VIVAnews –ZAKIYAH tak pernah lupa pada selembar surat yang diterimanya saat Ramadan 2005 silam. Surat itu dalam amplop kecil. Ada nama si pengirim: Adi. Itu nama kecil Suhaidi bin Asnawi, anaknya yang bekerja di Malaysia.
Isinya nyaris membuat dunia perempuan separoh baya itu runtuh. "Saya lagi di penjara. Adi lagi diancam hukuman mati," demikian sepatah kata surat itu.
"Jantung saya berdegup kencang, dan lidah saya kelu," ujar Zakiyah, kepada Edy Gustan, dari VIVAnews, Kamis 26 Agustus 2010 di Dusun Karang Kuripan, Desa Kediri, Kecamatan Kediri, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Gara-gara kabar itu, dia sempat jatuh sakit.
Sebagai seorang ibu, dia tidak rela nyawa anaknya berakhir di tiang gantung. Dibantu oleh sebuah LSM, dia bersafari, mencari dukungan. Zakiyah bicara ke media, dia juga bolak-balik ke kantor pemerintah. Tokoh masyarakat didatangi, termasuk presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Zakiyah bahkan ke Malaysia, berbekal dukungan banyak pihak.
Beruntung, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melawat ke Malaysia dan bertemu dengannya di Wisma Duta, Kuala Lumpur. Keluhan Zakiyah didengar Presiden SBY berjanji bertemu Perdana Menteri Malaysia untuk membicarakan kasus Adi. SBY lalu meminta Duta Besar RI saat itu, Rusdihardjo, untuk membantu Adi.
Kini, ia mengaku lega, di kembali ke pangkuannya. "Saya tidak mengizinkan anak saya kembali ke Malaysia," kata dia, melirik putra kesayangannya itu.
Menikam majikan
Bagi Suhaidi alias Adi, lolos dari eksekusi mati adalah sebuah keajaiban. Dia lalu bercerita kisah hidupnya yang bagai mimpi buruk di negeri jiran. Saat itu tahun 1996, tekanan ekonomi memaksanya merantau ke Malaysia. Umurnya waktu itu 17 tahun, dan dia nekat menjadi perantau gelap.
Di Malaysia, dia sempat bekerja serabutan. Setelah kembali ke kampung mengurus surat resmi, dia diterima kerja di perkebunan kelapa sawit di Teluk Langsa Port Dickson, Negeri Sembilan, Malaysia, pada tahun 2000.
Sebagai pengawas kebun kelapa sawit, gajinya lumayan: 40 ringgit per jam. Kadang dia membantu keluarga majikan, dari pekerjaan rumah tangga sampai membuat pagar. Majikannya memperlakukannya dengan baik. Tapi tidak dengan ibu majikannya, Tan Yook Yong alias Acin.
Tragedi itu terjadi pada 15 Januari 2002 pukul 10.00 waktu setempat. Suhadi kalap. Kepalanya mendidih menerima derasnya makian dari ibu majikannya. "Dia bilang, kalau kamu sudah bosan kerja di sini ya cari saja tempat lain," kata Suhadi, di rumahnya di Desa Kediri, Lombok, Kamis 26 Agustus 2010.
Adi pun gelap mata. Dia mengambil sebilah pisau dapur. Lalu benda tajam itu pun melesak ke tubuh ibu majikannya. "Yang kena kalau nggak perut, ya dada," kata Edi.
Sejak peristiwa itu, Adi ditahan di Blok Abadi I Penjara Sungai Buloh, Selangor, Darul Ehsan, Malaysia. Tiga tahun hidup di sel, dia harus ikut puluhan kali sidang. Peristiwa itu tak diketahui keluarganya di kampung .
Pada 2004, majelis hakim Pengadilan Negeri Sembilan memutuskan, dia terbukti melanggar Akta 302 Kanun Kesiksaan (KK). Tuduhannya pembunuhan dengan niat. Vonisnya: hukuman gantung sampai mati.
Putusan itu membuat Adi limbung. Dia nyaris putus asa. Jiwanya terganggu. Dia lalu mengadukan petaka itu ke pemerintah Indonesia. Surat dikirimkannya ke Kedutaan Besar RI di Malaysia. Tapi, tak ada balasan.
Akhirnya, dia bertemu seorang tahanan lain asal Lombok yang tersangkut perkara keimigrasian. Adi pun menitipkan sepucuk surat itu kepada ibunya. "Saya berpikir, kalau surat itu sampai ke keluarga saya maka jiwa saya akan selamat," kata Adi.
Lalu kisahnya "penyelamatannya" pun bergulir. Ibunya dayang ke Malaysia. Adi lantas didampingi pengacara Malasyia, Raja Badrul. Berkat kegigihan ibunya, juga setelah bertemu Presiden SBY itu, Adi dinyatakan lolos dari hukuman gantung pada 13 Agustus 2007. Mahkamah mempertimbangkan keterangan perawat Rumah Sakit Jiwa Mataram, Mugni dan orang tuanya bahwa ia pernah menderita gangguan jiwa.
Pada 9 Januari 2010, akhirnya dia kembali ke tanah air.
Tapi, nasib Adi toh belum begitu baik. Dia pernah bekerja di tambang emas ilegal di Sekotong, tambang maut yang menelan puluhan korban. Saat ini dia menjadi buruh di pasar ikan Ampenan, Mataram. "Saya juga berharap uang gaji saya yang belum dibayarkan bisa diambil," kata dia.
Tatkala melihat tayangan televisi soal 177 warga negara Indonesia di Malaysia yang terancam vonis mati, Adi teringat tiga teman satu selnya dulu. Mereka juga divonis mati:Mustakim bin Hanafi, Azhar bin Zakaria dan Mardani. Kata Adi, ketiganya terkena kasus ganja seberat 1,5 killogram.
Dia bercerita hidup di bui sangatlah berat. Dia ingat ada orang Lombok yang buta dan lumpuh, karena tak tahan derita di penjara. Banyak juga yang terganggu jiwanya. "Ada yang ngomong sama tembok, membentur-benturkan kepalanya ke tembok dingin penjara," kata dia, menghela nafas panjang.
Takut dituduh gerilyawan
Surat berstempel Jabatan Penjara Malaysia, Pokok Sena, Kedah sampai di meja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Banda Aceh. Pengirimnya dua WNI asal Aceh, Bustaman B Bukhari dan Tarmizi B Yacob. Isinya, kabar buruk: mereka telah divonis gantung sampai mati.
"Dengan beribu-ribu pengharapan, dan mengharap simpati, kami meminta siapapun yang terlibat untuk dapat membuat lawatan dan pembuatan permohonan ampun kepada kerajaan Malaysia," demikian tulis Bustaman.
Wakil koordinator Kontras Aceh, Asiah Uzia mengatakan kepada VIVAnews, kedua warga Aceh itu meminta bantuan ke Pemerintah Aceh. "Mereka minta Pemerintah Aceh mengirimkan permintaan maaf dan permohonan pengurangan hukuman," ujar Asiah, Rabu 25 Agustus 2010.
Bustamam dan Tarmizi, bersama Parlan Bin Dadeh kini diasingkan di penjara Pokok Sena, Selangor Malaysia. Mereka ditempatkan di bangsal terpisah. Di sel berukuran 3x3 meter, mereka menghitung hari menuggu giliran dieksekusi. Tidak ada lagi mimpi bisa kembali ke Aceh.
Ibu Tarmizi, Rukaiyah, bercerita kepada Muhamad Riza dari VIVAnews, Kamis 26 Agustus 2010, bagaimana putranya bisa sampai ke Malaysia.
Rukaiyah tinggal di Cerucok Barat, Simpang Mamplam, Bireuen. Pada waktu konflik bersenjata, dan Aceh menjadi Daerah operasi Militer (DOM), banyak anak muda di pelosok itu pergi dari kampungnya. Mereka takut dituduh bagian dari Gerakan Aceh Merdeka.
Itu juga yang menjadi alasan Tarmizi. Dia takut menjadi bulan-bulanan aparat saat mencari gerilyawan di kampungnya, meski dia tak pernah terlibat. Dia memilih merantau ke negeri jiran.
Enam tahun di Malaysia, Tarmizi bekerja jadi tukang las. Suatu hari dia tidak sabar pulang ke kampungnya di Desa Cerucok Barat, Kecamatan Simpang Mamplam Bireun.
Tarmizi hendak mengawini Zubaidah. Ibunya sudah melamar dara itu. Enam gram emas telah disorongkan sebagai tanda. Tarmizi pun sudah bersiap pulang ke kampung. Paspor dan tiket sudah di tangannya. Dia menunggu hari keberangkatan saja.
Tapi naas, suatu hari di pertengahan 1996 itu, dia diminta oleh temannya Rabo, mengantarkan sebuah tas kepada seseorang di Chow Kit, Kuala Lumpur. Tarmizi menyanggupinya. Dia mengajak Bustamam Bin Bukhari. Sepeda motor mereka pun melaju. Tak disangka, mereka terjaring razia polisi Malaysia.
"Tas itu ternyata isinya ganja, si Mizi memang lugu sekali orangnya. SD pun tak tamat," ujar Rukaiyah. Cerita itu dia dapatkan dari seorang rekan Tarmizi, yang kembali dari Malaysia beberapa bulan setelah peristiwa itu.
Tarmizi menolak mengakui barang haram itu adalah miliknya. Tarmizi yang berbadan kekar itu pun bertengkar, dan berkelahi dengan polisi. Dia tak berkutik, setelah kakinya ditembus peluru.
Kabar penangkapan Tarmizi dan Bustamam itu sampai juga ke kampung halaman. Abang sulung Tarmizi, Muhammad, diutus menjenguknya di Malaysia. "Sawah kami jual untuk menjenguk dia. Itu cuma cukup membiayai keberangkatan Muhammad, kami tidak sanggup membayar pengacara," ujar Rukaiyah.
Keluarga Tarmizi juga mendatangi Gubernur Aceh saat itu, Abdullah Puteh. Meminta dukungan. Puteh menjanjikan akan membantu mengirimkan uang ke sana. "Katanya dia tidak bisa bantu meringankan hukuman si Mizi, kami tidak tahu harus berbuat apalagi," ujar Rukaiyah menambahkan.
Dia terakhir menjenguk Tarmizi pada 2005. Setelah itu hartanya ludes. "Kami semua berharap pemerintah Indonesia, terutama Presiden mau membantu anak kami. Jangan sampai dia digantung," ujar Rukaiyah. Matanya basah.
Seratus rupiah untuk es krim
Kisah muram juga diceritakan Ainul Mardiah, 60 tahun. Dia tidak pernah tahu Bustamam, putra bungsunya, pergi mengadu nasib ke Malaysia.
Sejak kecil Bustamam telah menjadi yatim. Ainul janda miskin, dia tak sanggup membesarkan kedua putranya. Bustamam dan kakaknya, dititip ke adiknya di Desa Reumbaroh, di Kecamatan Samalanga, Bireun.
Sesekali, Bustamam pulang menjenguk ibunya. Yang diingat Ainul adalah pertemuan terakhir itu. "Dia minta uang seratus rupiah untuk beli es krim. Dia tak pernah bilang kalau mau ke Malaysia," kata Mardiah.
Setahun setelah itu, dia menerima kiriman paspor Bustamam yang telah kedaluarsa, lewat temannya yang baru kembali dari Malaysia. "Saya hanya bisa berdoa semoga dia berhasil di sana, dan bisa membantu saya dan abangnya," ujar Mardiah lirih.
Tapi tak ada kabar keberhasilan itu. Dia kaget ternyata Bustamam mendekam di penjara Kajang Malaysia. Si anak dikabarkan tersangkut kasus penjualan ganja di negeri jiran. "Saya tidak bisa berbuat apa-apa, setiap hari saya menangis memikirkan nasib dia. Apalagi orang semua bilang kalau dia mau digantung. Saya tidak punya uang menebus dia," kata Mardiah.
Ainul Mardiah kini hanya bisa menangis setiap kali membayangkan putranya akan berjalan ke tiang gantung. Hidup anaknya segera tamat, dan dia tak mampu menjenguknya.
No comments:
Post a Comment