipkan di Rutan Mabes Polri. Namun, pada 15 Mei 2007, Toni dipindahkan ke Rutan Polda Kalbar di Ponitanak dan pindah LP Ketapang.  Selanjutnya menjalani proses hukum.  Pada 26 Mei 2008, PN Ketapang memvonis Toni bebas murni dari dakwaan, karena dakwaan JPU terkait tuduhan korupsi PSDH-DR adalah urusan Perdata. Tapi, Toni tak sedetikpun menghirup udara bebas.  Tiga jam setelah PN Ketapang memvonis bebas, Toni ditangkap Polres Ketapang dengan tuduhan illegal logging. Dan drama penangkapan Toni yang kedua kembali terjadi bak menangkap teroris.
Sampai disini, sudah dua tuduhan yang menjerat Toni.  Nah, Gamal Muaddi, salah satu kuasa hukum Toni, mendergar bahwa tiga tuduhan lagi telah disiapkan untuk menjerat Toni pasca dua tuduhan tersebut selesai.  Yakni, tuduhan terkait Money laundering, tindak pidana ekonomi, dan korupsi.  Maka, dengan lima tuduhan yang akan menjeratnya, nasib Toni dipastikan akan terus menerus berada di LP.  Dendamkah motifnya?

Gamal yakin unsur dendam dalam kasus kliennya dominan setelah berkaca dari proses pemeriksaan mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai dengan mahkamah agung, yang nyata-nyata terasa bahwa kasusnya dipaksakan untuk dijadikan perkara.  Kenyataan lain, dalam putusan pengadilan pertama sampai dengan MA pertimbangun hukum hakim banyak kontroversi dan kontradiktif antara yang satu dengan yang lain.

Lihatlan, dalam kasus PSDH-DR, pada 21 Oktober 2008, MA mengabulkan kasasi JPU, putusan PN Ketapang dibatalkan, Toni dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi.  Untuk itu, MA memvonis Toni empat tahun penjara dan pidana denda Rp200juta. Padahal, pasal 224 KUHAP tegas menyatakan bahwa putusan Bebas tak bisa di kasasi.  Tapi hal itu diterima MA.  Lalu disandingkannya UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dengan UUPemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk menghukum Toni juga sebuah penerapan yang kurang cermat dan melanggar asas lex spesialis derogate lex general.  Itu sebabnya, Toni melalui Gamal pada 11 Mei 2009 mengajukan PK (Peninjauan Kembali).  Namun, hampir setahun PK belum juga diputus.

Kontroversi dan kontradiktif juga muncul dalam kasus illegal logging Toni.  PN Ketapang memvonis Toni 10 bulan penjara tanpa harus menjalani hukumannya (sebelumnya dituntut JPU 7 tahun penjara).  Di Tinkat PT Kalbar, vonis PN Ketapang itu dikuatkan.  Lalu JPU kasasi ke MA yang sampai kini belum diperiksa.

Maka, selain PK, Gamal mengadukan perihal kontroversi dan kontradiktif itu kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Presiden dan petinggi penegak hukum di negeri ini. Supaya nasib yang dialami Toni tidak harus seperti itu,  Toni sudah sepantasnya mendapatkan perlakuan yang adil dare pemerintah dan aparat penegak hukum di negeri ini.

Toni yang selama dua tahun lebih menghuni LP Ketapang, secare mendadak pada 6 Agustus 2009, dipindah ke LP Sui Raya Pontianak – berjarak 360 kilometer.  Pemindahan itu factor keamanan, pasca masuknya tiga perwira polisi ke LP Ketapang utuk menjalan hukuman setelah dijatuhi vonis.  Yakni, mantan Kopolres Ketapang AKBP Akhmad Sun’an, mantan Kasat Reskrim Polres Ketapang AKP M Kadhapy Marpaung dan mantan Kapos Polair Ketapng Iptu Agus Lutfiardi. Ketika perwira polisi itu dihukum hasil tiupan pluit Toni.

Bagi seorang peniup pluit, butuh nyali baja.  Karena, jangankan perlingungan hukum, atau insentif karena mengungkap kerugian negara, alih-alih justru dikuyo-kuto.  Mudah-mudahan tidak mengecilkan tekad Toni untuk selalu berkata benar.  (Penulis Pemerhati Hukum)