Bambang Widjajanto dan Busyro Calon Bos KPK

VIVAnews


Jum'at, 27 Agustus 2010, 18:51 WIB
Presiden SBY menyetujui dua nama calon pengganti Pimpinan KPK, Bambang Widjojanto dan Busyro Muqaddas. Keduanya akan menjalani uji kelayakan di DPR.

ICW: PKS Sebaiknya Tarik Fahri Hamzah


VIVAnews

VIVAnews - Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo tak mau ambil pusing dengan pernyataan Fahri Hamzah di situs jejaring sosial Twitter yang mengkritisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Adnan, Fahri memang selalu sinis dengan kinerja KPK. Ia menilai sikap Fahri yang nyeleneh itu tidak menunjukkan sikap partai sehingga PKS harus menegur sikap Fahri.
"Karena jika terlalu jauh nantinya justru bisa mencemarkan nama partai. Sikap ini membuat publik bingung, karena sikap dengan pernyataan yang berbeda," kata Adnan dalam perbincangan dengan VIVAnews, Minggu 29 Agustus 2010.

PKS, kata dia, harus mengambil sikap cepat agar tak menular ke kader lainnya. Dia mencontohkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Pencucian Uang. PKS justru mendorong KPK menyelidiki perkara pencucian uang. "Jadi Fahri ini memang sikapnya nyeleneh dari sikap partai karena dari pernyataannya kok tidak mendukung KPK," ujarnya.

Adnan malah mempertanyakan mengapa Fahri hanya mengkritisi KPK, tidak institusi penegak hukum lainnya. Rekening gendut yang ada di Kepolisian juga tidak dikritisi. Seharusnya sebagian anggota dewan, Fahri juga harus memperjuangkan bagaimana semua institusi penegak hukum bersih dari praktek korupsi.
Adnan menilai PKS sebaiknya menarik Fahri dari dewan. "Buat apa kita keluarkan biaya mahal tapi tidak memberikan kontribusi apa-apa," kata dia.
Adnan menduga Fahri dendam pada KPK karena pernah diperiksa dalam kasus aliran dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) waktu itu. "Dari dulu selalu begitu statement-nya," ujarnya.

Nyeleneh Fahri Sama Seperti Ruhut

VIVAnews


VIVAnews - Wakil Koordinator ICW Adnan Topan Husodo menilai Fahri Hamzah adalah anggota dewan yang nyeleneh dari PKS. Posisinya itu sama dengan Ruhut Sitompul yang nyeleneh di Partai Demokrat.

"Fahri ini sama dengan Ruhut, orang nyeleneh Demokrat, Fahri di PKS" kata Adnan saat dihubungi VIVAnews, Minggu malam 29 Agustus 2010.

Pernyataan Fahri di situs jejaring sosial Twitter
dinilai berbeda dengan sikap partai PKS. "Fahri dari dulu konsisten selalu sinis dan meragukan KPK."

Adnan menilai sikap nyeleneh ini sebaiknya disikapi serius oleh PKS. Pasalnya, sambungnya, bisa mencemarkan partai karena membingungkan di mata publik. "Saya kira itu ada sikap yang memang agak aneh dari anggota dewan yang satu ini (Fahri)," ujarnya.

Jika Fahri meragukan keberadaan KPK apakah bermanfaat atau tidak, kata Adnan, seharusnya menggunakan rasio sepadan dan fakta yang muncul. "Misalnya indeks persepsi korupsi meningkat karena sepak terjang KPK, bukan institusi penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian" ujarnya. (adi)

Nikmatnya Jadi Koruptor di Indonesia

Mestinya Malaysia Berkaca

Surat SBY kepada Malaysia

Munarman Duga Revisi UU Ormas Tumpas FPI

INILAH.COM


INILAH.COM, Jakarta - Front Pembela Islam (FPI) mencium gelagat tidak menguntungkan dalam agenda revisi Undang-undang Keormasan Nomor 8 Tahun 1985. Perombakan UU tersebut dapat diarahkan ke target pembubaran Ormas Islam.

“Kalau revisi silakan saja, tapi ini jangan sampai diarahkan untuk tujuan-tujuan tertentu misalnya target untuk membubarkan Ormas Islam,” kata Ketua DPP Front Pembela Islam Bidang Nahi Mungkar Munarman kepada INILAH.COM di Jakarta, Senin (30/8).

Regulasi untuk merevisi UU Keormasan sejak dulu memang sudah ada. UU Nomor 8 Tahun 1985 itu, salah satu agenda dari lima paket UU politik yang jadi pekerjaan rumah DPR RI dan pemerintah.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri dalam rapat bersama DPR dan pemerintah menuding ada Omas tertentu yang mengatasnamakan agama kerap bertindak anarkis. Terkait hal itu, Munarman menduga ada segelintir pihak dari pemerintah dan DPR yang ingin menekan eksistensi Ormas Islam dengan ideologi dan kultur liberal.

“Kita tidak ada masukan (respon), sudah ada yang mengatur regulasi dan tata cara pengelolaannya,” tukas dia. [mah]

Inilah Pidato Bung Karno untuk Malaysia

Senin, 30 Agustus 2010 - 14:03 wib
TB Ardi Januar - Okezone

blogspot (ilustrasi)
JAKARTA – Perseteruan antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat. Ketegagan negeri serumpun kali ini dipicu dari ditangkap dan disiksanya tiga petugas kelautan Indonesia oleh kepolisian Malaysia.

Kejadian ini mengingatkan kita akan sejarah. Dimana, pada tahun 1962-1966 Indonesia juga sempat terlibat cekcok dengan Negri Jiran. Kala itu, persoalan dipicu ulah Malaysia yang dahulu dikenal dengan Persekutuan Tanah Melayu ingin menggabungkan Brunei, Sabah, dan Serawak menjadi Federasi Malaysia.

Tindakan tersebut, sontak saja dikecam oleh Presiden Indonesia yang kala itu dijabat Soekarno. Bung Karno menilai, Malaysia adalah boneka Inggris, dan langkah tersebut akan mengganggu keamanan di Indonesia. Bung Karno memproklamirkan gerakan ”Ganyang Malaysia” melalui pidato bersejarah pada 12 April 1963. Berikut kutipan pidato Sang Proklamator Indonesia tersebut;

Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!

Kerahkan pasukan ke Kalimantan hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu.

Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.

Serukan serukan ke seluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.

Yoo... ayoo... kita... Ganjang...
Ganjang... Malaysia...
Ganjang... Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satoe-satoe!


Menyikapi pidato Bung Karno, Malaysia pun murka. Mereka mendemo Kedubes RI di Kualalumpur dan merobek-robek foto Soekarno. Bahkan, demonstran juga sempat membawa lambang burung garuda kepada Tunku Abdul Rahman dan meminta agar dia menginjaknya.

Namun, polemik tersebut mereda setelah posisi Soekarno digantikan Soeharto. Pada 28 Mei 1966, Indonesia dan Malaysia pun sepakat untuk berdamai, dan penandatanganan perdamaian dilakukan pada 11 Agustus.

http://multiply.com/gi/sudarjanto:journal:17066

Ini Ormas yang Kerap Lakukan Kekerasan

KOMPAS.com



JAKARTA, KOMPAS.com
— Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri memaparkan data tindak kekerasan atau aksi anarkis yang dilakukan sejumlah ormas dalam rapat koordinasi gabungan DPR-pemerintah terkait ormas, Senin (30/8/2010) di Gedung DPR, Jakarta.

Kapolri mengungkapkan, pada medio 2007-2010 terdapat 107 tindak kekerasan. Berdasarkan data kepolisian, terdapat tiga ormas yang kerap melakukan kekerasan selama empat tahun terakhir.

Selengkapnya, berikut data yang dipaparkan Kapolri:

Tahun 2007: 10 tindak kekerasan oleh Front Pembela Islam (FPI)
Tahun 2008: 8 tindak kekerasan oleh FPI dan Forum Betawi Rempug (FBR)
Tahun 2009: 40 tindak kekerasan oleh FPI, FBR, dan Barisan Pemuda Betawi
Tahun 2010: 49 tindak kekerasan oleh FPI

"Dari rangkaian peristiwa, yang disidik dan tuntas hingga P21 ada 36 kasus," kata Kapolri.

Kapolri berpandangan, ormas-ormas yang kerap melakukan kekerasan perlu dibekukan. Akan tetapi, sanksi terhadap ormas-ormas ini belum diatur dalam UU Nomor 8 tahun 1985. Oleh karena itu, Kapolri mengusulkan perlunya revisi atas ketentuan UU tersebut.


TERKAIT:

FPI Ragukan Data Kapolri

KOMPAS.com


JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua DPP Front Pembela Islam Bidang Nahi Mungkar Munarman meragukan data yang diungkap Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri soal ormas yang sering melakukan tindak kekerasan dalam rapat gabungan antara Pemerintah dan DPR di Gedung DPR RI, Senin (30/8/2010).

Data dari mana? Saya meragukan datanya. Saya melihat dari kejadian-kejadian yang lalu, Kapolri sering salah. Paling-paling data yang diambil dari koran. Saya enggak yakin datanya valid.
-- Munarman

"Data dari mana? Saya meragukan datanya. Saya melihat dari kejadian-kejadian yang lalu, Kapolri sering salah. Paling-paling data yang diambil dari koran. Saya enggak yakin datanya valid," kata Munarman saat dihubungi Kompas.com, Senin sore. Munarman menyebutkan sejumlah kesalahan data Kapolri, seperti soal rekaman Ary Muladi dan Ade Raharja yang ternyata tidak ada serta salah menyebutkan data rekomendasi DPR soal kasus Century.

Menurutnya, Kapolri hanya berusaha mendapatkan citra baik sebelum turun jabatan. Munarman mengatakan, Kapolri juga bisa dibilang sengaja membiarkan bahkan memanfaatkan sejumlah aktivis LSM untuk mendesak pembubaran sejumlah ormas Islam termasuk FPI. Seperti dalam kasus Banyuwangi, kata Munarman, FPI menjadi kambing hitam, padahal kenyataannya tidak dilakukan FPI.

Ketika ditanya apakah upaya perubahan UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa agar aparat berwenang dapat membekukan ormas yang sering melakukan kekerasan, Munarman mengatakan tidak masalah buat FPI. "Rancangannya kan sudah dibuat. Saya sudah lihat drafnya. Bagi FPI, biarkan saja. Tugas pemerintah kan membuat undang-undang, tapi kalau ditujukan untuk membubarkan ormas tertentu, saya tidak setuju," ujarnya.

Syahganda: Malaysia Tekan RI, Surat SBY Tak Digubris

JAKARTA, KOMPAS.com  - Ultimatum yang disampaikan Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Tun Najib Rajak, Sabtu (28/8/2010) agar pemerintah Indonesia menertibkan aksi-aksi demo di Jakarta yang dapat membuat murka warga Malaysia, juga tudingan adanya demonstran bayaran, pernyataan dua juta Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia serta investasi pengusaha Malaysia di tanah air, menunjukkan Indonesia berada dalam posisi mudah ditekan pihak Malaysia.
Hal tersebut dikemukakan Ketua Dewan Direktur Sabang-Merauke Circle (SMC) Syahganda Nainggolan di Jakarta, Minggu (29/8/2010). "Pernyataan bernada tekanan itu bukti yang nyata bahwa surat Presiden SBY kepada PM Malaysia yang disampaikan Jumat (27/8/2010), tidak pernah digubris," kata Syahganda.
Karenanya, Syahganda mengaku sedih oleh respon pemerintah Malaysia terkait surat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang sama sekali tidak mencerminkan rasa hormat maupun sikap bersahabat terhadap bangsa Indonesia, khususnya Presiden SBY.
"Yang dilakukan justru menekan-nekan RI. Hal ini tentu bukan sikap dewasa dari petinggi Malaysia, karena mengeluarkan sikap yang selalu merendahkan Indonesia," jelas Syahganda.
Dikatakan, pemerintah Indonesia sebaiknya tidak boleh terlalu menggambarkan sikap yang pasrah menghadapi Malaysia, baik melalui surat Presiden SBY ataupun berupa tindakan para menterinya. Sebab, lanjutnya, cara seperti itu bukan yang diinginkan oleh seluruh rakyat di tanah air.
"Rakyat dan seluruh elemen bangsa menghendaki Indonesia membangun politik yang bermartabat selaku negara besar di panggung internasional, sekaligus memuliakan harapan serta kepentingan bangsa yang berdaulat," ujarnya.
Dengan demikian, Syahganda mengharapkan Presiden SBY mengambil hikmah yang dalam atas semua permasalahan dengan Malaysia akhir-akhir ini.

RI Lebih Lama Hilang Kesabaran pada Malaysia

JAKARTA, KOMPAS.com  - Ketua Dewan Direktur Sabang-Merauke Circe (SMC) Syahganda Nainggolan, menegaskan bangsa Indonesia lebih lama menahan kesabaran terhadap Malaysia. Namun karena mengaitkan adanya hubungan bangsa serumpun, Indonesia selalu bisa sabar dari waktu-waktu menghadapi Malaysia.
Hal itu disampaikan Syahganda di Jakarta, Minggu (29/8/2010) menanggapi pernyataan Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Seri Anifah Aman di Putra Jaya, Malaysia, Kamis (26/8/2010) tentang sikap pemerintah Malaysia yang habis kesabarannya pada Indonesia, sekaligus mengancam mengeluarkan larangan bepergian (travel advisory) warganya ke Indonesia.
Sikap Menlu Malaysia dikemukakan akibat maraknya demonstrasi yang dilakukan aktivis Bendera (Benteng Demokrasi Rakyat) serta sejumlah massa lainnya di Kedutaaan Besar Malaysia di Jakarta, beberapa waktu lalu, dengan cara merobek bendera Malaysia serta melempari halaman kantar Kedubes dengan kotoran manusia.
"Sebenarnya kita yang sudah lama hilang kesabaran pada Malaysia, setelah melalui berbagai tindakan langsung maupun provokatif Malaysia kepada Indonesia, baik dengan mengganggu kedaulatan hukum dan wilayah Indonesia, pelecehan serta penganiayaan warganegara atau Tenaga Kerja Indonesia, maupun cara lainnya yang bertendensi merendahkan bangsa ataupun kedaulatan negara kita," ujar Syahganda.
Menurutnya, jika tidak bersabar melayani Malaysia, Indonesia sudah lebih lama dapat mengganggu Malaysia secara mudah. Namun sebaliknya hal itu tidak pernah dilakukan pihak Indonesia.
Dikatakan, Malaysia tidak perlu bersikap arogan dengan mengancam Indonesia, karena sebagai bangsa yang besar dan memiliki pengaruh sejarah berupa keberanian dalam berbahadapan dengan bangsa-bangsa lain, Indonesia jelas tidak takut sama sekali terhadap Malaysia.

Mencari Celah Pengampunan

Wawancara Juru Bicara kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah.

VIVAnews-LEBIH dari seratus warga Indonesia terancam hukuman mati di Malaysia. Angka itu cukup besar karena tak adanya perjanjian khusus (Mandatory Consular Notification) antar Indonesia dan Malaysia.

Juru bicara Kementrian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, mengatakan bila perjanjian itu ada, maka kasus hukum menimpa warga Indonesia akan cepat diketahui. "Kita bisa cepat memberikan bantuan," kata Faizasyah, saat diwawancara VIVAnews di Jakarta, Jumat 27 Agustus 2010.

Catatan Kementrian Luar Negeri Indonesia menyebutkan WNI terancam eksekusi hukuman gantung di Malasyia sebanyak 177 orang. Sebagian besar dalam proses persidangan. Mereka diancam mati, akibat kejahatan peredaran narkoba dan pembunuhan.

Kini tiga warga Indonesia telah divonis mati oleh pengadilan federal. Mereka menempuh proses permohonan  pengampunan ke badan pengampunan negara (State Pardon Board).

Kepada wartawan VIVAnews, Harriska Adiati, Teuku Faizasyah menjelaskan langkah pemerintah melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur untuk menyelamatkan tiga warga yang tengah terancam untuk dieksekusi. Berikut petikannya:

Bagaimana cara pemerintah menyelamatkan WNI dari ancaman hukuman mati di Malaysia?
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur tengah mengkaji bersama pengacara yang ditunjuk KBRI. Proses itu sedang dilakukan sekarang. Kita bukan ahli hukum, jadi perlu dibicarakan dengan ahli hukum di sana yang mengerti hukum Malaysia. Kita lagi mencari apakah celah-celah hukum itu ada.

Tiga warga telah menerima vonis akhir, dan terancam langsung dieksekusi. Apa langkah terakhir pemerintah melalui KBRI Kuala Lumpur menyelamatkan mereka? 
Grasi mungkin kalau tidak ada opsi lain. Saat ini sedang koordinasi (dengan pengacara di Malaysia) untuk mencari celah hukum dan opsi-opsinya.

Yang dilakukan sekarang adalah mempelajari sistem hukum di Malaysia. Kita tetap optimistis dengan mengacu pada pengalaman saat berhasil mengubah status hukum 21 WNI kita yang terancam hukuman mati [periode 2007-2010].

Tapi setiap kasus ada ciri khasnya. Itu yang sedang dipelajari dengan tenaga pengacara setempat. Celah hukum apa yang bisa kita manfaatkan, celah hukum itu kemudian kita tampilkan dalam surat permohonan pengampunan (clemency) itu, grasi atau bentuk-bentuk lainnya.

Ketika menyampaikan rekomendasi langkah-langkah yang akan dilakukan, sudah cukup amunisi. Tidak ada perbedaan masalah hukum, ini kan hukum di negara setempat yang dikenakan pasal-pasal hukum di Malaysia.

Tapi dari modifikasi hukum itu kira-kira apa yang bisa digunakan untuk mengajukan grasi atau permintaan pengampunan. Itu yang harus dipelajari ahlinya. Hukum nasional kita tidak berlaku, hukum Malaysia yang dipakai.

Soal pengacara di Malaysia, siapa yang akan kita sewa?
Ada tiga macam pengacara. Ada yang sifatnya retention lawyer, pengacara yang dikontrak untuk terus memberikan advice hukum. Ini terus dimanfaatkan jasa hukumnya oleh kita. Ada lawyer yang pro-bono dalam kasus-kasus pemerintah Malaysia, seperti Lembaga Bantuan Hukum di sini.

Terakhir, pengacara yang disewa untuk keahliannya, untuk kasus-kasus  tertentu yang lebih komprehensif, kita harus menyewa lawyer itu. Saya mendengar sudah ada beberapa pengacara yang kita sewa.

Sejauh ini berapa yang hukumannya jadi ringan?
Sudah ada 21 WNI di Malaysia yang diringankan hukumannya, dari hukuman mati diubah ke hukuman lain.

Apa untungnya bagi kita kalau ada kesepakatan mandatory consular notification?

Keuntungan utama, kalau ada kasus-kasus WNI, kita bisa cepat bisa mengetahui ada WNI bermasalah, dan kita bisa cepat memberikan bantuan. Itu keuntungan utamanya. Keuntungan lain belum dikaji.

Jadi misalnya ada WNI yang punya permasalah di Malaysia, maka Malaysia harus memberitahukan ke perwakilan RI terdekat. Ada jutaan WNI di luar negeri, sedangkan pemerintah baru menempatkan sekitar 50 KBRI yang menangani semuanya, termasuk politik, ekonomi, dan kekonsuleran.

Soal kesepakatan mandatory consular notification, sudah dilakukan untuk berapa negara?
Saya tidak ingat pasti, tapi dengan Australia sudah ada. Dengan Malaysia, Singapura, maupun negara di Timur Tengah belum ada. Dengan Australia sudah ada, tetapi belum bisa diberlakukan karena belum ada kasus.

Kenapa dengan Malaysia dan negara lain belum ada? Apakah ditolak?
Bukan ditolak, mereka masih mempertanyakan mandatory consular notification ini karena dalam Konvensi Wina mengenai diplomatik dan kekonsuleran, ada peraturan mengenai notifikasi masalah kekonsuleran.

Jadi tanpa diatur secara khusus pun pemerintah suatu negara wajib memberitahukan secepatnya kepada perwakilan negara terkait bila warga negaranya tersangkut masalah. Jadi ini menjadi pertimbangan banyak negara, bukan hanya Malaysia.

Mimpi Buruk di Negeri Ringgit

Mereka dari kampung miskin, mencari rezeki ke negeri jiran. Tapi nasib bicara lain.

VIVAnews –ZAKIYAH tak pernah lupa pada selembar surat yang diterimanya saat Ramadan 2005 silam. Surat itu dalam amplop kecil. Ada nama si pengirim: Adi. Itu nama kecil Suhaidi bin Asnawi, anaknya yang bekerja di Malaysia.

Isinya nyaris membuat dunia perempuan separoh baya itu runtuh. "Saya lagi di penjara. Adi lagi diancam hukuman mati," demikian sepatah kata surat itu.

"Jantung saya berdegup kencang, dan lidah saya kelu," ujar Zakiyah, kepada Edy Gustan, dari VIVAnews, Kamis 26 Agustus 2010 di Dusun Karang Kuripan, Desa Kediri, Kecamatan Kediri, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Gara-gara kabar itu, dia sempat jatuh sakit.

Sebagai seorang ibu, dia tidak rela nyawa anaknya berakhir di tiang gantung. Dibantu oleh sebuah LSM, dia bersafari, mencari dukungan. Zakiyah bicara ke media, dia juga bolak-balik ke kantor pemerintah. Tokoh masyarakat didatangi, termasuk presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Zakiyah bahkan ke Malaysia, berbekal dukungan banyak pihak.

Beruntung, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melawat ke Malaysia dan bertemu dengannya di Wisma Duta, Kuala Lumpur. Keluhan Zakiyah didengar Presiden SBY berjanji bertemu Perdana Menteri Malaysia untuk membicarakan kasus Adi. SBY lalu meminta Duta Besar RI saat itu, Rusdihardjo, untuk membantu Adi.

Kini, ia mengaku lega, di kembali ke pangkuannya. "Saya tidak mengizinkan anak saya kembali ke Malaysia," kata dia, melirik putra kesayangannya itu.

Menikam majikan

Bagi Suhaidi alias Adi, lolos dari eksekusi mati adalah sebuah keajaiban. Dia lalu bercerita kisah hidupnya yang bagai mimpi buruk di negeri jiran. Saat itu tahun 1996, tekanan ekonomi memaksanya merantau ke Malaysia. Umurnya waktu itu 17 tahun, dan dia nekat menjadi perantau gelap.

Di Malaysia, dia sempat bekerja serabutan. Setelah kembali ke kampung mengurus surat resmi, dia diterima kerja di perkebunan kelapa sawit di Teluk Langsa Port Dickson, Negeri Sembilan, Malaysia, pada tahun 2000.

Sebagai pengawas kebun kelapa sawit, gajinya lumayan: 40 ringgit per jam. Kadang dia membantu keluarga majikan, dari pekerjaan rumah tangga sampai membuat pagar. Majikannya memperlakukannya dengan baik. Tapi tidak dengan ibu majikannya, Tan Yook Yong alias Acin.

Tragedi itu terjadi pada 15 Januari 2002 pukul 10.00 waktu setempat. Suhadi kalap. Kepalanya mendidih menerima derasnya makian dari ibu majikannya. "Dia bilang, kalau kamu sudah bosan kerja di sini ya cari saja tempat lain," kata Suhadi, di rumahnya di Desa Kediri, Lombok, Kamis 26 Agustus 2010.

Adi pun gelap mata. Dia mengambil sebilah pisau dapur. Lalu benda tajam itu pun melesak ke tubuh ibu majikannya. "Yang kena kalau nggak perut, ya dada," kata Edi.

Sejak peristiwa itu, Adi ditahan di Blok Abadi I Penjara Sungai Buloh, Selangor, Darul Ehsan, Malaysia. Tiga tahun hidup di sel, dia harus ikut puluhan kali sidang. Peristiwa itu tak diketahui keluarganya di kampung .

Pada 2004, majelis hakim Pengadilan Negeri Sembilan memutuskan, dia terbukti melanggar Akta 302 Kanun Kesiksaan (KK). Tuduhannya pembunuhan dengan niat. Vonisnya: hukuman gantung sampai mati.

Putusan itu membuat Adi limbung. Dia nyaris putus asa. Jiwanya terganggu. Dia lalu mengadukan petaka itu ke pemerintah Indonesia. Surat dikirimkannya ke Kedutaan Besar RI di Malaysia. Tapi, tak ada balasan.

Akhirnya, dia bertemu seorang tahanan lain asal Lombok yang tersangkut perkara keimigrasian. Adi pun menitipkan sepucuk surat itu kepada ibunya. "Saya berpikir, kalau surat itu sampai ke keluarga saya maka jiwa saya akan selamat," kata Adi.

Lalu kisahnya "penyelamatannya" pun bergulir. Ibunya dayang ke Malaysia. Adi lantas didampingi pengacara Malasyia, Raja Badrul. Berkat kegigihan ibunya, juga setelah bertemu Presiden SBY itu, Adi dinyatakan lolos dari hukuman gantung pada 13 Agustus 2007. Mahkamah mempertimbangkan keterangan perawat Rumah Sakit Jiwa Mataram, Mugni dan orang tuanya bahwa ia pernah menderita gangguan jiwa.

Pada 9 Januari 2010, akhirnya dia kembali ke tanah air.

Tapi, nasib Adi toh belum begitu baik. Dia pernah bekerja di tambang emas ilegal di Sekotong, tambang maut yang menelan puluhan korban. Saat ini dia menjadi buruh di pasar ikan Ampenan, Mataram. "Saya juga berharap uang gaji saya yang belum dibayarkan bisa diambil," kata dia.

Tatkala melihat tayangan televisi soal 177 warga negara Indonesia di Malaysia yang terancam vonis mati, Adi teringat tiga teman satu selnya dulu. Mereka juga divonis mati:Mustakim bin Hanafi, Azhar bin Zakaria dan Mardani. Kata Adi, ketiganya terkena kasus ganja seberat 1,5 killogram.

Dia bercerita hidup di bui sangatlah berat. Dia ingat ada orang Lombok yang buta dan lumpuh, karena tak tahan derita di penjara. Banyak juga yang terganggu jiwanya. "Ada yang ngomong sama tembok, membentur-benturkan kepalanya ke tembok dingin penjara," kata dia, menghela nafas panjang.

Takut dituduh gerilyawan

Surat berstempel Jabatan Penjara Malaysia, Pokok Sena, Kedah sampai di meja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Banda Aceh. Pengirimnya dua WNI asal Aceh, Bustaman B Bukhari dan Tarmizi B Yacob. Isinya, kabar buruk: mereka telah divonis gantung sampai mati.

"Dengan beribu-ribu pengharapan, dan mengharap simpati, kami meminta siapapun yang terlibat untuk dapat membuat lawatan dan pembuatan permohonan ampun kepada kerajaan Malaysia," demikian tulis Bustaman.

Wakil koordinator Kontras Aceh, Asiah Uzia  mengatakan kepada VIVAnews, kedua warga Aceh itu meminta bantuan ke Pemerintah Aceh.  "Mereka minta Pemerintah Aceh  mengirimkan permintaan maaf dan permohonan pengurangan hukuman," ujar Asiah, Rabu 25 Agustus 2010.

Bustamam dan Tarmizi, bersama Parlan Bin Dadeh kini diasingkan di penjara Pokok Sena, Selangor Malaysia.  Mereka ditempatkan di bangsal terpisah. Di sel berukuran 3x3 meter, mereka menghitung hari menuggu giliran dieksekusi. Tidak ada lagi mimpi bisa kembali ke Aceh.

Ibu Tarmizi, Rukaiyah, bercerita kepada Muhamad Riza dari VIVAnews, Kamis 26 Agustus 2010, bagaimana putranya bisa sampai ke Malaysia.

Rukaiyah tinggal di Cerucok Barat, Simpang Mamplam, Bireuen. Pada waktu konflik bersenjata, dan Aceh menjadi Daerah operasi Militer (DOM), banyak anak muda di pelosok itu pergi dari kampungnya. Mereka takut dituduh bagian dari Gerakan Aceh Merdeka.

Itu juga yang menjadi alasan Tarmizi. Dia takut menjadi bulan-bulanan aparat saat mencari gerilyawan di kampungnya, meski dia tak pernah terlibat. Dia memilih merantau ke negeri jiran.

Enam tahun di Malaysia, Tarmizi bekerja jadi tukang las. Suatu hari dia tidak sabar pulang ke kampungnya di Desa Cerucok Barat, Kecamatan Simpang Mamplam Bireun.

Tarmizi hendak mengawini Zubaidah. Ibunya sudah melamar dara itu. Enam gram emas telah disorongkan sebagai tanda. Tarmizi pun sudah bersiap pulang ke kampung. Paspor dan tiket sudah di tangannya. Dia menunggu hari keberangkatan saja.

Tapi naas, suatu hari di pertengahan 1996 itu, dia diminta oleh temannya Rabo, mengantarkan sebuah tas kepada seseorang di Chow Kit, Kuala Lumpur. Tarmizi menyanggupinya. Dia mengajak Bustamam Bin Bukhari. Sepeda motor mereka pun melaju. Tak disangka, mereka terjaring razia polisi Malaysia.

"Tas itu ternyata isinya ganja, si Mizi memang lugu sekali orangnya. SD pun tak tamat," ujar Rukaiyah. Cerita itu dia dapatkan dari seorang rekan Tarmizi, yang kembali dari Malaysia beberapa bulan setelah peristiwa itu.

Tarmizi menolak mengakui barang haram itu adalah miliknya. Tarmizi yang berbadan kekar itu pun bertengkar, dan berkelahi dengan polisi. Dia tak berkutik, setelah kakinya ditembus peluru.

Kabar penangkapan Tarmizi dan Bustamam itu sampai juga ke kampung halaman. Abang sulung Tarmizi, Muhammad, diutus menjenguknya di Malaysia.  "Sawah kami jual untuk menjenguk dia. Itu cuma cukup membiayai keberangkatan Muhammad, kami tidak sanggup membayar pengacara," ujar Rukaiyah.

Keluarga Tarmizi juga mendatangi Gubernur Aceh saat itu, Abdullah Puteh. Meminta dukungan. Puteh menjanjikan akan membantu mengirimkan uang ke sana. "Katanya dia tidak bisa bantu meringankan hukuman si Mizi, kami tidak tahu harus berbuat apalagi," ujar Rukaiyah menambahkan.

Dia terakhir menjenguk Tarmizi pada 2005. Setelah itu hartanya ludes. "Kami semua berharap pemerintah Indonesia, terutama Presiden mau membantu anak kami. Jangan sampai dia digantung," ujar Rukaiyah. Matanya basah.

Seratus rupiah untuk es krim

Kisah muram juga diceritakan Ainul Mardiah, 60 tahun. Dia tidak pernah tahu Bustamam, putra bungsunya, pergi mengadu nasib ke Malaysia.

Sejak kecil Bustamam telah menjadi yatim. Ainul janda miskin, dia tak sanggup membesarkan kedua putranya. Bustamam dan kakaknya, dititip ke adiknya di Desa Reumbaroh, di Kecamatan Samalanga, Bireun.

Sesekali, Bustamam pulang menjenguk ibunya. Yang diingat Ainul adalah pertemuan terakhir itu. "Dia minta uang seratus rupiah untuk beli es krim. Dia tak pernah bilang kalau mau ke Malaysia," kata Mardiah.

Setahun setelah itu, dia menerima kiriman paspor Bustamam yang telah kedaluarsa, lewat temannya yang baru kembali dari Malaysia. "Saya hanya bisa berdoa semoga dia berhasil di sana, dan bisa membantu saya dan abangnya," ujar Mardiah lirih.

Tapi tak ada kabar keberhasilan itu. Dia kaget ternyata Bustamam mendekam di penjara Kajang Malaysia. Si anak dikabarkan tersangkut kasus penjualan ganja di negeri jiran. "Saya tidak bisa berbuat apa-apa, setiap hari saya menangis memikirkan nasib dia. Apalagi orang semua bilang kalau dia mau digantung. Saya tidak punya uang menebus dia," kata Mardiah.

Ainul Mardiah kini hanya bisa menangis setiap kali membayangkan putranya akan berjalan ke tiang gantung. Hidup anaknya segera tamat, dan dia tak mampu menjenguknya.

Menuju Tiang Gantung Malaysia

Ratusan WNI terancam hukuman mati di Malaysia. Mereka bersalah, atau kurang pembelaan?

VIVAnews--MEREKA datang dari Serambi Mekah. Negeri elok di ujung barat Indonesia, Nanggroe Aceh Darussalam. Dipimpin pengacara senior daerah itu, Saifuddin Gani, rombongan ini berjumlah sembilan orang. Mei 2007 itu, mereka diutus Gubernur Irwandi Yusuf ke penjara Kajang, kota kecil di selatan Kualalumpur.

Penjara itu sungguh ketat. Rombongan ini harus melewati tiga pintu besi yang menjulang. Di pintu pertama mereka digeledah. Telpon genggam dan dompet disita. Disimpan sipir penjara di loker tamu. Benda yang boleh masuk cuma alat tulis, buku dan balpoin.

Lalu tibalah mereka di ruang berukuran 12x8 meter. Di sinilah pertemuan itu berlangsung. Para utusan itu bersua dengan para narapidana  yang berasal  dari Aceh. Jumlahnya 56 orang.

Duduk berbanjar mereka mengenakan seragam penjara. Baju putih, celana juga putih. "Tangan dan kaki mereka dirantai," kisah ketua tim kepada VIVAnews, Selasa,24 Agustus 2010.  Di kiri-kanan para narapidana itu berdiri tegak sipir penjara.

Semua narapidana itu meringkuk di situ lantaran kasus narkoba. Sudah sepuluh Ramadan menghuni kamar bui. Mereka dijatuhi hukuman mati. Harapan hidup cuma datang dari Jakarta. Tapi bertahun-tahun ditunggu, bantuan itu tak kunjung datang.

Itu sebabnya, dalam pertemuan di Kajang itu, para narapidana itu berkeluh kesah. Mereka mengaku sudah habis asa.  Sudah berpuluh surat dikirim ke Aceh, saat propinsi itu dipimpin Ibrahim Hasan dan Abdullah Puteh. Tapi tak berjawab. Mereka pasrah. Menunggu digiring ke tiang gantung.

Sampai akhirnya Aceh berganti pemimpin. Irwandi Yusuf naik ke pucuk. Gubernur baru ini --yang juga menerima surat permohonan bantuan para narapidana itu --langsung membentuk tim bantuan hukum. Tim itulah yang datang ke Kajang, Mei 2007 itu.

Sesudah pertemuan itu, empat kali tim ini bolak-balik ke Kajang. Pemerintah Aceh menyediakan dana Rp 300 juta untuk kasus ini. Tapi duit sejumlah itu cuma cukup membela lima orang. Dan juga "nasi sudah jadi bubur". Bantuan itu terlambat sudah. Tata cara perkara di negeri itu, kisah Saifuddin, mengharuskan semua pembuktian dilakukan ditingkat pengadilan negeri.

Lalu mengapa bantuan hukum itu baru datang ketika tiang gantung sudah ada di depan mata? Kedutaan Republik Indonesia di Kualalumpur sesungguhnya sudah sekuat tenaga membantu. Ketika kasus ini disidangkan di pengadilan negeri, mereka didampingi pengacara dari  kedutaan. Saat kasus ini masuk pengadilan tinggi, kedutaan mengirim pengacara bayaran. Dua-duanya kandas.

Sebenarnya, tugas tim Saifuddin hanya memberi laporan dan masukan kepada Gubernur Aceh, melalui kepala Biro Hukum dan Humas pemerintah Aceh. Tapi setelah laporan dan data diserahkan, tidak ada kabar beritanya lagi.

Irwandi tidak pernah memangil mereka lagi untuk membicarakan pembelaan terhadap para tahanan itu. Sejumlah kabar menyebutkan bahwa Irwandi -- yang mantan ahli strategi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu-- juga telah kehabisan asa.  Dan kisah tim 9 dari Aceh itu kemudian senyap di tengah jalan. "Komunikasi kami dengan Gubernur waktu itu kurang, malah tidak pernah bertemu dengan beliau membicarakan soal tahanan," kata Saifuddin.

345 Orang Menunggu Mati

Ini memang bukan lagi perkara Gubernur Aceh. Sebab mereka yang menunggu mati di negeri jiran itu, berjumlah ratusan dan datang dari hampir seluruh wilayah di negeri besar ini.

Tiga lembaga swadaya masyarakat - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), INFID, dan Migrant Care – melansir bahwa total jumlah warga Indonesia yang terancam hukuman mati 345 orang.

Bahkan, seperti yang dilansir kantor berita Antara, dalam suatu pertemuan di Surabaya 25 Maret 2010, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Da'i Bachtiar, mengungkapkan angka yang lebih besar lagi, yaitu sebanyak 354 orang.

Belakangan, Kementrian Luar Negeri Indonesia (Kemlu) "meralat" angka itu. Menurut Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, jumlah WNI yang terancam hukuman mati di Malaysia tidak sebesar yang dikabarkan. "Yang terancam hukuman mati 177 orang," kata Natalegawa kepada para wartawan di kantor Presiden Jakarta, Selasa 24 Agustus 2010.

Dari 177 orang itu, 142 orang dihukum mati karena kasus Narkoba dan 35 orang terlibat kasus Non-Narkoba. Namun 3 kasus telah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan federal dan dalam proses permohonan  pengampunan kepada badan pengampunan negara (State Pardon Board). Semua terpidana terlibat dalam kasus narkoba.

Tapi nyawa bukan urusan statistik. Berapa pun jumlahnya, bantuan diplomasi Jakarta sangat ditunggu, dan mungkin cuma itu satu-satunya jalan. Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI di Malaysia sudah melakukan segala cara. Pada tahun 2007-2010 telah berhasil mengupayakan pembebasan dari ancaman hukuman mati terhadap 21 terdakwa WNI, dengan rincian 15 kasus Narkoba dan 6 kasus Non-Narkoba.

Simpang-siurnya data itu membuat Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, menjadi gusar. Dia menyayangkan perdebatan penuntasan soal TKI atau WNI yang terancam hukuman mati di Malaysia cenderung menjadi perdebatan dan klarifikasi sekedar soal angka semata.

"Kami ingin menegaskan bahwa pemerintah sudah salah kaprah dengan mengkerdilkan persoalan TKI sebatas dengan angka-angka itu. Padahal masalah ini terkait persoalan HAM, kewajiban pelayanan negara dan pemenuhan hak warga negara," ujar Anis kepada VIVAnews.

Menurut Anis, kalau pemerintah terus disibukkan dengan klarifikasi data, dikhawatirkan pemerintah lalai tidak gerak cepat menyelamatkan 3 TKI itu. Karena proses pembebasannya tidak mudah. Oleh karena itu, jika tidak ditanggapi serius, saya kawatir akan berakhir dengan eksekusi mati," kata Anis.

Kekhawatiran Anis ini terkait pada data bahwa sejak akhir dekade 1980-an, sudah tiga warga Indonesia yang telah dieksekusi mati di Malaysia. Dua diantara mereka adalah Basri Masse dengan kasus narkoba, dan Marzuki Karno atas kasus pembunuhan.

Menurut Anis,  mayoritas kasus hukum yang membelit TKI di Malaysia adalah pembunuhan dan narkoba. "Dari pengalaman kita saat mendampingi mereka (TKI yang melakukan pmbunuhan), tindakan ini berlatar belakang buruknya sikap majikan, TKI tidak dapat haknya atau upah kerja," kata Anis.

Dia mengaku pernah dampingi seorang TKI yang empat bulan tidak diupah kerja sehingga dia nekat membunuh. Sehingga terjadi konflik antara TKI dan majikannya. Dan ini yang jarang dibahas: hal yang melatari pembunuhan terjadi. Yang terjadi malah fokusnya hanya pada tindak kriminal dan pembunuhannya saja. Tapi latar belakang dibalik itu sering dilupakan.

Mengenai kasus narkoba? Menurut Anis, mayoritas itu TKI dari Aceh. Karena yang namanya ganja itu sudah umum di Aceh menjadi penyedap masakan pakai ganja. "Ini mesti menjadi pertimbangan hukum serta harus didiskusikan secara antropologis," ujar Anis.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan atau Kontras Aceh, kembali mengangkat isu TKI Aceh yang akan digantung di Malaysia itu, pertengahan Agustus ini. Asiah Uzia, Wakil koordinator Kontras Aceh, menerima sepucuk surat dari Bustamam Bin Bukhari dan Tarmizi Bin Yakob yang ditujukan untuknya.

Isinya mengabarkan mereka telah mendapatkan putusan hukum tetap: digantung sampai mati (Baca juga: Mimpi Buruk di Negeri Ringgit) . Kini mereka telah dipindahkan ke Penjara Pokok Sena, Kedah, Malaysia. Surat yang ditulis Bustamam itu masih berisi harapan agar pemerintah mau melobi Kerajaan Malaysia untuk meringankan hukuman.

"Dengan beribu-ribu pengharapan dan mengharap simpati, kami meminta siapapun yang terlibat untuk dapat membuat lawatan dan pembuatan permohonan ampun kepada kerjaan Malaysia," tulis Bustamam.

Dari data yang dikumpulkan tim bentukan pemerintah Aceh, terdapat 262 orang Aceh yang tersangkut kasus hukum di Malaysia. 195 orang diantaranya diancam hukuman mati karena dadah. Hanya 36 diantaranya yang tak digantung, karena berat ganja yang dibawa tak cukup gram.

Mereka tersebar di dua tempat: Penjara Kajang dan Sungai Buloh. Bustamam Bin Bukhari dan Tarmizi Bin Yakob serta Parlan Bin Dadeh adalah tiga narapidana yang akan segera dihukum gantung.

Asiah mengatakan, para TKI yang terancam hukuman mati itu merupakan korban dari konflik Aceh yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah.  Kata Asiah, mereka melarikan diri dari Aceh untuk mencari penghidupan yang layak. Di Aceh mereka terkurung dalam konflik.

"Bagaimanapun negara punya tangungjawab untuk membantu meringankan hukuman mereka, mereka melakukan itu mungkin karena terdesak, karena tidak memiliki pekerjaan," katanya.

Menurut dia, upaya bantuan hukum yang diberikan pemerintah melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia tidak maksimal. Pasalnya banyak keluhan dari para tahanan bahwa pengacara yang ditunjuk tidak serius menangani kasus.

Karena tak puas, bahkan ada tahanan yang menyewa pengacara sendiri. "Mereka minta dikirimkan uang dari kampung untuk menyewa pengacara sendiri, kebanyakan mereka berhasil dan tidak sampai dihukum mati," ujar Asiah.

Diplomat "Merayulah"
       

Pemerintah, baik di tingkat pusat dan lokal, terus berupaya menyelamatkan warga yang terancam hukuman mati di Malaysia. Jurubicara Kementrian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengungkapkan bahwa  dalam tiga tahun terakhir sudah 21 WNI di Malaysia yang diringankan hukumannya, dari hukuman mati diubah ke hukuman lain (Baca wawancara Teuku Faizasyah: Kita Lagi Mencari Celah Pengampunan).

"Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur melakukan pengkajian dengan pengacara yang ditunjuk KBRI. Proses itu sedang dilakukan sekarang. Kita bukan ahli hukum, jadi perlu dibicarakan dengan ahli hukum di sana yang mengerti hukum Malaysia untuk mencari apakah celah-celah hukum itu ada," kata Faizasyah kepada VIVAnews.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, mengungkapkan bahwa ada atase tenaga kerja dari pejabat eselon dua di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur. Atase itu bertugas setiap saat memonitor, menindaklanjuti dan mencari solusi. "Bila ada masalah, perwakilan kita memberitahu anggota keluarga di kampung halaman, lalu mengawal keringanan dan pembebasan kalau bisa dilakukan," kata Muhaimin kepada VIVAnews.

Namun, menurut dia, mekanisme itu bisa berjalan dengan efektif dengan syarat para pekerja harus terdata, legal, dan dijamin asuransi. Dia mengakui, langkah itu sulit diterapkan bila ada warga yang masuk dan bekerja secara ilegal di Malaysia. "Siapapun tidak tahu pasti keberadaan jumlah, jenis, dan kasusnya," kata mantan Wakil Ketua DPR itu.

Menurut Faizasyah, setiap kasus hukum yang menimpa warga di Malaysia ada ciri khasnya. "Itu yang sedang dipelajari dengan tenaga pengacara setempat. Celah hukum apa yang bisa kita manfaatkan, celah hukum itu yang kemudian kita tampilkan dalam surat permohonan clemency (ampunan), grasi atau bentuk-bentuk lainnya," kata Faizasyah.

Upaya serupa juga dilakukan pemerintah di tingkat lokal. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf sebenarnya telah melakukan upaya merayu kerajaan Malaysia dalam sebuah lawatan di tahun 2008 lalu. Kala itu, Irwandi bertemu untuk urusan bisnis. Tapi sayang, upayanya kandas.

Pemerintah Malaysia tidak menghiraukan pembicaraan itu. Irwandi akhirnya lepas tangan. Tidak ada lagi upaya lanjutan untuk melakukan pembelaan terhadap para narapidana asal Aceh itu.

"Aceh ini kan bukan negara, jadi seharusnya memang presiden yang turun langsung membicarakan ini dengan pihak kerajaan, government to government," ujar Saifuddin Gani.

Menurut Saifuddin, pemerintah Thailand pernah melakukan upaya pembelaan terhadap warganya yang juga akan dihukum gantung di Malaysia. Mereka berhasil setelah kerjaaan Thailand bertemu langsung dengan raja Malaysia.

"Banyak orang-orang di sana yang menyarankan agar Indonesia mencoba melakukan hal yang sama, jadi memang membutuhkan pembicaraan langsung antar pemerintah," ujarnya.

Tunggu Mati di Selanggor

Bustamam,Tarmizi, dan Parlan Bin Dadeh kini telah terasing di penjara Pokok Sena, Selangor Malaysia. Mereka ditempatkan dalam bangsal yang terpisah-pisah. Dalam ruang jeruji berukuran 3x3 meter, mereka menghitung hari menuggu giliran dieksekusi. Tidak ada lagi mimpi bisa kembali ke Aceh.

Di hari-hari suram itu, di tengah bayangan tiang gantungan, mereka tak kan pernah berhenti berharap pada apa saja yang meringankan hukuman mereka. Termasuk "rayuan" istana ke negeri serumpun itu.

Laporan Muhammad Riza (Aceh) | Iwan Kurniawan (Jakarta)

Cemari Laut Madura, Kapal Malaysia Harus Bertanggung Jawab

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pengamat perminyakan, Pri Agung Rakhmanto, menyatakan jika memang terjadi pencemaran minyak akibat meledaknya kapal tanker Malaysia yang mengangkut minyak mentah dari PT KEI, maka pemilik kapal harus bertanggung jawab atas pencemaran tersebut.

Karena, lanjut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute ini, minyak sudah berada di dalam kapal. ''Yang punya kapal yang tanggung jawab,'' kata dia. Kejadian serupa kata dia terjadi pada Exxon Valdez Oil Spill di Alaska pada 1989.

Menurut Pri, tidak kurang 4,4 miliar dolar AS harus dikeluarkan Exxon sebagai pemilik tanker waktu itu untuk kompensasi kerugian penduduk yang terdampak, biota dan ekosistem laut yang rusak, dll. ''Termasuk pemulihannya dalam waktu tidak kurang tiga tahun sesudahnya,'' kata dia.

Sementara itu Sesditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Bobby R Mamahit, menyatakan berdasarkan laporan terakhir yang diterimanya, tidak ada pencemaran laut dari meledaknya kapal tangker tersebut. ''Laporan terakhir dari Kakanpel Sapeken saat ini sudah di pasang Oil Boom untuk melokalisir jika terjadi tumpahan minyak, jadi di sekeliling kapal sudah dipasang Oil Boom,'' katanya kepada Republika, Ahad (29/8).

Selain itu kata Bobby Laporan dari Posko Kangean menyebutkan hal senada bahwa di sekelilig kapal sudah terpasang Oil Boom. Alat ini merupakan karet panjang, terapung di permukaan laut sehingga tumpahan jadi terlokalisir. Setelah itu minyak disedot menggunakan oil schemer. ''Tidak ada pencemaran, ini laporan dari Posko di Kangean Energi Indonesia Limited,'' kata Bobby.

Petugas dari perhubungan laut sendiri kata Bobby sudah ada yang ditugaskan ke sana untuk mengawasi dan menyelidiki insiden tersebut. ''Kita kirim dua orang pejabat eselon tiga, sekarang sudah di Denpasar dan baru besok pagi ke lokasi, karena butuh sekitar 45 menit menggunakan copper dari Denpasar, itupun jika cuaca bagus,'' kata dia.

Bobby mengungkapkan, ledakan terjadi di tangki 5 wing kiri. ''jam 8 meledak diatasi jam 11, ledakan ini mengakibatkan air masuk sebagian melalui tangki kiri dan mengakibatkan kapal miring 15 derajat,'' kata dia. Laporan terakhir ABK kapal sudah kembali ke kapal untuk menegakkan kapal kembali. ''Pencemaran enggak ada, karena tangkinya kosong waktu meledak,'' kata dia.

TKI Usiran Malaysia ke Tanjungpinang 220.013 Orang

TKI Usiran Malaysia ke Tanjungpinang 220.013 Orang

Tanjungpinang (ANTARA) - Kantor Imigrasi Tanjungpinang, Kepulauan Riau mencatat jumlah TKI/WNI bermasalah yang diusir Malaysia dari tahun 2003 sampai 24 Agustus 2010 melalui Kota Tanjungpinang mencapai sebanyak 220.013 orang.

"Jumlah tersebut sudah termasuk anak-anak yang diperkirakan mencapai 2.500 sampai 3.000 orang," kata Kepala Kantor Imigrasi Kota Tanjungpinang, Surya Pranata di Tanjungpinang, Jumat.

Surya mengatakan, mereka yang diusir Malaysia pada umumnya tidak memiliki dokumen resmi sebagai tenaga kerja, sehingga ditangkap polisi dan imigrasi Malaysia.

Umumnya TKI/WNI bermasalah yang dideportasi Malaysia tidak menggunakan dokumen resmi sebagai pencari pekerja, sebagian menggunakan paspor pelancong dan ada jugayang masuk secara ilegal.

Sebelum dideportasi, mereka bisa dipastikan sudah menjalani hukuman penjara satu sampai empat bulan atau minimal tahanan imigrasi Malaysia selama satu bulan.

Sebagian besar juga mengalami hukuman "sebat" (cambuk) satu hingga empat kali berdasarkan keputusan "mahkamah" (pengadilan).

"Di Tanjungpinang, mereka di tampung sementara sebelum dipulangkan ke daerah asal masing-masing di penampungan TKI/WNI bermasalah di Tanjungpinang," ujar Surya.

Pada hari Kamis (26/8), menurut Surya, Malaysia juga mengusir sebanyak 283 orang TKI/WNI bermasalah yang terdiri dari laki-laki sebanyak 210 orang, perempuan 73 orang dan ditambah dengan anak-anak sebanyak tujuh orang dari Pasir Gudang, Malaysia menuju Tanjungpinang.

"Mereka diusir dua tahap pada Kamis (26/8), pertama pada pukul 12.30 WIB dan yang kedua pada 18.30 WIB," ujarnya.

Surya mengatakan, setiap bulan Puasa terjadi peningkatan TKI/WNI yang diusir oleh Malaysia melalui Tanjungpinang.

"Kami tidak tahu mengapa, namun yang jelas ada peningkatan TKI/WNI bermasalah yang diusir Malaysia setiap bulan Puasa," katanya.

Selama Puasa dari tanggal 13 sampai 26 Agustus 2010, Malaysia telah mengusir TKI/WNI bermasalah sebanyak 1.062 orang yang terdiri dari laki-laki sebanyak 694 orang, perempuan sebanyak 368 orang dan ditambah anak-anak sebanyak 28 orang.

Kabinet SBY Dinilai Lumpuh Kepekaan

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Dewan Direktur Sabang-Merauke Circle (SMC) Syahganda Nainggolan menilai kabinet pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengalami lumpuh kepekaan dalam menghadapi persoalan terkait kesejahteraan rakyat, kemartabatan bangsa, serta kedaulatan negara.

"Berbagai kasus yang dihadapi rakyat maupun bangsa, di antaranya kesulitan hidup ataupun ketidakberdayaan ekonomi, keresahan dan konflik sosial, penderitaan anak bangsa di luar negeri, termasuk adanya pelecehan kedaulatan hukum wilayah negara Indonesia, bukan saja lamban untuk diatasi, namun juga cenderung tidak mampu menyelesaikannya," ujar Syahganda di Jakarta, Kamis (26/8/2010), menanggapi banyaknya agenda penyelamatan bangsa, negara, dan rakyat yang lamban dikelola para menteri.

"Jadi, sejauh ini memang ada semacam lumpuh kepekaan pada Kabinet SBY terhadap berbagai permasalahan strategis dan utama bangsa, bahkan jika ini terus terjadi pemerintahan SBY akan gagal menangani soal-soal yang serius dan penting di tengah masyarakat luas, yang hingga kini masih kelihatan sulit terselesaikan," jelas Syahganda.

Menurutnya, lumpuh kepekaan pada kabinet SBY utamanya tampak jelas pada kinerja Menteri Luar Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Perdagangan, Menteri Agama, serta Menteri Pertanian.

"Para menteri kabinet SBY tersebut kinerjanya lemah, tidak produktif, dan tidak peka alias lumpuh kepekaannya berhadapan dengan masalah rakyat maupun bangsa, apalagi untuk Menakertrans dan Menlu, yang ternyata tidak berhasil mengatasi problem TKI dengan pihak luar negeri di samping ketidakberdayaan negara kita terhadap Malaysia," ujarnya.

Perang Konsultan Politik 2010

 LSI Denny JA vs Fox Indonesia, 5:0

 

 Pemilukada yang digelar marak di sejumlah daerah ternyata bukan hanya ajang pertarungan para kandidat bupati, walikota dan gubernur, tapi juga  ajang pertarungan reputasi dan kredibilitas para konsultan politik yang berada dibelakangnya. Mereka bertarung berhadapan dalam adu kuat strategi dan adu kuat akurasi, khususnya dalam membaca  peta dukungan melalui  survei.

 

Demikian kesimpulan yang mengemuka dalam Political Review tentang Peran Konsultan Politik di Pemilukada 2010 yang diadakan di Jakarta, Jum'at (27/8). Salah seorang pelaku konsultan politik dari Konsultan Citra Indonesia (KCI), Barkah Pattimahu, mengakui bahwa di era reformasi sekarang ini Pemilukada di sejumlah daerah tak saja diramaikan oleh pertarungan kandidat tapi juga pertarungan antar konsultan politiknya.

 

Menurut Barkah, fenomena ini tak terhindarkan sebagai konsekuensi dari demokrasi yang meniscayakan keterlibatan banyak pihak dalam ikut serta menentukan bulat lonjongnya negeri ini, tak terkecuali peran konsultan politik yang ada dibelakang para kandidat. Karena itu, setiap konsultan dituntut dan ditantang untuk memberikan kontribusi terbaiknya dengan segala taruhan reputasi dan kredibilitasnya jika salah prediksi dan salah rancang strategi.

 

"Ini memang harga yang harus dibayar oleh sebuah kerjaan profesional. Taruhannya sudah jelas reputasi dan kredibilitas institusi. Makanya, setiap konsultan jangan coba-coba bermain-main dengan angka dan data. Sebab, itu yang akan menjadi panduan bekerja, khususnya dalam menentukan strategi. Sekali kita buat data salah, maka strateginya pun bisa sesat," kata Barkah.

 

Dalam pengamatannya selama ini, memang baru dua lembaga konsultan politik yang besar dan diperhitungkan, yakni Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pimpinan Denny JA dan Fox Indonesia pimpinan Choel Malarangeng. Sementara, lembaga konsultan lainnya seperti Polmark pimpinan Eep Saefullah Fatah dan termasuk KCI yang dipimpinnya, menurut Barkah, masih tergolong baru.

 

Karena itu, lanjut Barkah, sangat wajar dalam pemilukada di sejumlah daerah selalu diwarnai oleh pertarungan seru dua lembaga konsultan tersebut, yakni LSI Denny versus Fox Indonesia. Namun, sejauh yang diketahuinya, tepatnya selama tahun 2010 ini, Barkah mengakui LSI Denny lebih unggul dibanding Fox baik dalam rekor pemenangan maupun dalam rekor akurasi hasil survei.

 

Barkah mencontohkan, dalam beberapa ajang pertarungan di pilkada, LSI Denny berhasil mengalahkan kandidat yang dibantu Fox Indonesia. Dari catatan dia, LSI Denny unggul dengan skor 5:0 atas Fox Indonesia.

 

Rekor LSI Denny dalam tahun 2010 itu dimulai sejak ia berhadapan dengan Fox Indonesia di arena kongres partai Demokrat yang memilih calon ketua umum. LSI Denny membantu calon ketua umum partai Demokrat, Anas Urbaningrum  mengalahkan Andi Malarangeng yang dibantu Fox Indonesia.

Saat itu, LSI Denny membantu Anas yang sempat tak terlalu diperhitungkan pada awal-awalnya. Dan Fox Indonesia dengan segala manuver dan "serangan udaranya" lewat berbagai iklan televisi yang sangat gencar membantu Andi Malarangeng yang nota bene kakak kandung Choel Malarangeng.

Namun, Fox Indonesia rupanya harus puas menerima kekalahan Andi Malarangeng walaupun saat ini ia didukung terang-terangan oleh Edi Baskoro yang juga putra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan bahkan sejumlah menteri kabinet Indonesia Bersatu. Dan Anas pun terpilih dengan strategi jitu yang berhasil membangun image simpatik sebagai representasi sosok SBY yang jujur, santun dan tenang.

 

Kedua, strategi gencar serangan udara ala Fox juga berhasil ditumbangkan LSI Denny pada pertarungan Pemilukada di Kalimantan Selatan. LSI Denny yang membantu cagub Rudi Arifin dari Golkar berhasil mengalahkan Zairullah Azhar yang didukung partai Demokrat dan dibantu Fox.    

 

Ketiga, kabar terbaru kemenangan LSI Denny atas Fox Indonesia terjadi di pemilukada kabupaten Sumbawa, NTB pada 19 Agustus lalu. Berdasarkan hasil pleno KPUD Sumbawa, pasangan Jamaluddin Malik-Arasy Muhkan yang dibantu LSI Denny unggul dengan suara 50,56% dan mengalahkan pasangan Muhammad Amin-Nurdin Manggabarani (Annur) yang dibantu Fox Indonesia.

Kasus yang cukup fatal dalam pemilukada Sumbawa ini, hasil quick count LSI Syaiful yang disewa Fox Indonesia ternyata sebaliknya dari hasil KPUD. Yaitu, pasangan Annur yang menang dengan 50,04%. Sementara, LSI Denny dengan simpangan mutlak 0,86%, tepatnya 51,42%. Artinya tak jauh beda dengan hasil KPUD.

 

Keempat, pertarungan akurasi juga terjadi di pemilukada Bengkulu, dimana prediksi Fox Indonesia yang diiklankan di beberapa koran ternyata  meleset jauh dari hasil pleno KPUD. Waktu itu, Fox memprediksi Agusrin unggul diatas 40% dan LSI Denny memprediksi unggul diatas 30%. Dan hasilnya ternyata LSI Denny lebih akurat karena sesuai dengan hasil KPUD.

 

Kelima, kasus serupa terjadi di pemilukada Sulawesi Utara, dimana Fox Indonesia memprediksi Sinyo Harry Sarundajang (SHS)  unggul diatas 40%. Sementara, LSI Denny memprediksi SHS unggul diatas 30%. Dan yang ternyata akurat kembali adalah prediksi LSI Denny karena sesuai dengan pengumuman hasil pleno KPUD Sulut, yakni 32,02%, tak jauh beda dengan  hasil quick count LSI Denny, yaitu 32,89%.***

Ical: Meluapnya Lumpur karena Bencana Alam

Jum'at, 27 Agustus 2010

KEDIRI - Aburizal Bakrie, ketua umum Partai Golkar, menggelar safari politik ke sejumlah pondok pesantren di Jatim. Selain mengail dukungan politik, sosok yang pernah disebut sebagai orang terkaya di Indonesia itu "membersihkan" namanya dan keluarga Bakrie dari kasus lumpur Sidoarjo. Lumpur Sidoarjo itu kini populer dengan nama lumpur Lapindo

Saat mampir di Ponpes Lirboyo, Kediri, kemarin, di hadapan santri dia mengatakan bahwa meluapnya lumpur tersebut bukan karena kesalahan perusahaan. Itu karena bencana alam.

Dia dan keluarga juga bukan pemilik PT Lapindo. Bahkan, mereka tak masuk dalam jajaran direksi atau komisaris. "Saham keluarga saya hanya 20 persen," katanya kepada santri seusai salat Duhur di masjid lama. Salat itu diimami pengasuh utama Ponpes Lirboyo KH Idris Marzuki. Hadir pula sejumlah pengasuh yang lain.

Dengan alasan itulah, Ical mengaku sempat mengusulkan agar perusahaan tersebut ditutup begitu kasus lumpur terjadi. Hanya, rencana itu diurungkan. Sebab, jika perusahaan ditutup, justru itu tidak akan menyelesaikan masalah. "Apalagi, saya melihat banyak korbannya adalah rakyat kecil," lanjutnya.

Dalam kesempatan itu, Ical sekaligus meluruskan masalah ganti rugi terhadap korban lumpur. Dia mengungkapkan, tak benar bahwa Lapindo memberikan kompensasi yang tak layak kepada para korban. Lapindo sudah membeli tanah warga dengan harga 20 kali lipat dari nilai jual objek pajak (NJOP). Syaratnya, tanah itu benar-benar bersertifikat.

Syarat inilah yang kemudian membuat sejumlah warga yang tak memiliki sertifikat mundur. "90 persen orang yang mengaku-aku menjadi korban sudah mundur," terangnya. Ical menyebut, secara pribadi dirinya sudah mengeluarkan Rp 8 triliun untuk ganti rugi dan penanganan lumpur.

Ical datang ke Lirboyo sekitar pukul 13.00 bersama Titiek Soeharto. Selesai salat Duhur berjamaah, mereka berziarah ke makam para pendiri Ponpes Lirboyo. Mereka juga menyerahkan beasiswa dan bahan makanan pokok untuk santri.

Ditanya tentang Pilpres 2014, Ical menyatakan bahwa Partai Golkar siap berkompetisi dengan partai lain. Bahkan, konsolidasi internal untuk menyambut pergantian kepemimpinan RI itu sudah matang. "Di daerah (konsolidasi) kita sudah sampai ke tingkat desa," ujarnya.

Saat ini tinggal beberapa daerah yang belum selesai. Karena itu, dia optimistis akhir tahun konsolidasi rampung. Apakah termasuk menentukan calon yang diusung pada 2014? Ical tak menyebut pasti. "2014 kan masih empat tahun lagi. Yang jelas, partai sudah siap. Kita tunggu saja," tandasnya.

Soal namanya yang mulai santer disebut sebagai kandidat, Ical hanya tersenyum. Secara diplomatis dia menjawab, "2014 saya akan menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa."

Setelah dari Lirboyo, Ical berkunjung ke Ponpes Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Burengan, Pesantren. Kendati demikian, dia membantah kegiatan tersebut merupakan bentuk penggalangan dukungan menghadapi pemilihan presiden (pilpres) 2014. "Masih lama. Untuk apa saya kampanye sekarang," ungkapnya.

Kata dia, pesantren sengaja dipilih dalam rangkaian safari Ramadan semata-mata untuk mendengarkan suara rakyat. Terlebih, Jawa Timur dikenal sebagai daerah santri. Tentang keikutsertaan Titiek Soeharto, Ical mengatakan bahwa putri mantan Presiden Soeharto tersebut merupakan keluarga besar Partai Golkar. (fa/ndr/hid/c2)

Akankah pak BY dan RI nurut?

VIVAnews - Gelombang demonstrasi anti Malaysia yang semakin marak terjadi di Indonesia, menimbulkan pemberitaan media yang beragam. Menteri Luar Negeri Malaysia, Anifah Aman, mengaku merasa gerah dengan pemberitaan media Indonesia yang dinilainya berlebihan.

Anifah menyerukan media massa di Indonesia agar tidak menambah panas situasi dengan membuat pemberitaan yang over-sensasional. Anifah mengatakan bahwa media Indonesia haruslah berpegang pada fakta dalam pemberitaannya.

"Jangan memberikan gambaran tidak akurat di mana warga Indonesia disiksa dan dibunuh disini," ujarnya seperti dilansir dari laman harian The Star. Anifah juga menyesalkan tidak adanya pemberitaan media mengenai adanya masyarakat di Indonesia yang menentang pembakaran bendera dan pelemparan tinja di depan Kedubes Malaysia di Jakarta awal pekan ini.

"Saya ingin melihatnya, karena dengan begitu saya akan menaruh hormat kepada media di Jakarta," tegasnya. Protes serupa juga dilayangkan oleh ketua Pemuda Barisan Nasional, Khairy Jamaluddin.

Pada akun twitternya, dia menyalahkan media indonesia yang dinilainya memanas-manasi sentimen anti Malaysia "Anda tidak akan melihatnya disini," ujarnya.

Dia mendesak pemerintah Malaysia untuk memanggil duta besarnya di Jakarta jika tidak ada jaminan keselamatan bagi kedutaan besar Malaysia di Jakarta. Mereka juga menuntut pemerintah Indonesia untuk menyelidiki kelompok Bendera yang dinilainya sebagai penyulut konflik.

Malaysia Ingatkan Pers Indonesia untuk Tidak Membuat Sensasi

http://us.detiknews.com/read/2010/08/27/095327/1429124/10/malaysia-ingatkan-pers-indonesia-untuk-tidak-membuat-sensasi?991101605

Jumat, 27/08/2010 09:53 WIB
Malaysia Ingatkan Pers Indonesia untuk Tidak Membuat Sensasi
Rita Uli Hutapea - detikNews

Kuala Lumpur - Pemerintah Malaysia telah mendesak pemerintah Indonesia untuk menindak tegas para demonstran yang melemparkan tinja ke Kedubes Malaysia di Jakarta. Kini pemerintah Malaysia juga mengingatkan media Indonesia terkait aksi anti-Malaysia yang marak belakangan.

Menteri Luar Negeri (Menlu) Malaysia Datuk Seri Anifah Aman mengatakan, media khususnya pers Indonesia seharusnya tidak terlalu membuat sensasi isu tersebut. Melainkan harus melaporkan sesuai fakta.

"Jangan memberikan gambaran tidak akurat di mana warga Indonesia disiksa dan dibunuh di sini," cetus Anifah seperti dilansir harian Malaysia, The Star, Jumat (27/8/2010).

"Dan saya belum membaca satu berita pun dari Indonesia tentang orang-orang yang mengutuk aksi pembakaran dan pelemparan tinja ke bendera Malaysia," tutur Anifah.

"Saya ingin melihat itu karena hanya dengan begitu saya akan memiliki respek pada media di Jakarta," imbuhnya.

Anifah juga kembali menekankan agar otoritas Indonesia menindak para demonstran yang berulah.

"Meskipun kami tidak akan memberitahu apa yang harus dilakukan Indonesia, kami yakin tindakan harus diambil terhadap mereka yang melakukan pelanggaran dan otoritas di sana harus bertindak untuk mencegah aksi kotor lainnya terulang," tegas Anifah.

Pada 23 Agustus lalu, sekelompok demonstran yang menamakan diri Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) melakukan aksi pelemparan tinja ke Kedubes Malaysia. Aksi tersebut sontak menuai kemarahan pemerintah dan publik Malaysia.
(ita/nrl)

Busyro dan Bambang Lolos Seleksi Calon Ketua KPK

[27 Aug 2010 12:43]

Panitia Seleksi akhirnya mengerucutkan calon ketua KPK. Dari tujuh calon yang ikut tes wawancara, pansel akhirnya memilih dua nama yang diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kedua calon itu adalah Busyro Muqodas dan Bambang Widjojanto. Kedua calon terpilih pun akan mengikuti uji kepatutan dan kelayakan di DPR RI. 

Selengkapnya:
http://www.tvone.co.id/arsip/view/43174/2010/08/27/busyro_dan_bambang_lolos_seleksi_calon_ketua_kpk

Malaysia Bantah Tuding PDIP

[27 Aug 2010 13:06]

Pemerintah Malaysia bantah menuding Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mendalangi aksi demonstrasi kelompok Bendera di Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Pada Senin (23/8) lalu, Bendera berdemo dengan melemparkan kotoran manusia. Namun, Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Seri Hanifah Amman mengatakan, pemerintahnya tidak pernah menuding hal itu, meskipun diketahui umum, pusat gerakan Bendera dikukuhkan oleh pejabat suatu partai di Indonesia.

Selengkapnya:
http://www.tvone.co.id/arsip/view/43168/2010/08/27/malaysia_bantah_tuding_pdip

“Kami telah sampai pada suatu titik di luar batas kesabaran kami “ - Anifah Aman, Menteri Luar Negeri Malaysia

Kalimat itu diucapkannya dalam konferensi pers setelah memanggil Duta Besar Indonesia menghadap beliau kemarin (25/8).

 

Singkat, bernas, tajam.  Anifah Aman dengan telak menonjok wajah barisan diplomat Indonesia.

 

Anifah Aman tidak memiliki latar belakang sebagai diplomat. Dia politisi biasa yang kerap gonta-ganti posisi dalam kabinet. Jabatan sebelumnya adalah Wakil Menteri Transportasi.

 

Tetapi kepiawaiannya menangani isu hubungan bilateral Indonesia-Malaysia, jelas di atas Menteri Luar Negeri kita yang bergelar doktor dan sering berpidato di forum-forum ilmiah internasional.

 

Anda tidak memerlukan seorang doktor untuk menjadi menteri luar negeri yang sukses.

 

Dulu kita punya Ruslan Abdulgani dan Adam Malik yang menjadi menteri luar negeri berbekal bondo nekat saja.

 

Nyatanya mereka terhitung menteri paling sukses di jamannya. Cak Ruslan adalah Sekjen Konferensi Asia-Afrika pertama, dan Adam Malik dikenal sebagai bidan lahirnya ASEAN.

 

Mari kita simak lagi pernyataan pers Anifah Aman kemarin :

 

"Mereka punya masalah domestik sendiri di Indonesia. Tapi jangan jadikan warga Malaysia sebagai korban".

 

Intinya, Anifah Aman menyindir kondisi domestik Indonesia yang kacau-balau, demonstrasi yang bisa dibayar, dan kelihatannya ada yang pihak yang memanas-manasi hubungan Indonesia-Malaysia untuk meraih keuntungan politik tertentu.

 

Anifah berkata lagi : "Kami akan memantau situasi. Kalau perlu kami akan mengeluarkan travel advisory".

 

Yang terakhir ini adalah penyataan berani dan serius.

 

Jika pemerintah suatu negara berniat mengeluarkan travel advisory kepada negara X, itu berarti pemerintah bersangkutan menganggap negara X sebagai negara yang tidak aman.

 

Dalam hubungan diplomatik, travel warning dan travel advisory juga kadang-kadang dianggap merendahkan harkat negara yang menjadi sasaran.

 

Indonesia misalnya, beberapa kali murka ketika Australia mengeluarkan travel warning bagi warganya agar menunda kunjungan ke Indonesia hanya gara-gara informasi intelijen yang sumir tentang ancaman serangan teroris.

 

Jujur saja, saya kagum dengan keberanian dan keterampilan Anifah Aman mengolah isu Tanjung Berakit ini, dengan lincahnya membalik arah angin opini internasional memihak kepada Malaysia.

 

Di lain pihak, saya menaruh simpati kepada Menteri Doktor Marty Natalegawa yang kemarin menjadi bulan-bulanan empuk di DPR lantaran dianggap tidak piawai menangani isu terkait.

 

Saya akan coba cek berapa gaji bulanan Menteri Anifah Aman.

 

Kalau tak terlalu tinggi, saya bisa usulkan agar kita menyewa saja Anifah Aman untuk menjadi menteri luar negeri kita.

Malaysia Menolak Meminta Maaf pada Indonesia

Metrotvnews.com, Jakarta: Pemerintah Malaysia bergeming. Meskipun ada tuntutan keras dari berbagai kalangan di Indonesia agar meminta maaf, Malaysia menolak meminta maaf kepada Indonesia dalam insiden penangkapan tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan pada 13 Agustus lalu. Alasannya, Malaysia yakin peristiwa tersebut terjadi di perairan Malaysia. 

Malaysia pun tidak akan menuntut permintaan maaf dari pemerintah Indonesia terkait demonstrasi pembakaran bendera dan pelemparan tinja di depan Kedutaan Besar Malaysia di Jalan Rasuna Said, Jakarta. Hal ini dikatakan Menteri Luar Negeri Malaysia, Anifah Aman, terkait tuntutan permintaan maaf dari beberapa kalangan di Indonesia.

Dalam sebuah pernyataan di media massa Malaysia, Anifah menegaskan bahwa penangkapan ketiga petugas maritim Indonesia itu terjadi di wilayahnya. Karena itu, Anifah yakin polisi air Malaysia telah bertindak sesuai hukum ketika melakukan penangkapan di perairan Tanjung Berakir pada 13 Agustus lalu.

Anifah menegaskan, Malaysia ingin Indonesia menindak massa Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera). Massa Bendera dinilai telah melecehkan lambang negara dengan membakar dan menginjak-injaknya serta melemparkan tinja saat berdemonstrasi di depan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, 23 Agustus 2010.

"Atas perilaku tidak layak yang dilakukan atas Malaysia, kami yakin tindakan itu tidak atas persetujuan pemerintah Indonesia. Lain halnya jika Jakarta mendukung kelompok ini (Bendera), kami akan meminta penjelasan, tapi bukan itu kasusnya," ujar Anifah seperti dikutip dari laman The New Straits Times, 27 Agustus 2010.

Anifah mengatakan, Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Najib Razak beserta seluruh kabinetnya yakin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menangani hal ini. "Pemerintah Indonesia harus mengambil tindakan atas kelompok ini," ujar Anifah.

Mengenai imbauan perihal bepergian (travel advisory) ke Indonesia, Anifah menegaskan, dia tidak akan segan-segan mengeluarkannya jika warga Malaysia terancam di Indonesia. "Adalah kewajiban saya untuk memberitahukan kepada warga Malaysia mengenai insiden yang dapat membahayakan mereka," kata Anifah.(AP/Ant/DOR)

 Sumber:

http://www.metrotvnews.com/index.php/metromain/news/2010/08/27/27273/Malaysia-Menolak-Meminta-Maaf-pada-Indonesia

Malaysia Melawan

INILAH.COM, Putrajaya - Malaysia yang selama ini mengalah, untuk tidak
mengatakan takut, kini memperlihatkan sikap malawan kepada Indonesia.

Perlawanan negara tetangga itu ditunjukkan oleh pernyataan Menlu
Malaysia Datuk Seri Anifah Aman dalam jumpa pers kemarin.
Coba perhatikan kalimatnya, "Indonesia harus melakukan sesuatu guna
memastikan unjuk rasa bisa dikendalikan, sebelum Malaysia kehilangan
kesabaran."

Dalam dunia diplomasi, pernyataan itu amat keras. Dan, dalam konteks
Malaysia, itu pernyataan keras yang mungkin kali pertama yang
ditujukan ke Indonesia dalam sejarah panjang hubungan bertetangga
kedua negara.

Atau bisa dikatakan itu adalah pernyataan melawan Malaysia sejak
konfrontasi kedua negara di jaman orde lama.
Tidak hanya mengeluarkan pernyataan keras, kemarin, Menlu Datuk Anifah
malah memanggil Deputi Misi Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur Tatang B
Razak ke Wisma Putra.

Dalam pertemuan itu, Menlu Malaysia mengecam provokasi dan segala
macam cemoohan terhadap negaranya. "Unjuk rasa ini (pelemparan kotoran
ke kantor kedutaan Malaysia di Jakarta) merupakan tindakan tidak
terhormat yang melukai Malaysia. Tindakan tersebut seakan menantang
kedaulatan kami," ungkapnya seperti dikutip NST.com.

Simak baik-baik diksi yang dipakai: hilang kesabaran dan menantang
kedaulatan kami.
Datuk Anifah juga meminta pemerintah RI memastikan keselamatan dan
keamanan warganya.

"Sebab jika perlu, kami akan mengeluarkan travel advisory. Saya akan
mengimbau warga Malaysia tidak bepergian ke Indonesia, kecuali untuk
urusan yang benar-benar penting," lanjutnya.
Apakah yang membuat Malaysia berani melakukan teguran keras itu? Salah
satu diantaranya karena Jakarta terlalu peragu untuk mengambil
tindakan.[ram]

Malaysia Minta Kelompok Bendera Dihukum

Kabar Nasional
Malaysia Minta Kelompok Bendera Dihukum
[27 Aug 2010 12:46]

Menlu Malaysia Anifah Aman mendesak pemerintah Indonesia agar menindak
tegas tindakan kelompok Bendera. Bendera telah membakar bendera
Malaysia dan juga melemparkan kotoran manusia ke dalam halaman
kedutaan Malaysia di Jakarta.

Selengkapnya:
http://www.tvone.co.id/berita/view/43166/2010/08/27/malaysia_minta_kelompok_bendera_dihukum

KPK Kecewa Koruptor Diberi Remisi - KOMPAS.com

KOMPAS.com

http://www.sripoku.com/foto/berita/2009/2/25/25-2-2009-nasgedung%20kpk.jpg

Jakarta, kompas - Komisi Pemberantasan Korupsi menegaskan, mereka tidak terlibat dalam pemberian remisi kepada narapidana koruptor. Bahkan, lembaga itu tidak menyetujui pemberian remisi kepada koruptor karena dinilai melemahkan semangat pemberantasan korupsi.

”Kami tidak pernah diajak koordinasi soal pemberian remisi. Pak Haryono Umar sudah menegaskan hal itu, KPK tidak tahu,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Selasa (24/8).

Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto mengatakan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia hanya bertanya kepada KPK soal uang pengganti denda dari para narapidana koruptor yang dulu ditangani KPK, apakah sudah dibayar atau belum. ”Waktu itu yang diundang Direktur Penuntutan,” katanya.

Bibit menegaskan, KPK tidak mempersoalkan masalah koordinasi ini karena hal itu sepenuhnya wewenang pemerintah. ”Tetapi, semangat antikorupsi di antara penegak hukum belum sama,” ujarnya.

Menurut Bibit, dari sisi aturan, pemberian remisi memang sah-sah saja. ”Hanya masalahnya terletak dari niat kita dalam memberantas korupsi, serius apa tidak?” kata Bibit.

Ia menambahkan, untuk apa KPK dibentuk kalau sudah dengan susah payah menangkap koruptor, kemudian hukuman mereka dikurangi berkali-kali.

Kemarin, seusai mengikuti sidang uji materi Undang-Undang Kejaksaan di Mahkamah Konstitusi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar mengaku sudah mengomunikasikan soal pembebasan bersyarat para narapidana korupsi kepada KPK.

”Sudah saya jelaskan, kami punya dokumen, khusus untuk pembebasan bersyarat itu, KPK sudah diwakilkan,” katanya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasril Jamil, di sela-sela rapat paripurna di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin, mengatakan, koruptor seharusnya diberi efek jera dengan tidak diberikan remisi.

Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Demokrat Jafar Hafsah menegaskan, pemberian grasi kepada mantan Bupati Kutai Kartanegara A Syaukani dan pemberian remisi kepada mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (aik/ana/nta)

Presiden Tak Satu Kata dan Perbuatan - KOMPAS.com

KOMPAS.com


JAKARTA, KOMPAS.com- Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, pemberian grasi dan pengurangan masa hukuman yang "dihadiahkan" pemerintah kepada para koruptor tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Langkah itu juga dianggap tak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi yang selalu didengungkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Presiden selalu menyatakan memimpin sendiri pemberantasan korupsi, tapi pemberian grasi dan remisi bagi koruptor menciderai rasa keadilan.
-- Din Syamsuddin

"Masyarakat ikut gencar memberantas korupsi. Tetapi pemberian grasi oleh Presiden dan remisi oleh pemerintah menunjukkan pemerintah tidak serius dalam pemberantasan korupsi. Ini kontraproduktif," kata Din di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (26/8/2010).

Karenanya, menurut Din, upaya pemberantasan korupsi hanya sekedar basa-basi dan tidak memberikan efek jera. Din menilai, Presiden tak konsisten dengan ucapannya alias tak satu kata dengan perbuatan. "Presiden selalu menyatakan memimpin sendiri pemberantasan korupsi, tapi pemberian grasi dan remisi bagi koruptor menciderai rasa keadilan, " ujar Din.

Pada HUT RI ke-65 tahun, pemerintah memberikan pengurangan hukuman kepada sejumlah terpidana kasus korupsi diantaranya mantan Deputi Gubernur BI yang juga besan Presiden, Aulia Pohan dan kawan-kawan yang terjerat kasus korupsi dana YPPI Rp100 miliar.

Selain itu, Presiden memberikan grasi kepada mantan Bupati Kutai Kartanegara yang menjadi terpidana kasus korupsi dana APBD, Syaukani HR. Kepada Syaukani yang akhirnya bebas, pemerintah beralasan karena dasar kemanusiaan. Syaukani mengalami sakit parah sejak masuk penjara.

"Kalau atas dasar kemanusiaan, banyak yang bisa diberi karena alasan kemanusiaan. Lalu, kenapa hanya koruptor? Pembernatsan korupsi tidak sejati. Ini akan jadi boomerang terhadap upaya pemberantsan korupsi," kata Din.

Fahri: Penangkapan Ba'asyir Alihkan Isu



JAKARTA, KOMPAS.com —

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Fahri Hamzah dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengatakan, penangkapan pimpinan Jama'ah Anshorut Tauhid Abu Bakar Ba'asyir, diduga hanya pengalihan isu yang diciptakan Mabes Polri.

Pasalnya, Fahri menyayangkan cara polisi menangkap paksa Abu Bakar ketika hendak kembali ke Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, dari Ciamis, Jawa Barat. Politikus PKS itu mengatakan sangat menyayangkan cara penangkapan tersebut.

"(Penangkapan Ba'asyir) residu dan efek karena persoalan internal Polri yang tidak pernah selesai," kata Fahri dalam diskusi yang digelar Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan bertajuk "Polisi Dalang Terorisme?" pada Kamis (26/8/2010) di Jakarta.

Persoalan internal, kata Fahri, misalnya terkait langkah mantan Kabareskrim Polri Komjen Susno Duadji yang mengungkapkan praktik suap dan korupsi di tubuh korps Bhayangkara. "Setiap kali mau meledak, (Polri) membuat letupan baru untuk mengalihkan perhatian masyarakat," kata Fahri.


Pilihan atas calon Ketua KPK menjadi sangat terbatas.


Sebanyak 28 masalah ditemukan dalam rekam jejak mereka.

REKAM jejak selu ruh kandidat Ketua Komisi Pemberan tasan Korupsi (KPK) diinvestigasi secara khusus oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam rentang waktu 13 hari, yakni mulai 3 hingga 15 Agustus 2010. Hasilnya, menurut peneliti ICW Donal Fariz, seluruh kandidat Ketua KPK terindikasi bermasalah. Ada tiga aspek yang menjadi acuan dalam investigasi tersebut.

"Yakni, aspek kepemimpinan, integritas, dan komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Dan kami menemukan, semua kandidat punya problem masing-masing," ungkapnya, dalam jumpa pers di Jakarta, kemarin.

Bahkan, Donal memaparkan, ada tiga kandidat yang memiliki masalah terkait dengan ketiga aspek sekaligus. Banyaknya masalah yang ditemukan dalam rekam jejak para kandidat Ketua KPK itu disayangkan oleh Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifudin.

Lukman mengingatkan, kini langkah yang bisa dilakukan hanya tinggal memilih mana di antara calon-calon itu yang masalahnya masih bisa diterima. "Sayangnya, dari ketujuh calon itu tidak ada yang sempurna. Semuanya bermasalah apakah itu soal leadership, integritas, maupun komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Karena pada akhirnya dihadapkan dengan pilihan.

Maka, kita harus melihat mana yang tingkat destruktifnya lebih ringan, itulah yang harus kita pilih," tuturnya.
Faktor yang tersisa Sementara itu, anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo menandaskan, proses pemilihan pimpinan KPK dan figur Ketua KPK merupakan satu-satunya faktor tersisa yang diharapkan dapat membangkitkan serta memulihkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat terhadap komitmen penegakan hukum di negara ini. ``Lantaran itulah, jika proses pemilihan diwarnai intervensi sehingga terpilih figur Ketua KPK titipan penguasa, kita akan gagal mewujudkan Indonesia negara hukum."

Dalam situasi itu, Bambang mengatakan, peran dan independensi Pansel Ketua KPK menjadi sangat menentukan. Dia pun berharap, pansel mampu menolak berbagai intervensi yang muncul dan memilih calon Ketua KPK sesuai nurani dan harapan rakyat. Bambang mengingatkan, akan ada risiko yang sangat besar jika Pansel Ketua KPK berkolusi dengan penguasa dalam mengajukan calon. Risiko pertama, kata dia, bakal datang dari DPR. "Bentuknya penolakan DPR yang akan memperpanjang kondisi vakum kepemimpinan KPK. Adapun risiko kedua, jika DPR pun gagal menghalau intervensi karena mekanisme pemilihan harus melalui voting," tandasnya.

Bambang mengaku harus menggarisbawahi hal tersebut karena sudah muncul pergunjingan bahwa Pansel Ketua KPK akan mengajukan dua nama yang difavoritkan oleh penguasa. (*/S-8)

Tidak ke Istana Mega Upacara di Republik Lenteng Agung

detikFoto :

Mantan Presiden Megawati Soekarno Putri kembali tak menghadiri upacara peringatan HUT ke-65 RI di Istana Negara. Mega lebih memilih upacara di Kantor DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, Selasa (17/8)

GB

GB

GB

GB

Archives