Surat Kepada Pak Beye (Soal Ancaman Pembunuhan)

ROSO DARAS

Yang Terhormat Presiden Pak Beye (Susilo Bambang Yudhoyono)

Ini surat terbuka buat Pak Presiden. Daripada saya menyumpah-serapah, tentu lebih baik kalau saya menulis. Sumpah-serapah selain hanya akan mendatangkan keburukan berupa dosa dan energi negatif pada diri saya, juga membuat saya yang bodoh ini tampak lebih bodoh lagi. Sebaliknya, dengan menulis, setidaknya saya menghindarkan diri membuka mulut dan berkata-kata kotor. Lebih dari itu, menulis kelihatannya lebih intelek daripada menyumpah. Betul???

Begini pak Beye…. Sikap pak Beye yang reaktif… atau sebut saja responsif yang berlebihan, sungguh membuat saya risih. Bukan kali pertama pak Beye membuang waktu penting sebagai kepala negara, khusus buat berbicara, berpidato (teman saya menyebut: berdeklamasi), menanggapi soal ancaman pembunuhan.

Dulu, terkait pemilu, pak Beye pamer-pamer foto diri yang jadi objek sasaran tembak. Kemudian waktu Polri meringkus sejumlah tersangka teroris, pak Beye juga tampil sebagai “calon korban”. Sekarang, usai penangkapan kiyai Ba’asyir, pak Beye berdeklamasi… eh… maaf, berpidato lagi sebagai “calon korban”.

Pak Beye kan jenderal, prajurit, sekolah tentara di dalam dan luar negeri. Pasti tahu, menjadi tentara itu sama dengan “kontrak mati”. Itu baru tingkatan prajurit. Apalagi presiden?! Menjadi presiden itu taruhannya ya dibunuh… bisa oleh lawan politik, bisa oleh teroris, bisa oleh orang dekat sendiri. Itu hikayat presiden-presiden di dunia. Jadi, menurut saya, tidak ada yang mengejutkan dengan adanya ancaman pembunuhan terhadap presiden.

Bung Karno (presiden favorit saya), sedikitnya tujuh kali diberondong tembakan. Sekali lagi pak Beye… SEDIKITNYA TUJUH KALI DIBERONDONG TEMBAKAN… bukan lagi “calon korban” tetapi sudah dieksekusi! Ia diberondong tembakan di Makassar, ia diberondong tembakan di Cisalak, ia ditembak di masjid Istana, ia dibom di Perguruan Cikini, ia diberondong tembakan oleh Maukar dari pesawat tempur….. Bukan lagi “calon korban” seperti pak Beye, tapi sudah dieksekusi! Peluru sudah dimuntahkan… diarahkan ke tubuh Bung Karno.

Apa reaksi Bung Karno? Ia tidak berpidato, apalagi berdeklamasi memohon simpati. Kalimat Bung Karno menghadapi setiap upaya pembunuhan kurang lebih begini, “Mati dan hidup itu di tangan Tuhan. Kalau saya harus mati ditembak, ya saya akan mati tertembak. Tapi kalau takdir saya tidak mati tertembak, biarpun ditembak berkali-kali, insya Allah saya tidak akan mati.”

Dan, semua usaha pembunuhan itu tidak menyurutkan sedikit pun semangatnya membawa NKRI menjadi bangsa yang bermartabat di pentas dunia!” Begitu kira-kira tanggapan Bung Karno.

Pak Beye yang terhormat,

Memohon pak Beye meniru Bung Karno tentu sangat berlebihan, karena beda antara Bung Karno dengan pak Beye memang laksana bumi dan langit. Karenanya saya tidak memohon pak Beye meniru Bung Karno. Saya hanya memohon maaf, karena sebagai salah satu rakyat Indonesia, sungguh prihatin dengan sikap pak Beye dalam menyikapi adanya informasi yang katanya, ada teroris yang menjadikan pak Beye sebagai sasaran pembunuhan.

Sekian, maafkan saya jika surat saya tidak menyenangkan perasaan pak Beye. Sebab saya memang tidak bermaksud membuat pak Beye senang. Terlebih, saya memang tidak senang dengan sikap pak Beye mengomentari rencana teroris membunuh pak Beye. Rencana lho yaaa….

Wassalam,

Roso Daras

No comments:

Archives