Rawagede dan Kuburan Sedalam 50 Cm

detikNews


Karawang - Hamparan sawah terlihat membentang luas di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang.
Desa ini merupakan salah satu desa pemekaran dari Desa Rawagede. Para  penduduk
di kawasan ini sejak lama mengandalkan hidup dari bertani.

Namun siapa sangka, desa yang terlihat hijau dan subur ini pernah menyimpan kenangan kelam pada saat perang kemerdekaan. Para penduduk desa itu pernah menjadi korban kebrutalan pasukan Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia pada 1947 silam.

Sebanyak 431 orang, yang terdiri dari pejuang dan penduduk desa tewas dibantai
pasukan Belanda pada Selasa, 9 Desember 1947. Selain  membantai warga dan pejuang, pasukan Belanda juga membakar ratusan rumah penduduk hingga rata dengan tanah.

Mengapa Belanda berbuat sekeji itu di Rawa Gede? Menurut Sukarman, peneliti sejarah Karawang saat ditemui detikcom, wilayah Rawa Gede merupakan tempat berkumpul sejumlah laskar pejuang yang ada di wilayah Bekasi dan Karawang. Bahkan sejumlah pejuang dari Cirebon maupun Yogyakarta kerap menjadikan desa tersebut sebagai tempat persinggahan.

"Warga di Rawagede, terutama para juragan tanah di sana sangat terbuka terhadap para pejuang. Mereka rela memberikan makanan maupun tempat menginap bagi para pejuang. Jadi untuk urusan logistik para pejuang tidak merasa khawatir," jelas
Sukarman.

Selain jadi gudang logistik, imbuh Sukarman, kawasan Rawagede juga sangat strategis untuk memobilisasi penyerangan. Soalnya, saat itu Rawagede dilintasi jalur kereta api antara Cikampek-Rengasdengklok. Saat itu Rengasdengklok merupakan salah satu gudang persenjataan dan material. Di sana ada bekas markas pasukan Pembela Tanah Air (Peta).

Karena kondisi inilah, pasukan Belanda yang bermarkas di Karawang (sekarang jadi
kantor Polresta Karawang), kewalahan menghadapi gempuran para pejuang. Bukan hanya itu, mereka juga tidak berani masuk ke desa yang berjarak 25 kilometer dari a  lun-alun Karawang, untuk menyergap para pejuang di sana.

"Tentara Belanda sejak masuk ke Karawang tidak pernah berani masuk ke sini. Beberapa kali mereka coba datang ke sini tapi selalu digempur sehingga mereka pulang lagi ke markas," jelas Sa'ih, mantan pejuang yang tinggal di Desa Rawagede.

Pasukan Belanda yang kemudian membantai terhadap para pejuang dan penduduk Rawagede, berasal dari markas mereka di Jakarta. Selain itu, mereka berani ketika mengetahui daerah itu kosong dari pejuang. Para pejuang yang dipimpin Kapten Lukas Kustario (Komandan Divisi Siliwangi wilayah Karawang-Bekasi) sedang bergerak menuju bandara udara Cililitan (sekarang Halim Perdanakusumah).

Kapten Lukas memang menjadi momok bagi militer Belanda. Soalnya Lukas adalah salah seorang pejuang yang berhasil membajak kereta api yang membawa senjata dan amunisi milik pasukan  Belanda, awal tahun 1947.

Kereta yang bergerak dari Surabaya menuju Jakarta itu, berhasil dicegat Lukas dan
pasukannya di wilayah Cikampek. Dari pembajakan tersebut, pasukan Lukas berhasil
merampas ratusan pucuk senjata dan ribuan butir peluru. Sejak saat itu Lukas menjadi orang yang paling dicari pasukan Belanda.

Minggu, 7 Desember 1947, pasuk  an Belanda yang bermarkas di Karawang mendapat kabar kalau kapten Lukas sedang berada di Rawagede bersama ratusan pasukannya. Namun karena pasukan Belanda yang bermarkas di Karawang tidak berani masuk ke desa itu, mereka akhirnya meminta bantuan dari Jakarta.

Dalam waktu singkat, pasukan Belanda yang bermarkas di Jakarta, langsung bergerak ke Karawang dengan kekuatan 300 personel bersenjata lengkap. Pasukan Belanda yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah Detasemen 3-9 RI, pasukan Para (1e Para Compagnie) dan 12 Genie Veld Compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan Para dan DST (Depot Speciaale Troepen). Mereka mendapat perintah untuk membumihanguskan Rawagede, yang dianggap sebagai basis pasukan para pejuang dan menjadi markas Kapten Lukas.

"Pasukan Belanda tiba di pinggiran Desa Rawagede hari Selasa, pukul 19.00 WIB. Sementara Lukas dan pasukannya sudah bergerak ke Cililitan pada pukul 15.00 WIB. Jadi yang ada di desa hanya tinggal beberapa pejuang yang terluka dan penduduk desa," ungkap Sukarman.

Dijelaskan Sukarman, ada 2 faktor yang membuat Belanda tega membantai penduduk Rawagede dan membakar rumah-rumah. Pertama, Rawagede merupakan daerah lumbung beras dan para tuan tanah di sana terlibat aktif dalam membantu para pejuang dengan menyediakan makananan dan penginapan kepada para pejuang. Belanda berharap, dengan membumihanguskan Rawagede, tidak ada lagi suplai logistik atau tempat peristirahatan bagi para pejuang republik.

Alasan kedua, dengan dibumihanguskannya Rawagede, pasukan yang dipimpin Kapten
Lukas Kustario tidak bisa lagi menggunakan kawasan tersebut sebagai markas. Soalnya Lukas dikenal sebagai komandan yang licin dan sulit untuk ditaklukan.

Karena alasan-alasan itulah, pasukan Belanda akhirnya membantai penduduk dan membakar rumah-rumah di Rawagede. Pembantaian terhadap warga desa dilakukan
secara terpisah dan berkelompok-kelompok.

"Jadi masing-masing kelompok warga yang dikumpulkan oleh pasukan Belanda saat itu tidak saling mengetahui kalau telah terjadi pembantaian. Karena mereka dikumpulkan secara terpisah," ujar Sukarman.

Akibat pembantaian tersebut, ratusan perempuan Rawagede menjadi janda. Dengan alat
sekadarnya, para janda-janda tersebut menguburkan suami, orang tua, dan anak-anak mereka, usai peristiwa pembantaian tersebut.

Para korban, kata Sukarman, hanya dikubur sedalam 50 cm. Karena warga yang selamat menggali hanya dengan mengunakan golok dan arit. Saking banyaknya mayat yang bergelimpangan, mereka hanya bisa mengubur orang yang merupakan keluarganya. Selebihnya dibiarkan begitu saja hingga menjadi tulang belulang.

No comments:

Archives