Toni Wong dan Susno Duaji Sang Peniup Pluit

PONTIANAK POST
Senin, 12 April 2010
Oleh : Sarluhut Napitupulu

Toni Wong dan Susno Duaji Sang Peniup Pluit

KISAH moralnya sama : si peniup pluit atau whistleblower. Namum nasibnya beda. Itulah yang dialami Komjen Susno Dauji dan Toni Wong. Dirut PT Glora Indonesia. Susno dikenal sebagai whistleblower kasus mafia pajak Gayus Tambunan, yang mengguncang institusi Polri, Kejagung dan Ditjen Pajak, nasibnya bak pahlawan. Terwacanakan menjadi Ketua KPK atau Kapolri.

Sedang Toni whistleblower kasus illegal logging di Ketapang, Kalimantan Barat, mengguncang institusi Polda Kalbar dan Polres Ketapang, nasibnya buruk.  Inilah kasihnya:  Awal Maret 2007, Tony meniup pluit ke Mabes Polri melaporkan kegiatan mafia illegal logging di wilayah Ketapang.  Tim Mabes Polri dipimpin Kabareskrim Komjen Bambang Hendarso Danuri, turun ke TKP Bukit Lawang tanpa “kulonuwan” kepada Polda Kalbar dan Polres Ketapang.

Singkat cerita, sindikat mafia illegal logging tersebut berhasil digulung.  24 orang ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.  Diantaranya, 3 pemilik sawmill, 15 nahkoda kapal, 6 oknum dinas kehutanan, Dari unsur kepolisian, 7 ditetapkan sebagai tersangka (3 dari Polres Ketapang, 4 dari Polda Kalbar), diantaranya Kapolres Ketapang AKBP Akhmad Sunan dan dicopot dari jabatanya karena tersangka. Kapolda Kalbar Brigjen Zainal Abidin Ishak dicopot dari jabatanya namun tidak tersangka.  Ia dinyatakan lengah dalam menjalankan tugas dan pengawasan.

Prestasi ini tentu membuat geger.  Sampai-sampai Kapolri Jenderal Pol Sutanto, 3 April 2007, bersama Menteri Kehutanan didampingi Irwasum Polri Komjen Jusuf Manggabarani, Kababinkum Komjen Imam Haryatna, Deops Polri Irjen Rubani Pranoto, Kadiv Humas Polri Irjen Pol R Abubakar Nataprawire, Kadiv Propam Irjn Pol Gordon Mogot, turun langsung meninjau ke TKP, memberi apresiasi.

Dengan prestasi ini, mestinya Toni mendapat pengargaan. Tapi, sungguh beda.  Sebulan kemudian, pada 7 Mei 2007, Toni ditangkap oleh Resmob Polda Kalbar di Bandara Soekarno Hatta Jakarta, dituduh korupsi PSDH-DR.  Saat penangkapan sempat tegang.  Pihak Mabes minta Toni ditahan di Mabes Polri.  Pihak Polda Kalbar ngotot membawa Toni ke Kalbar.

Akhirnya Toni ditahan dan dititipkan di Rutan Mabes Polri. Namun, pada 15 Mei 2007, Toni dipindahkan ke Rutan Polda Kalbar di Ponitanak dan pindah LP Ketapang.  Selanjutnya menjalani proses hukum.  Pada 26 Mei 2008, PN Ketapang memvonis Toni bebas murni dari dakwaan, karena dakwaan JPU terkait tuduhan korupsi PSDH-DR adalah urusan Perdata. Tapi, Toni tak sedetikpun menghirup udara bebas.  Tiga jam setelah PN Ketapang memvonis bebas, Toni ditangkap Polres Ketapang dengan tuduhan illegal logging. Dan drama penangkapan Toni yang kedua kembali terjadi bak menangkap teroris.
Sampai disini, sudah dua tuduhan yang menjerat Toni.  Nah, Gamal Muaddi, salah satu kuasa hukum Toni, mendergar bahwa tiga tuduhan lagi telah disiapkan untuk menjerat Toni pasca dua tuduhan tersebut selesai.  Yakni, tuduhan terkait Money laundering, tindak pidana ekonomi, dan korupsi.  Maka, dengan lima tuduhan yang akan menjeratnya, nasib Toni dipastikan akan terus menerus berada di LP.  Dendamkah motifnya?

Gamal yakin unsur dendam dalam kasus kliennya dominan setelah berkaca dari proses pemeriksaan mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai dengan mahkamah agung, yang nyata-nyata terasa bahwa kasusnya dipaksakan untuk dijadikan perkara.  Kenyataan lain, dalam putusan pengadilan pertama sampai dengan MA pertimbangun hukum hakim banyak kontroversi dan kontradiktif antara yang satu dengan yang lain.

Lihatlan, dalam kasus PSDH-DR, pada 21 Oktober 2008, MA mengabulkan kasasi JPU, putusan PN Ketapang dibatalkan, Toni dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi.  Untuk itu, MA memvonis Toni empat tahun penjara dan pidana denda Rp200juta. Padahal, pasal 224 KUHAP tegas menyatakan bahwa putusan Bebas tak bisa di kasasi.  Tapi hal itu diterima MA.  Lalu disandingkannya UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dengan UUPemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk menghukum Toni juga sebuah penerapan yang kurang cermat dan melanggar asas lex spesialis derogate lex general.  Itu sebabnya, Toni melalui Gamal pada 11 Mei 2009 mengajukan PK (Peninjauan Kembali).  Namun, hampir setahun PK belum juga diputus.

Kontroversi dan kontradiktif juga muncul dalam kasus illegal logging Toni.  PN Ketapang memvonis Toni 10 bulan penjara tanpa harus menjalani hukumannya (sebelumnya dituntut JPU 7 tahun penjara).  Di Tinkat PT Kalbar, vonis PN Ketapang itu dikuatkan.  Lalu JPU kasasi ke MA yang sampai kini belum diperiksa.

Maka, selain PK, Gamal mengadukan perihal kontroversi dan kontradiktif itu kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Presiden dan petinggi penegak hukum di negeri ini. Supaya nasib yang dialami Toni tidak harus seperti itu,  Toni sudah sepantasnya mendapatkan perlakuan yang adil dare pemerintah dan aparat penegak hukum di negeri ini.

Toni yang selama dua tahun lebih menghuni LP Ketapang, secare mendadak pada 6 Agustus 2009, dipindah ke LP Sui Raya Pontianak – berjarak 360 kilometer.  Pemindahan itu factor keamanan, pasca masuknya tiga perwira polisi ke LP Ketapang utuk menjalan hukuman setelah dijatuhi vonis.  Yakni, mantan Kopolres Ketapang AKBP Akhmad Sun’an, mantan Kasat Reskrim Polres Ketapang AKP M Kadhapy Marpaung dan mantan Kapos Polair Ketapng Iptu Agus Lutfiardi. Ketika perwira polisi itu dihukum hasil tiupan pluit Toni.

Bagi seorang peniup pluit, butuh nyali baja.  Karena, jangankan perlingungan hukum, atau insentif karena mengungkap kerugian negara, alih-alih justru dikuyo-kuto.  Mudah-mudahan tidak mengecilkan tekad Toni untuk selalu berkata benar.  (Penulis Pemerhati Hukum)

No comments: