Mantan Pejuang Itu Kini Hanya Tukang Sapu Jalanan

detikNews


Jakarta - Muhasim (76) dengan susah payah berusaha menarik gerobak sampah di Jl Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat. Dia berhenti untuk menyapu sampah yang lalu dia masukan ke gerobaknya.

Pria tua asal Pandeglang, Banten ini sudah puluhan tahun menjadi tukang sapu di daerah Menteng. Tidak ada yang menyangka kisah mudanya luar biasa. Muhasim adalah mantan anggota Pejuang Pelopor yang ikut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Diakui Muhasim, perayaan 17 Agustus selalu membuatnya teringat masa lalu. Muhasim masih berusia 15 tahun ketika tentara Sekutu kembali masuk Jakarta, setelah Indonesia merdeka. Muhasim kecil saat itu berjualan telur dan ayam dekat markas Sekutu di Jembatan Merah, Jakarta Barat. Tentara Sekutu lalu mempekerjakannya sebagai pembersih sepatu dan mencuci baju. Karena cukup dipercaya, Muhasim bebas keluar masuk markas mereka.

Ayah Muhasim pun bekerja di markas sekutu membantu-bantu. Keleluasaan itu, dimanfaatkan Muhasim untuk membantu para pemuda yang baru bergabung dengan TKR untuk merebut kemerdekaan. "Saya diminta mengambilkan barang untuk mereka. Kalau senjata sih susah. Saya biasanya memunguti peluru yang tercecer di rumput untuk diberikan ke pejuang," kenangnya dalam perbincangan dengan detikcom, Senin (16/8/2010).

Karena masih pelajar, Muhasim baru bisa bergabung dengan barisan Pejuang Pelopor pimpinan ulama kharismatik Situbondo, Banyuwangi, Jawa Timur, KH As'ad Syamsul Arifin. Muhasim terlibat perang sungguhan saat mempertahankan kemerdekaan dari Belanda yang mencoba bercokol kembali di Indonesia. Peristiwa itu dicatat sejarah sebagai Agresi Militer Belanda I. Saat itu Belanda berusaha merebut kembali Indonesia dan Presiden Soekarno dan Wapres Muhammad Hatta mengungsi ke Yogyakarta. Muhasim melalui zaman perang gerilya di sekitar Jakarta dan tetap selamat.

"Alhamdulillah, umur saya panjang sampai sekarang. Kalau perang, walau anak-anak, saya maju duluan untuk memancing pasukan Belanda," kisahnya.

Dalam sebuah pertempuran kota di Gunung Sahari, banyak teman-teman Pemuda Pejuang yang gugur. Pejuang yang hanya bermodal bambu runcing, pistol dan senjata mesin hasil rampasan berhadapan dengan pasukan bersenjata lengkap.

"Perang saat itu tidak kayak di film-film perjuangan kita yang menang melulu," ujarnya sambil tertawa mengenang masa lalunya.

Muhasim dan teman-temannya lalu memutuskan bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Yogyakarta. Namun rombongan mereka dicegat Belanda di Cikampek. Ini adalah bentrok senjata yang menewaskan banyak orang yang lalu diabadikan penyair Chairil Anwar dalam puisi 'Antara Kerawang dan Bekasi'. Dalam bentrok senjata itu, Muhasim masih selamat, namun dia harus mengubur mimpinya bergabung dengan TKR.

"Saya dan teman-teman selalu sembunyi-sembunyi, tapi tentara Belanda selalu mencegat kita di Karawang. Kita selalu dikejar-kejar, ya tidak pernah berhasil masuk ke wilayah Jawa Tengah," ujarnya.

Perang benar-benar selesai saat Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia. Tidak bisa jadi tentara, Muhasim pun bekerja bersama ayahnya di sebuah pabrik lampu di Tanjung Priok. Ayahnya lalu membeli perahu dan menjadi nelayan. Muasim ikut melaut sampai ayahnya wafat.

Setelah itu, Muhasim sempat menjadi satpam di Kedubes Hongaria dan Singapura pada dekade 1960-an. Dia tidak ingat kapan mulai menjadi tukang sapu, namun yang jelas Soeharto sudah menjabat presiden. Muhasim juga beristrikan seorang tukang sapu. Namun sang istri dan anaknya kini tinggal di Pandeglang. Sebagai tukang sapu, Muhasim hanya menerima gaji Rp 800 ribu perbulan.

Dari pinggir jalanan inilah, Muhasim menyaksikan Indonesia menjalani kemerdekaan selama 65 tahun. Sambil menyapu sampah, dilihatnya negara ini berkembang. Lantas, apakah makna 65 tahun kemerdekaan untuk Muhasim?

"Arti kemerdekaan bagi saya, apa yah?" ucap Muhasim menerawang ke langit.

Pria tua ini mengatakan, masyarakat saat ini sangat berbeda dengan semasa kemerdekaan. Pada masa perjuangan yang diingat Muhasim, semua orang saling bahu membahu tanpa kenal rasa pamrih.

"Merdeka bagi saya kalau rakyat semua sejahtera, tidak susah seperti saat ini," ujar Muhasim, sembari melanjutkan pekerjaannya, menyapu jalanan dari sampah yang dibuang warga Jakarta.

(zal/fay)

No comments:

Archives