Tiga Lokasi Rukyat Berhasil Melihat Hilal

31/08/2008 19:24

Tiga Lokasi Rukyat Berhasil Melihat Hilal
Liputan6

Liputan6.com, Surabaya:
Tiga lokasi rukyatul hilal atau melihat rembulan pertanda awal kalender
secara kasat mata yang ditentukan Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama Jawa
Timur berhasil melihat hilal, rembulan usia muda sebagai pertanda awal
bulan, yakni di Bangkalan, Gresik, dan Pacitan.



"Karena itu, kami memastikan bahwa puasa Ramadan dimulai 1 September,
tapi kami tetap melapor ke Pengurus Besar NU agar satu suara untuk
dibawa dalam sidang isbat di kantor Departemen Agama," kata Rois
Syuriah PWNU Jatim KH Miftachul Akhyar di Surabaya, Ahad (31/8)
malam.(IAN/ANTARA)

Awal Puasa 1 September 2008

31/08/2008 20:17

Awal Puasa 1 September 2008
Liputan6

Liputan6.com, Jakarta:
Pemerintah akhirnya menetapkan awal Ramadan 1429 Hijriyah jatuh pada
Senin, 1 September 2008. Hal ini berdasarkan sidang isbat yang dipimpin
langsung Menteri Agama Maftuh Basyuni di gedung Departemen Agama,
Jakarta Pusat, Ahad (31/8). Ketetapan itu dituangkan dalam surat
keputusan Menag nomor 118 tahun 2008 yang ditandatangani 31 Agustus
2008.


Sidang isbat dihadiri Menteri Komunikasi dan Informatika M Nuh,
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Prof DR KH Anwar Ibrahim,
Wakil Ketua Komisi VIII Said Abdullah, pimpinan ormas-ormas Islam,
perwakilan negara sahabat, dan anggota Badan Hisab dan Rukyat Depag [baca: Awal Ramadan Ditentukan Malam Ini].


Ketua Badan Hisab dan Rukyat, Muchtar Iljas yang menyampaikan hasil
pemantauan di seluruh Indonesia, menyebutkan bahwa perhitungan data
hisab yang dihimpun oleh Direktorat Jendral Bimas Islam dari 27 titik
pemantauan di seluruh Indonesia menyatakan bahwa ijtima akhir Syaban
1429 H/2008 M jatuh pada Ahad, 31 agustus 2008, pukul 02.59 WIB.


"Saat matahari terbenam pada tanggal tersebut di seluruh Indonesia,
posisi hilal berada di atas ufuk pada ketinggian 4 derajat sampai 5
derajat," kata Muchtar yang juga Direktur Urusan Agama Islam Depag.
Dari hasil rukyatul hilal itu, lanjut Muchtar, ada empat lokasi yang
menyatakan melihat hilal (bulan baru), yaitu di Gresik, Jawa Timur,
Pantai Depok, Bantul, Yogyakarta, Gunung Sugih, Lampung Barat, dan
Jakarta Barat. "Berdasarkan laporan itu maka dapat disepakati bahwa 1
Ramadan jatuh pada Senin, 1 September 2008," kata Menag.(IAN/ANTARA)

30 Tamu Presiden Kelaparan Dua Hari

Makan Sekali Sehari Ditampung Ketua RT

Kramatjati, Warta Kota
Wartakota Hari Ini
SEBANYAK 30 penari asal NTT yang tampil di Istana Presiden pada
perayaan HUT ke-63 RI telantar dan tak bisa pulang ke daerahnya. Mereka
sempat kelaparan karena ditinggal pergi oleh ketua panitia dan pimpinan
kelompok.


Beruntung, ada yang menolong para penari yang semuanya merupakan siswa
SMA di Kabupaten Lembata, NTT, tersebut. Hingga Kamis (21/8), ke-30
penari itu ditampung di rumah Dominik Walleng dan Suparman, warga dan
Ketua RT 10/04 Kelurahan Kramatjati, Jakarta Timur.

”Rabu
pagi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lembata, Martin
Didi Lejak, sebagai manajer keuangan, dan Madjid Lamahoda, pimpinan
kelompok, tanpa sepengetahuan anak-anak pergi dari tempat penginapan.
Mereka tidak bertanggung jawab, bahkan mereka membawa sisa uang
penginapan,” ucap Dominik Walleng di rumahnya, Kamis sore.


Para penari itu tiba di Jakarta pada 16 Agustus lalu dan menginap di
Graha Wisata Remaja TMII, Jakarta Timur. Mereka merupakan utusan
Provinsi NTT untuk mengisi acara pada perayaan 17 Agustus di istana.
Keberangkatan mereka ke Jakarta dibiayai pemerintah daerah asal.


”Menurut anak-anak tersebut, sesuai rencana mereka menginap di Jakarta
selama 10 hari dari tanggal 16 Agustus. Nyatanya mereka cuma menginap
sampai Rabu lalu atau cuma selama empat hari. Nah, sisa uang penginapan
ke mana?” ucap Dominik yang berasal dari NTT.




”Dari NTT setiap anak mendapat uang saku Rp 1 juta untuk 10 hari. Kami
nggak tahu apakah dari panitia di Jakarta kami juga dapat uang saku.
Yang kami dengar, kami dapat uang saku, tapi sampai sekarang kami tidak
terima. Uang Rp 1 juta dari NTT itu sudah habis. Seharusnya makan dan
tempat penginapan kami di Jakarta ditangggung, tapi pengurusnya kabur.
Kami jadi telantar,” ucap seorang penari.


Menurut Dominik, ke-30 penari yang tampil menawan di hadapan Presiden
dan pejabat negara itu sempat terlunta-lunta. Mereka juga kelaparan
karena uang sakunya habis. Selama dua hari terakhir, para remaja itu
makan sekali dalam sehari, yakni hanya pada waktu pagi. ”Kami dibantu
oleh ketua RT, tapi kemampuan Pak RT kan terbatas,” tuturnya.


Dominik mengaku sangat prihatin dengan kejadian yang dialami para
penari tersebut. ”Kok tega-teganya ya... seharusnya anak-anak ini
dibiayai, bukan ditelantarkan seperti ini,” ucapnya. Sejauh ini, kata
Dominik, dirinya sudah menghubungi Pemprov NTT dan DPRD NTT untuk
membantu kepulangan ke-30 penari tersebut.

Sementara itu
jurubicara kepresidenan Andi Mallarangeng yang akan dimintai
konfirmasinya tadi malam, tidak bisa dihubungi. Handphone-nya aktif
tetapi tidak diangkat.

Ketua RT 10/04 Kelurahan Kramatjati,
Suparman, membenarkan kejadian yang dialami para penari asal NTT. ”Kami
menolong karena kasihan melihat mereka. Kebetulan ada ruangan di rumah
saya yang cukup besar, ya akhirnya dipakai buat anak-anak itu,”
katanya.

Para penari asal NTT ini tergabung dalam Sanggar
Cipta. Rombongan tersebut terdiri atas 25 penari dan lima pendamping.
Saat perayaan 17 Agustus di istana, mereka membawakan tarian Baleo,
tarian yang mengisahkan tentang warga dengan perahu paledang, perahu
khas NTT, yang berusaha menangkap ikan paus. Tarian Baleo, kata
Dominik, merupakan tarian tradisional NTT yang sudah ada sejak tahun
1600. Tarian ini sudah membudaya dan turun-temurun dilestarikan
masyarakat NTT. (ded)

Caleg Mantan Napi Pede Taufik-Guiteres Optimis

Kota, Warta Kota
Meski pernah berstatus sebagai narapidana (napi), Eurico Guiteres dan M Taufik yakin dan percaya diri mampu menjadi anggota legislatif pada Pemilu 2009. Guiteres dicalonkan oleh PAN, sedangkan Taufik dicalonkan oleh Partai Gerindra.

Selain Eurico dan Taufik, masih ada satu mantan terpidana yang juga mantan Wakil Ketua DPR, Zaenal Ma’arif yang maju jadi caleg. Zaenal malah dicalonkan oleh Partai Demokrat. Padahal sebelumnya ia berseteru dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga kasusnya menjadikan Zaenal divonis hukuman percobaan.

ImageDihubungi terpisah Sabtu (23/8), ketiganya optimis bisa lolos jadi wakil rakyat yang berkantor di Senayan. ”Saya tidak melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman lima tahun. Saya sudah melampirkan semua keterangan dan bukti-bukti untuk pencalegansaya,” kata Zaenal.

Ia juga menjelaskan bahwa kasusnya tidak tergolong berat, yakni perselisihan dengan SBY yang mengarah pada pencemaran nama baik. ”Saya setuju yang ditolak masyarakat itu caleg yang pernah melakukan tindak pidana korupsi atau terjerat narkoba. Hukumannya kan berat,” katanya.
Mengapa setelah bermusuhan dengan SBY kini justru dicalonkan oleh Partai Demokrat yang dibesarkan oleh SBY, Zaenal menjawab, ”Tidak ada masalah dan sudah ada (putusan yang punya) kekuatan hukum tetap. Sudah inkrach.”

Selain Zaenal, M Taufik (mantan Ketua KPU DKI), dan Eurico Guiteres, masih ada mantan napi kasus narkoba Zarima Mirafsur yang jadi caleg.
Zarima yang populer dengan sebutan Ratu Ekstasi dicalonkan oleh Partai Demokrat untuk Kabupaten Bogor. Zarima masuk daerah pemilihan Bogor III yang meliputi Cisarua, Megamendung, Ciawi, Caringin, Cigombong, dan Tamansari.
”Zarima sudah menyerahkan berkas pendaftaran di KPU Bogor Selasa (19/8) siang. Zarima tercatat berdo-misili di Kopo, Cisarua, Bogor,” kata anggota KPU Kabupaten Bogor, Haryanto Surbakti.
UU hanya melarang mantan napi jadi caleg jika tuntutan atau hukumannya di atas lima tahun. Menurut Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro), Hadar N Gumay, hal ini diatur oleh UU 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD, dan DPD.
”Ya memang, apa yang diharapkan oleh masyarakat tidak sama dengan UU. Masyarakat hanya bisa mewujdukan harapannya dengan tidak memilih caleg bermasalah. Itu bisa efektif,” katanya.
Sementara itu Guiteres, yang menerima putusan bebas murni dari Mahkamah Agung, justru mengaku mendapatkan banyak simpatisan dan dukungan. Sebab, kasusnya yang terkait dengan Timor Timur murni kasus politik.
”Saya yakin masyarakat tahu siapa saya karena proses hukum mengatakan saya bukan pelaku korupsi dan saya bukan pemberontak,” ucap Guiteres yang kini menjabat Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PAN Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Guiteres mengucapkan rasa terima kasih kepada PAN atas pencalonan dirinya sebagai caleg. “Saat dicalonkan, saya langsung bersedia karena masih diberi kesempatan mengerahkan semangat nasionalisme saya buat negara ini.” tuturnya.
Ia berjanji jika dipercaya duduk di kursi Senayan selama lima tahun, ia akan memperjuangkan aspirasi masyarakat NTT.
Sementara itu M Taufik, mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI, dicalonkan oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Ia dipenjara karena kasus korupsi di tubuh KPU DKI.
”Biar masyarakat sendiri yang menilai bahwa proses peradilan kemarin mengada-ada. Saya me-yakini bahwa saya tidak melakukan itu. Ada konspirasi. Saya menilai itu sebuah risiko bagi seorang pemimpin,” papar Taufik yang divonis April 2006 dan bebas 23 Agustus 2007.
Taufik jadi caleg untuk daerah pemilihan Jakarta Timur. Ia juga menjabat Ketua Partai Gerindra DKI. ”Yang jelas saya akan berkomitmen untuk selalu berpihak kepada kepentingan masyarakat,” tuturnya.
Secara terpisah, Ketua Umum Relawan Bangsa, Suaib Didu, meminta semua parpol melakukan penyaringan ketat. ”Kami minta partai melakukan penyaringan secara ketat. Terhadap pihak-pihak yang terindikasi terlibat kasus korupsi dan kasus dana Bank Indonesia (BI) agar tahu diri dan tidak mencalonkan diri.” katanya.
Didampingi sejumlah pimpinan ormas yang tergabung dalam Masyarakat Anti Korupsi (Matikor), Mahasiswa Pancasila, dan Relawan Pemuda, Suaib mengingatkan bahwa legislatif merupakan lembaga sangat terhormat. Tapi yang terjadi sekarang, kondisi legislatif atau DPR sangat buruk karena perilaku anggotanya.
”Kami minta KPU segera memublikasikan nama-nama caleg di media massa. Dengan begitu, publik diberi kesempatan untuk menilai para caleg secepatnya,” katanya. (ded/moe)

Dukun Santet Ikut Pilkada

Ingin Angkat Martabat Warga Kota Bogor

Bogor, Warta Kota
Warta Kota Hari IniSETELAH sejumlah artis bertarung di pemilihan kepala daerah (pilkada), kini seorang paranormal merambah ajang yang sama. Paranormal Ki Gendeng Pamungkas, yang mengaku pernah menyantet beberapa tokoh politik Indonesia dan Presiden AS George W Bush, maju sebagai calon wali kota (cawali) Bogor.

Gendeng Pamungkas yang bernama asli Iman Santoso akan menjalani tes kesehatan bagi para cawali mapun wakilnya, Rabu (12/8) ini. Dalam pencalonan tersebut, Gendeng didampingi KH AM Chusaeri. Mereka maju melalui jalur perseorangan (non-partai politik)

Sebelumnya, Gendeng sempat menyatakan mundur dari bursa pencalonan. Belakangan, dia mencabut pernyataan itu dan justru menegaskan untuk terus maju ke Pilkada Kota Bogor.
”Saya dapat wangsit ketika melakukan ritual di Kebun Raya Bogor, yang isinya menyatakan bahwa saya harus maju terus di pilwalkot (pemilihan wali kota),” tegas Gendeng Pamungkas.

Pesan lain di wangsit itu, menurut Ki Gendeng, dirinya diminta berjuang membebaskan warga Kota Bogor dari kemiskinan. Menurut Gendeng, 60 persen penduduk Kota Bogor berada di bawah garis kemiskinan. Selain itu, kata dia, dirinya ingin mengubah birokrasi di Pemkot Bogor menjadi benar-benar berkiblat kepada rakyat, bukan kepada teman atau kolega.

Kesehatan
Dukun Santet Ikut Pilkada
Kigendeng Pamungkas
Pemeriksaan kesehatan cawali Bogor dan pasangannya dimulai Selasa (12/8). Cawali beserta pasangannya yang menjalani pemeriksaan kesehatan kemarin adalah para calon yang diusung partai politik yakni Diani Budiarto-Achmad Ru’yat, Iis Supriyatin-Ahani, dan Dody Rosadi-Erik Irawan Suganda.

Pemeriksaan kesehatan cawali Bogor dibagi menjadi lima babak. Pemeriksaan di masing-masing babak dilakukan oleh tim dokter yang dipimpin oleh seorang dokter spesialis yakni dr Edward Syah (spesialis bedah umum), dr Doyo Prasodjo (THT), dr Indira Silviandari (mata), dr Tjahtur Yoga Utama (jantung), dan dr H Erwin (spesialis penyakit dalam).

Pemeriksaan kesehatan diawali dengan pengambilan sampel darah, lalu pemeriksaan USG, pengambilan urine, dan EKG atau rekam jantung. Para kandidat pada Pilkada Kota Bogor menjalani tes kesehatan itu dengan tenang.

Beberapa di antaranya mengaku telah beberapa kali menjalani tes kesehatan serupa.
Diani Budiarto yang merupakan Wali Kota Bogor periode 2003-2008 mengaku tes kesehatan yang dijalaninya hari itu tidak beda dengan serangkaian pemeriksaan kesehatan yang telah jalani selama ini.

Diani mengaku lega karena telah melewati tes kesehatan mata, gigi, dan THT. ”Pemeriksaan kesehatan ini penting biar kalau ada rakyat yang menyampaikan aspirasinya, wali kota maupun wakilnya mampu mendengar dan merealisasikan aspirasi tersebut,” katanya.

Koordinator Tim Pemeriksaan Kesehatan Pilkada Kota Bogor, dr Erwin, mengatakan, ”Kalau tidak ada perubahan, tanggal 19 Agustus hasil pemeriksaan ini akan diserahkan ke KPU Kota Bogor.”

Untuk diketahui, Pilkada Kota Bogor diikuti oleh lima pasang calon terdiri atas tiga pasang diusung partai politik dan dua pasang nonpartai. Pasangan Diani-Ru’yat diusung 11 partai politik di antaranya PKS, Golkar, PDIP, dan Partai Patriot.

Pasangan Iis Supriyatin-Ahani diusung oleh Partai Demokrat. Iis yang pengajar di SMPN 4 Kota Bogor merupakan satu-satunya perempuan pada calon wali kota Bogor. Pasangan ini juga didukung oleh Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) dan Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia (PPNUI).

Sedangkan pasangan Dody Rosadi-Erik Irawan Suganda disokong lim partai politik yakni PPP, PKB, PBB, PKPB, dan PAN. Adapun pasangan perorangan pada pilkada tersebut adalah Syafei Bratasondjaja-Akik Darul Tahkik dan Ki Gendeng Pamungkas-AM Chusaeri. (akn)

Hotel Grand Melia Terbakar

27/08/2008 13:22

Hotel Grand Melia Terbakar
Liputan6

Liputan6.com, Jakarta:
Kebakaran melanda Hotel Grand Melia di Jalan H.R. Rasuna Said,
Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (27/8) pukul 11.20 WIB. Namun hingga
berita ini disusun belum diketahui penyebab kebakaran.



Ada 12 mobil pemadam kebakaran yang dikerahkan untuk memadamkan si
jago merah. Api diduga berasal dari ruangan pencucian pakaian yang
terletak di bawah lobi hotel.(IKA/Tim Liputan 6 SCTV)

sudah 11 orang yang mengaku dirinya adalah supriyadi

Kontroversi Andaryoko ‘Supriyadi’ Wisnuprabu

Kontroversi Andaryoko ‘Supriyadi’ Wisnuprabu - Buku Heboh Disusun Hanya dalam 2,5 Bulan

Seperti sosok Andaryoko Wisnuprabu, buku Mencari Supriyadi:
Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno menyita perhatian masyarakat. Apa
sesungguhnya motif penyusunan buku yang ditulis hanya dalam waktu 2,5
bulan itu?

SEMUA bermula dari pertemuan
di Rumah Makan Semarang, Jalan . Sore itu, Senin 14 April, panitia
pementasan Kethoprak Putri China menemui sejumlah pengurus Yayasan
Sobokarti. Selain silaturahmi, anggota panitia juga bermaksud ngangsu
kawruh.


Anton Wahyu K, seorang panitia, kebetulan datang terlambat. Sampai
di tempat pertemuan, seseorang langsung menyambut dengan seloroh:
“Pak Anton tahu nggak pahlawan PETA Supriyadi?”


Lelaki yang juga manajer sebuah toko buku ternama di Semarang itu
menjawab dengan ringan: “Ya tahu dong, itu kan pahlawan yang
memberontak terhadap Jepang, dan sampai sekarang menghilang.”


“Orangnya ada di sini lo,” tukas orang itu sembari
melirik ke arah seorang tua yang duduk di antara mereka. Sementara yang
dilirik hanya tersenyum.


Anton semula tak terlampau menanggapi seloroh itu. Ia menganggapnya
sebagai guyonan pencair suasana belaka. Setelah itu pertemuan dilanjut
dengan sesorah sesepuh Sobokarti yang tak lain adalah lelaki bersenyum
simpul itu. Alih-alih bicara soal kesenian tradisional di Semarang, ia
justru bercerita banyak tentang sejarah perjuangan bangsa. Anton
terkesima dengan paparan lelaki yang belakangan ia ketahui bernama
Andaryoko Wisnuprabu itu.


Andaryoko bercerita tentang pemberontakan PETA dan peristiwa di
seputar proklamasi dengan detail luar biasa. Demikian detail ia merasa
si pencerita seolah turut terlibat di dalamnya. “Mau tidak mau,
saya kembali teringat dengan seloroh seseorang tadi. Benarkah ia
Supriyadi?” papar Anton, di kantornya, Jumat (15/8).


Setelah pertemuan yang mengesankan itu, ia tertarik untuk mengenal
lebih dekat Andaryoko. Anton pun menyempatkan diri menyambangi rumahnya
di Jalan Mahesa Raya, Pedurungan Tengah, Semarang. Di sana, lelaki 89
tahun itu menunjukkan foto-foto lama semasa muda.


Demi mendengar cerita dan melihat foto-foto itu, intuisi Anton
mengatakan, Andaryoko punya banyak kemiripan dengan Supriyadi. Tak
berhenti di situ, ia yang merasa terpikat menawarkan Andaryoko untuk
membukukan paparannya mengenai sejarah Indonesia.


Andaryoko setuju dan Anton pun segera mengontak Baskara T Wardaya
SJ, dosen sejarah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Kepada
Baskara, Anton menyampaikan temuannya, dan menginginkan ia menulis
penuturan Andaryoko.


Baskara dipilih karena ia doktor yang mengkhususkan diri pada kajian
sejarah kontemporer, utamanya peristiwa pascakemerdekaan. Sebagai
peneliti, ia telah menelorkan sejumlah karya di seputar masa itu.


Pada waktu yang hampir bersamaan, Anton juga mengontak Julius
Felicianus, Direktur Galang Press. Gayung bersambut, Galang bersedia
menerbitkan hasil wawancara dengan Andaryoko.


Supersingkat


Kenapa Anton berpayah-payah melakukan itu semua? Sebagai manajer
sebuah toko buku, tidakkah ikhtiarnya itu mengundang syak wasangka?
“Betul, dalam hal ini saya tidak punya kepentingan apa-apa. Saya
hanya berpikir informasi sejarah dari Eyang Andaryoko itu sampai ke
masyarakat. Kalau kemudian dari sisi penjualan buku ini laku keras, itu
bukan tujuan awal,” katanya.


Tanggal 29 April, Baskara dan Andaryoko dipertemukan dalam acara
bedah buku di Vina House, Jl Diponegoro. Mereka yang sama-sama menjadi
pembicara saling mengenal. Serupa dengan Anton, Baskara pun terpikat.
Sejak itu ia langsung melakukan proses wawancara.

Wawancara dilakukan beberapa kali, baik di Semarang, Yogyakarta, maupun Blitar.


Beda dari buku teks sejarah, buku yang kemudian diberi judul Mencari
Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno itu dikerjakan dalam
waktu supersingkat. Dari proses wawancara hingga naik cetak hanya butuh
waktu 2,5 bulan. Untuk mengejar momentum peringatan Hari Kemerdekaan RI
ke-63?

Julius Felicianus tak sepenuhnya menolak sinyalemen itu.


Namun ia mengatakan, meski disusun dalam waktu singkat, buku itu
dikerjakan secara serius. Selama proses penyusunan, berkali-kali
dilakukan perbaikan.


“Hasil wawancara ditranskrip menjadi draf. Draf itu dibagikan
kepada sejumlah orang untuk dikritisi. Tidak hanya sekali, tapi sampai
tiga kali. Dan orang yang diminta mengkritisi juga bukan orang
sembarangan, ada Asvi Warman Adam, Hilmar Farid, dan George Junus
Aditjondro. Masih dalam proses ini, Andaryoko juga sempat dipertemukan
dengan bekas pengawal Bung Karno, Soekardjo Wilardjito,” kata
Julius.


Baskara pun sebagai sejarawan profesional, tak mau mengorbankan
reputasinya. Meski dibatasi waktu, doktor Ilmu Sejarah lulusan
Marquette University, Milwaukee, Winconsin, AS, itu mengaku tetap
menggunakan metodologi sejarah dalam penulisan buku itu.


Baskara melakukan kritik sumber melalui dua langkah. Pertama,
menggunakan catatan kaki sebagai koreksi atas paparan yang disampaikan
Andaryoko. Itu dilakukan agar pembaca tidak menelan mentah-mentah data
dari sejarah lisan tersebut. Kedua melibatkan sejumlah pakar untuk
mengkritisi narasi Andaryoko, antara lain peneliti sejarah dari LIPI
Asvi Warman Adam, dan pakar metodologi penelitian kualitatif George
Junus Aditjondro.


“Dengan demikian, apa yang tersaji dalam buku ini bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dan satu hal yang penting, sejarah
itu bisa ditulis secara multinaratif, dari perspektif yang
berbeda,” papar Baskara.


Paling Heboh


Akhir Juli, buku setebal 230 halaman yang dikerjakan secara
superkilat itu naik cetak. Tanggal 9 Agustus dilanjutkan dengan
peluncuran di Toko Buku Gramedia Pandanaran. Segera setelah
dipublikasikan media massa, buku yang memuat pengakuan Andaryoko
Wisnuprabu sebagai Supriyadi itu pun menjadi perbincangan masyarakat.


Pro kontra yang muncul semakin menaikkan popularitas buku itu.
Masyarakat yang semula tak terlampau meminati sejarah tiba-tiba
terpantik, dan buku Mencari Supriyadi pun laku keras. Di Toko Buku
Gramedia Pandanaran misalnya, hanya dalam hitungan enam hari sudah
terjual sekitar 100 eksemplar.


Melihat respons pasar yang positif, penerbit Galang Press sudah
menyiapkan cetakan kedua. Sama seperti cetakan pertama, cetakan kedua
direncanakan sebanyak 5.500 eksemplar.


“Dibanding buku-buku terbitan Galang Press yang lain, Mencari
Supriyadi yang paling heboh, bahkan dibanding Jakarta Undercover-nya
Moamar Emka sekalipun. Kalau Jakarta Under Cover baru heboh selang
sebulan, Mencari Supriyadi segera setelah diluncurkan,” ungkap
Julius.(Rukardi-77)


Sumber: suaramerdeka.com

----------------------------------------------------------
Tambahan komentar :

Widdi Usada on
Agustus 20th, 2008 02:45

Saya tidak meragukan keilmiahan Dr. Baskara. Dari judul memang Dr.
Baskara tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa Bapak Andaryoko adalah
Tokoh Supriyadi. Atas desakan uji DNA dari masyarakat saya kira dan
saya mohon Bapak Andaryoko tidak berkeberatan, toh tujuan beliau sangat
mulia untuk memberikan bobot sejarah nasional kita. Memang perlu juga
dipertemukan Bapak Andaryoko dengan Bapak-2 sanak saudara dan ahli
waris Tokoh Supriyadi.

ali imron on
Agustus 21st, 2008 10:06

keluarga supriyadi blitar tidak punya file apapun dan hanya memiliki
lukisan dan difoto (yang katanya supriyadi, gambar tsb diterima dari
tri sutrisno, dan saat tri sutrisno ditanya dari mana lukisan supriyadi
itu, jawab tri sutrisno dari cendana/harto…lha ini jadi keathuan lagi
boroknya suharto mungkin dia merekayasa supriyadi dengan mengangkat
supriyadi jadi pahlawan, padahal kematian supriyadi tahun 1945 dan bung
karno tidak mengumumkan supriyadi menjadi pahlawan karena beliau tahu
kalau supriyadi itu masih hidup dan diangkat menjadi menteri TKR. Saat
dipertemukan dengan wilarjito (saksi sejarah yang melihat penodongan 4
jendral saat minta tandatangan bung karno untuk supersemar) wilarjito
sering bertemu andaryoko di istana bogor dan wilarjito tahu persis
andaryoko ada di sekeliling sukarno. Tapi bedanya teman2 memanggil
andaryoko hanya bung karno saja yang memanggil sup…sup saat ditanyakan
koq memanggilnya sup bukan andaryoko…bung karno langsung menjawab ya
dia supriyadi blitar. Makanya para komentator sebaiknya baca buku dulu
atau kalau bisa bertatap muka dan diskusi dengan andaryoko pasti akan
terkesima…karena andaryoko tahu detail saat pemberontakan peta hingga
tragedi supersemar. andaryoko juga tahu persis ada jaksa mati
misterius/ditembak saat mengurus kasus keterlibatan suharto dalam
penyelundupan gula, beras dan mobil dinas di kodam diponegoro. wah
banyak yang off the record yang seharusnya tidak ditulis di buku
“MENCARI SUPRIYADI” terbitan galangpress yogyakarta.


Kontroversi Buku "Mencari Supriyadi"

Narasi Alternatif untuk Kebenaran Sejarah



SP/Stevy Thenu - Andaryoko


Dalam waktu singkat, 5.000 eksemplar buku berjudul Mencari Supriyadi
terjual. Buku karya Dr FX Baskara Tulus Wardaya SJ, terbitan Galang
Press Yogyakarta ini, memang menyulut kontroversi. Sampai-sampai Pemkot
Blitar dan Kepolisian turun tangan untuk membuktikan, siapa sebenarnya
tokoh yang dipaparkan peneliti sejarah di Program Pasca Sarjana
Universitas Sanata Dharma ini.


Adalah Andaryoko Wisnuprabu (89) tokoh sentral dalam buku itu yang
mengaku sebagai tokoh PETA bernama Supriyadi. Oleh Romo Baskara,
kesaksian pembantu utama Bung Karno itu, digambarkan sebagai rekaman
sejarah pemberontakan rakyat Indonesia kepada penjajah waktu itu, dan
perjalanan pengabdian seorang anak bangsa kepada negaranya. Buku itu
sama sekali tidak memuat kontroversi ataupun mencari pembenaran atas
pengakuan Andaryoko.


"Posisi saya, sebagai se- orang peneliti sejarah. Saya merasa narasi
tentang sejarah Indonesia didominasi oleh narasi kekuasaan. Cerita itu
disampaikan untuk melegitimasi kekuasaan, sebagai konsekuensinya,
narasi sejarah itu menjadi mono narasi. Saya merasa dalam situasi
seperti itu kita membutuhkan narasi dari masyarakat, khususnya pelaku
sejarah, atau narasi plural, karena realita itu multidimensional.
Andaryoko ini adalah pelaku sejarah minimal dalam segi pengetahuan. Dan
hanya kebetulan, tokoh ini menyatakan diri sebagai Supriyadi. Jadi
fokus saya adalah mewawancarai tokoh sejarah," papar Baskara.


Baginya, yang paling penting adalah narasi dan keruntutan peristiwa yang klop dengan paparan sebelumnya.


"Kalau ada yang meragukan, itu perkembangan yang bagus. Karena wacana
ini akan terus bergulir. Masyarakat bisa lebih kritis," katanya.


Ihwal pertemuannya dengan Andaryoko, bermula dari sebuah acara budaya di Semarang.


Muncullah tokoh budaya bernama Andaryoko, yang menyinggung banyak hal,
termasuk perjalanan sejarah bangsa dan ketokohan Supriyadi. "Lantas
tokoh ini dipertemukan dengan saya," ujar Romo Baskara.



Bertemu Sukardjo Wilardjito


Kepala Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta ini menjelaskan, Andaryoko yang mengaku sebagai Supriyadi,
tidak bisa dipahami semata-mata sebagai sosok pahlawan yang sudah meng-
hilang sekian puluh tahun, kemudian muncul lagi. Dari interaksi dengan
Andaryoko, Baskara mendapati sesuatu yang berbeda.



Bersambung ke halaman 7


Menurutnya, beberapa orang yang sebelumnya mengaku sebagai Supriyadi,
biasanya memiliki beberapa ciri. Di antaranya, selalu dikaitkan dengan
mistis, hanya bertutur dari segi ego.


Tetapi dalam diri Andaryoko, tingkat rasional dan spiritual cukup
tinggi. Bahkan ketika dipertemukan dengan saksi sejarah peristiwa 11
Maret 1966 di Istana Bogor, Letda Inf Sukardjo Wilardjito, sosok itu
mengenali Andaryoko sebagai "Mas Pri".


"Saya sengaja membawa Andaryoko bertemu Sukardjo Wilardjito, 31 Mei
lalu. Sukardjo yang pernah ditahan selama 14 tahun tanpa proses
pengadilan itu ternyata masih ingat dua sosok di sisi Bung Karno,
Tukimin pembantunya, dan Supriyadi yang sering disapa 'Sup' oleh Bung
Karno. Wilardjito sempat berucap, 'Ternyata Mas Pri!'," kutip Romo
Baskara.


Nama Andaryoko dan statusnya sebagai pembantu Bung Karno-lah yang telah
menyelamatkan Supriyadi. Sebab nama itu masih terus menjadi incaran
Pemerintah Jepang.


Tanya jawab dengan Andaryoko juga direkam dalam bentuk VCD yang
disertakan dalam buku. Dari tanya jawab itu juga terlihat timbul
tenggelamnya nama Supriyadi dan Andaryoko. Juga terlihat penguasaan
bahasa Belanda maupun Jepang Andaryoko. Misalnya, saat Nasution dipecat
dari jabatan KSAD tapi lalu menjadi KSAP, 17 Oktober 1952, Andaryoko
menjawab, "Itu jabatan lebih tinggi. Tapi di situ dia tidak punya bolo (pasukan). Bahasa Belandanya, naar boven te schroneven, diangkat, tapi lalu disekrup. Ini bahasa komando."


Andaryoko lahir 23 Maret 1920. Saat masuk PETA, usianya dibuat lebih
tua tiga tahun. Sehingga jika dirunut sampai tahun 1945, terasa wajar
jika dia adalah pelaku pemberontakan.


Saat melarikan diri dari tentara Jepang, Andaryoko hanya membawa satu
baju dan sebuah samurai asli tentara Jepang. Dia kemudian berhasil
menemui Bung Karno di kediamannya, Pegangsaan Timur 56, setelah sempat
mampir ke Menteng 31, yang menjadi markas PETA.


Pada kesempatan lain, Andaryoko pun menceritakan bagaimana proses
perpindahan Presiden Soekarno ke Yogyakarta. Waktu itu, jelas Romo
Baskara, tempat tinggal Presiden dikawal ketat tentara Belanda. Namun,
rombongan mampu menipu tentara Belanda.


Disinggung bahwa pengakuan Andaryoko ini memicu reaksi dari keluarga
Supriyadi di Blitar, Romo Baskara menegaskan, memang tidak ada
hubungannya. "Jadi kalau ada wacana tes DNA, ya tidak akan ada
gunanya," tegasnya.


Ia pun mempertanyakan, mengapa Jepang kala itu tidak pernah mengumumkan
kematian Supriyadi. Bahkan dalam buku itu disinggung, bahwa Tim UGM
yang dipimpin T Jacob pernah meneliti makam Supriyadi di Blitar, dan
tak menemukan kerangka manusia.



Dikenali Soepardjo Roestam


Di pihak lain, Andaryoko sang tokoh yang kini tinggal di Jalan Mahesa,
Pedurungan, Semarang, mengaku, selama ini merahasiakan identitasnya
dari masyarakat, termasuk keluarganya. "Saya bahkan tidak pernah cerita
kepada anak saya, kalau saya ini Supriyadi," ujar pria sepuh yang masih
tampak segar ini, saat ditemui pekan lalu.


Dia mengaku memiliki bukti-bukti bahwa dia adalah Supriyadi, tokoh PETA
yang dinyatakan hilang secara misterius. Dia juga memiliki banyak foto
semasa masih muda, yang jika dicermati, ada gurat kemiripan dengan
wajah Supriyadi yang banyak kita kenal lewat buku sejarah.
Andaryoko
menegaskan bahwa satu-satunya orang yang mengenali dirinya sebagai
Supriyadi adalah almarhum Soepardjo Roestam, mantan Gubernur Jateng dan
Mendagri, yang sama-sama pejuang PETA.


Munculnya Andaryoko yang mengaku sebagai Supriyadi, sontak menyulut
reaksi keluarga Supriyadi di Blitar. "Bohong jika kakak kami masih
hidup. Sebab dia telah dieksekusi Jepang tanpa ada persidangan," ujar
RK Suroto Darmadi, adik tiri Supriyadi, saat ditemui di kediamannya,
Jalan Supriyadi 46, Kota Blitar. Kabar eksekusi tersebut didapat pihak
keluarga dari teman-teman Supriyadi yang ditangkap oleh Jepang.


Keluarga besar Supriyadi di Blitar siap bertemu Andaryoko untuk
mengecek kebenaran pengakuannya. Menurut Suroto, siapa saja bisa
berkata tentang sejarah dan perjalanan hidup Supriyadi, karena banyak
literatur serta dokumen yang bisa dibaca. "Tapi jika masalah keluarga,
yang bisa mengetahui hanya Supriyadi beserta kami pihak keluarga,"
tantang Suroto.


Terlepas dari semua kontroversi tersebut, bagi Romo Baskara, polemik
yang muncul pasca penerbitan buku 'Mencari Supriyadi' justru dipandang
sebagai hal yang positif oleh biarawan Katolik ini. "Buku ini adalah
awal dari sebuah narasi sejarah yang berbeda dari sebelumnya. Saya
berharap akan ada narasi lainnya," pungkasnya. [152/142/070]


Misteri Supriyadi

Seolah menguak misteri kematiannya yang telah berusia sekitar 63
tahun yang lalu, kembali nama Shudanco Supriyadi muncul kembali dalam
detik-detik menjelang HUT Kemerdekaan RI ke-63 tahun ini. Kematian dari
pemimpin pemberontakan PETA di Blitar ini seolah menjadi bahan
kontroversi yang hingga saat ini belum jelas kepastiannya. Adalah
Andaryoko Wisnu Prabu, seorang pria berusia 89 tahun yang tinggal di
Semarang, yang membuka kembali tabir bahwa dia lah Supriyadi yang
sebenarnya. Namun dari pihak keluarga Supriyadi di Blitar memiliki
jawaban lain, bahwa kerabat mereka itu telah dieksekusi oleh pihak
Jepang di daerah Tuban. Sumber-sumber lain mengatakan bahwa Supriyadi
justru meninggal di dekat Gunung Kelud dalam usaha pelariannya. Manakah
fakta yang benar dari seorang Supriyadi ini? Hingga saat ini, belum ada
bukti-bukti yang menunjukkan dimanakah makam Supriyadi, atau bila
beliau masih hidup, dimanakan tempat bermukimnya. Yang jelas, beliau
merupakan salah satu Pahlawan Nasional berdasarkan Keppres No.
063/TK/1975.

Supriyadi dilahirkan di Trenggalek, Jawa Timur pada 13 April 1923.
Nama kecilnya adalah Priambodo, namun karena sering sakit, namanya
diganti menjadi Supriyadi. Setelah menamatkan SMP ia meneruskan
pendidikannya untuk menjadi seorang birokrat mengikuti jejak sang ayah,
yang bertugas sebagai wedana Blitar. Belum sempat menamatkan
sekolahnya, Asia Raya dikejutkan dengan serangan cepat militer Jepang,
termasuk ke wilayah Indonesia. Kondisi ini memutar nasib Supriyadi
untuk memilih pendidikan militer Jepang yang bernama PETA di Tangerang,
Jawa Barat. Selanjutnya, ia ditugaskan ke wilayah Blitar dengan pangkat
Shudanco. Disinilah rasa nasionalisme Supriyadi dkk terketuk ketika
melihat penderitaan rakyat Blitar saat itu.


Ketika Bung Karno berkunjung ke rumah keluarganya di Blitar,
prajurit-prajurit PETA ini menyampaikan keinginan mereka untuk
memberontak kepada militer Jepang, dan memohon pendapat dari Bung
Karno. Bung Karno mengatakan bahwa setiap perbuatan akan ada
konsekuesinya. Namun, Supriyadi, yang merupakan pimpinan
pemberontak, meyakinkan bahwa usaha mereka ini akan berhasil.


Menurut rencana, pemberontakan dilakukan lebih awal, yakni 5
Februari 1945 saat dilakukan latihan bersama (Daidan) batalyon PETA
Jawa Timur di Tuban. Namun, rencana ini gagal, karena Jepang mendadak
membatalkan jalannya latihan. Perwira PETA yang terlanjur datang ke
Tuban dipulangkan masing-masing ke kotanya.


Syahdan pada 9 Februari 1945, Supriyadi menemui guru spiritualnya,
Mbah Kasan Bendo. Ia mengutarakan maksud untuk melawan Jepang. Konon,
saat itu Kasan Bendo memintanya untuk bersabar dan menunda gerakan
hingga 4 bulan. “Tapi kalau ananda mau juga melawan tentara
Jepang sekarang, saya hanya dapat memberikan restu kepadamu, karena
perjuanganmu itu adalah mulia.”


Pesan itu disampaikan Supriyadi kepada rekan-rekannya. Setelah
sempat menemui pimpinan PUTERA, Soekarno dan gagal mendapat restu,
Supriyadi mengadakan rapat terakhirnya 13 Februari 1945 di kamar
Shudanco Halir Mangundjidjaja. Hadir Shudanco Moeradi, Chudanco
Ismangil, Bundanco Soenanto dan Bundanco Soeparjono. Hasilnya,
pemberontakan akan dilakukan besok. Mereka masing-masing tahu risikonya
bila gagal, paling ringan disiksa dan paling berat hukuman mati.


Rencana ini terkesan tergesa-gesa karena Supriyadi dan
rekan-rekannya khawatir tindak tanduk mereka telah dimonitor Jepang.
Shudanco Halir menceritakan di Blitar baru saja datang satu gerbong
anggota Kempetai yang baru datang dari Semarang. Mereka menginap di
Hotel Sakura. Supriyadi cs menduga, kedatangan Kempetai untuk menangkap
dirinya dan rekan-rekannya.


14 Februari 1945, pukul 03.00, senjata dan peluru dibagi-bagikan ke
anggota PETA. Jumlah yang ikut serta 360 orang. Setengah jam kemudian,
Bundanco Soedarmo menembakkan mortir ke Hotel Sakura. Hotel direbut dan
tentara PETA menurunkan slogan “Indonesia Akan Merdeka”
(janji proganda Jepang) dan menggantinya dengan spanduk
“Indonesia Sudah Merdeka.” Merah putih juga dikibarkan.


Pasukan PETA melucuti senjata para polisi dan membebaskan tawanan
dari penjara. Beberapa orang Jepang yang ditemui dibunuh. Mereka lalu
bergerak menyebar ke tempat yang sudah ditentukan sebelumnya. Namun
entah kenapa, rencana penyebaran malah gagal. Seluruh pasukan PETA
seusai serangan justru berkumpul di Hutan Ngancar, perbatasan Kediri.


Sejak awal, Jepang berhati-hati dalam menangani pemberontakan PETA.
Mereka tidak terlalu ofensif dan cenderung menggunakan jalan persuasif
untuk menjinakkan Supriyadi dan rekan-rekannya. Hal ini dilakukan demi
menghindari tersulutnya kemarahan Daidan (Batalyon) PETA yang lain yang
bisa saja malahan membuat pemberontakan meluas dan merembet ke
mana-kemana.


Setelah kota Blitar berhasil diduduki kembali, langkah diplomasi pun
dibuat. Kolonel Katagiri yang ditunjuk untuk memimpin operasi
penumpasan mendatangi pasukan Supriyadi yang bertahan di Hutan Ngancar,
perbatasan Kediri. 19 Februari 1945, di Sumberlumbu, Katagiri bertemu
dengan Muradi, salah satu pemimpin pemberontak. Pasukan PETA menawarkan
penyerahan diri bersyarat. Adapun syaratnya adalah:


1. Mempercepat kemerdekaan Indonesia


2. Para tentara PETA yang terlibat pemberontakan takkan dilucuti senjatanya.


3. Aksi tentara PETA yang dilakukan pada 14 Februari 1945 di Kota Blitar takkan dimintai perrtanggungjawaban.


Katagiri menyetujui syarat tersebut. Sebagai tanda sepakat, ia
menyerahkan pedang perwiranya kepada Muradi untuk disimpan. Muradi
beserta seluruh pasukannya kembali ke Blitar.


Nah, pada saat kembali dari Ngancar inilah, Supriyadi terakhir kali
terlihat. Persisnya ia hilang di dukuh Panceran, Ngancar. Ada dugaan
dia diculik secara diam-diam dan dibunuh Jepang di Gunung Kelud, namun
berkembang juga isu bahwa Supriyadi sengaja melarikan diri. Mungkin ia
memang sudah tak yakin Jepang akan memenuhi syarat yang diajukan PETA.


Jika itu yang ia rasakan, Supriyadi benar. Kesepakatan Sumberlumbu
ternyata tak diakui oleh pimpinan tentara Jepang di Jakarta. Mereka
meminta Kempetai tetap menuntut para pelaku diproses. Dari hasil
pilah memilah dan negosiasi, diberangkatkanlah 78 tentara PETA ke
Jakarta untuk menghadapi pengadilan militer Jepang. Anggota lain yang
terlibat hanya dikarantina di mess.

Hasil dari sidang militer, sebanyak 6 orang dijatuhi hukuman mati, 6
orang diganjar hukuman seumur hidup dan sisanya dihukum antara beberapa
bulan sampai beberapa tahun. Tak lama kemudian, Shudanco Moeradi,
Chudanco Ismangil, Shudanco Halir Mangkoedjidjaja, Bundanco Soenanto
dan Bundanco Soeparjono menjalani eksekusi mati dengan dipenggal
kepalanya di Eereveld, Ancol.


Pada tanggal 6 Oktober 1945, pemerintah RI mengumumkan bahwa
Supriyadi diangkat sebagai Menteri Keamanan Negara pada kabinet I.
Namun, ia tak kunjung tiba dan posisinya digantikan oleh
Muhmmad Soeljoadikusuma pada 20 Oktober 1945. Hingga saat ini,
Supriyadi belum jela diketahui kondisinya, hanya saja ia pernah
berpesan kepada ibunya beberapa hari sebelum pecahnya pemberontakan,
apabila ia tidak kembali ke rumah dalam waktu 5 tahun, itu tandanya
dirinya sudah meninggal dunia.

Adik Tiri Supriyadi Kesal Harus Selalu Cek

Selasa, 12 Agustus 2008 | 21:47 WIB


JAKARTA, SELASA - Pengakuan
Andaryoko Wisnu Prabu bahwa dirinya adalah Supriyadi, pahlawan nasional
asal Blitar yang dicatat sejarah menghilang, mendapat tentangan dari
adik tiri Supriyadi, Utomo Darmadi. Utomo menyebut bahwa pengakuan
Andaryoko itu sama sekali tidak benar. Utomo bahkan menyindir Andaryoko
sebagai orang yang hanya mengejar sensasi.

"Dia itu ngaku-ngaku,
nggak bener itu," ujar Ki Utomo darmadi kepada persdanetwork di
Jakarta, Selasa (12/8). Dikatakan Utomo Darmadi, dirinya langsung tahu
bahwa Andaryoko itu bukanlah Supriyadi saat melihat wajahnya di
televisi. Menurut Utomo, kalaupun berubah dari orang muda ke tua,
bentuk wajahnya tidak akan jauh berubah. Seperti telinganya.

"Tadi
saya sepintas melihat di TV, lha liat gambarnya kelihatan memang bukan.
Saya adiknya kan tahu rupanya Supriyadi," lanjut dia. Utomo menyebut
bahwa ini bukan kali pertama ada orang yang mengaku-ngaku sebagai
Supriyadi. Ia menyebut sudah puluhan kali ada kejadian serupa. Dan yang
diakui Utomo membuat dirinya kesal karena dirinya yang selalu disuruh
mengecek kebenaran dari orang yang mengaku-ngaku tersebut.

Ia
mencontohkan, saat Try Soetrisno masih menjabat sebagai wakil presiden,
dirinya mendapat surat dari Kolonel Wiguno dari AURI di Jogjakarta.
Inti surat itu kata Utomo bahwa ditemukan Supriyadi di Lampung yang
kemudian dibawa ke Jogjakarta. "Saya bilang ora bener. Saya lalu ke
sana dan memang bukan. Itu sudah berapa puluh kali orang ngaku. Dan yah
itu yang membuat kesel, saya disuruh menyaksikan yang gak bener,"
kenang Utomo.

Utomo menyebut adalah urusan pemerintah untuk
menangani orang-orang yang menurutnya senang membikin sensasi seperti
itu. Ia menegaskan bahwa sebagai pihak keluarga Supriyadi, dirinya
tidak berniat melakukan tindakan apa-apa terhadap orang-orang yang
mengaku-ngaku sebagai kakaknya. "Itu urusan pemerintah. Mereka itu kan
orang sekarng suka sensai, karena pelakunya sudah nggak ada," tambah
dia.

Kalaupun nantinya Andaryoko tetap mengaku bahwa dirinya
adalah Supriyadi, Utomo Darmadi mengaku siap dipertemukan langsung.
Utomo menyebut bahwa dirinya sudah ditawari oleh sejarawan Baskara T
Wardaya untuk bertemu langsung dengan Andaryoko. "Kalau seperti itu yah
suruh saja hadap-hadapan sama saya. Yah saya adiknya masak nggak ngerti
rupanya. Lha wong liat di TV memang bukan," sambung dia.

Lalu,
bagaimana cara Utomo mengetes apakah Andaryoko adalah Supriyadi palsu
atau benaran ? Utomo menyebut dulu ia pernah melakukan hal serupa
dengan cara mengetes apakah yang bersangkutan bisa berbicara, mengenal
istilah-istilah Belanda dan Jepang seperti Supriyadi. Namun, kata dia,
itu tidak terlalu menjamin. Ia lebih percaya dengan penglihatan bentuk
fisik langsung dari yang mengaku-ngaku Supriyadi tersebut. "Katanya
bisa basa Jepang, coro Londo. Tapi kan dari gambarnya saya tahu itu gak
bener," lanjut Utomo.

Utomo percaya bahwa secara logika, kakaknya
itu memang sudah meninggal pada tahun 1945 silam. Namun, kata dia,
adalah kepintaran dari pihak Jepang yang kemudian mengaburkan kematian
Supriyadi dengan menyebut bahwa Supriyadi bisa ilmu menghilang. "Jepang
pintar, ngerti kejiwaan orang jawa. Lalu crita bahwa Supriyadi iso
ngilang. Lha opo bapakku kuwi gendruwo, duwe anak isa ngilang. Kita
rasional saja lha," ujarnya.

Ia lalu mengisahkan, bahwa bapaknya
dihukum di penjara Kediri. Kemudian, keluarganya, ibu, dirinya dan
adik-adiknya ditahan di kertosono di rumah yang dijaga ketat dan tidak
diperbolehkan keluar sampai proklamasi. "Kalo nggak ada proklamasi,
September itu sudah ada rencana pembunuhan besar-besaran terhadap
keluarga pemberontak itu," kenangnya.

Menurut Utomo, kalaupun
sudah meninggal dan tidak ada makamnya, itu adalah hal yang wajar
selama pendudukan zaman Jepang. "Saya beritahu, zaman jepang itu, orang
mati yang gak ngerti makamnya gak pirang-pirang. Pahlawan nasional dr
Muwardi, sampe sekarang makamnya ga ketahuan. Itu orang tanya begitu,
itu nanya debat kusir," kata dia.

Mencari Supriyadi - KEsaksian Pembantu Utama Bung Karno


inilah sejarah alternatif bagi bangsa indonesia.


romo baskara t wardaya sj menulisnya. mencari supriyadi:kesaksian pembantu utama bung karno. siang tadi toko buku gramedia jogja membedah buku itu.


ruangan cilik itu mendadak sesak oleh orang-orang yang penasaran dengan andaryoko wisnuprabu yang
mengklaim dirinya adalah supriyadi. tak percaya dirinya supriyadi, ia
pun harus menjalani ‘tes’ untuk menyebutkan 6 oran sodancho lain, dan
juga bahasa jepang maupun belanda.


tokoh PETA yang sering disebut-sebut dalam buku sejarah telah hilang
usai perlawanan Indonesia terhadap Jepang pada 1945 di bilitar itu
memang kembali muncul. sejak bertemu dengan wakil residen semarang,
wongsonegoro di semarang, namanya berubah menjadi andaryoko. katanya,
pak wongso lah yang memintanya untuk mengganti namanya. sementara bung
karno tetap saja memanggilnya dengan supriyadi, atau menyingkatnya
sebagai sup saja.


“saya ini sup yang suka sop,” kelakarnya.


andaryoko wisnuprabu ini lahir di salatiga, jawa tengah, pada 22
maret 1920. ia adalah anak wedana salatiga yang bernama pujo kusumo.
sementara supriyadi yang kerap disebut dalam buku sejarah, lahir di
trenggalek pada 13 april 1923. ia juga anak wedana blitar yang bernama
darmadi.


mungkin hanya perkara nama. tapi lebih dari itu, yang menjadi titik
penting adalah ketokohan supriyadi dalam panggung sejarah indonesia.
romo baskara, yang menulis buku ini, juga pak asvi warman adam juga
bilang, ada kemungkinan terdapat dua supriyadi di antara ratusan
anggota PETA yang memberontak di Blitar. toh, romo bas enggan
berpolemik pada keaslian supriyadi yang diklaim oleh keduanya.
barangkali, itu sebabnya, ia menjuduli bukunya dengan mencari supriyadi, bukannya ini dia supriyadi atau supriyadi ketemu. :)


tetap saja, kemunculan buku yang ditulis romo bas ini menuai kesimpangsiuran. utomo darmadi,
adik tiri surpiyadi blitar, misalnya. ia bilang bahwa ini bukan pertam
kalinya ada orang yang mengaku sebagai supriyadi. ia tahu persis
bagaimana supriyadi, kakak tirinya.


pak asvi juga
punya komentar lain. menurutnya, bagaimana mungkin orang seusia
andaryoko tak memuncratkan istilah belanda dalam perbincangannya dengan
romo bas. mestinya, orang seusia dia yang sempat mengenyam jaman
belanda dan jepang, mestinya ada satu-dua istilah belanda maupun jepang
yang ikut tertutur.


siapapun andaryoko dengan kemunculannya yang tiba-tiba,
rasanya patut diapresiasi. setidaknya, dari galian sejarah romo bas
dengan andaryoko, memunculkan sejarah alternatif buat indonesia. dus,
sejarah ini bukan milik penguasa saja.


Pensiunan Karesidenan Semarang Mengaku Supriyadi

Selasa, 12 Agustus 2008 | 20:19 WIB




SEMARANG, SELASA -
Andaryoko Wisnuprabu (89), seorang pensiunan sekretaris Karesidenan
Semarang, Jawa Tengah mengaku dirinya adalah Supriyadi, mantan Menteri
Keamanan Rakyat sekaligus Panglima Tentara Keamanan Rakyat tahun 1945.

Ketika
ditemui di kediamannya di Pedurungan, Semarang, Selasa (12/8),
Andaryoko mengungkapkan tidak khawatir jika publik tidak
mempercayainya. Saya hanya mengatakan yang sebenarnya. "Kalau ada orang
lain yang tidak setuju, silahkan saja, tetapi seharusnya mereka juga
punya bukti, tidak asal omong saja, " ujarnya.

Andaryoko juga
memperlihatkan beberapa bukti yang dimilikinya berupa foto dirinya yang
mirip dengan foto yang tertera di buku-buku ilmu sejarah. Dalam foto
itu, ia tidak berkumis. Ia juga menunjukkan foto dirinya dengan kumis
yang tidak jauh berbeda dengan foto pertama. Kumis itu dimaksukan oleh
Andaryoko untuk menyembunyikan identitas dirinya.

Bukti lain
terkait identitas dirinya sebagai Supriyadi tidak dimiliki oleh
Andaryoko. Ia mengatakan sengaja tidak menyimpan identitas aslinya agar
tidak diketahui orang lain.

Andaryoko menyebutkan alasannya
menyembunyikan identitas sebagai Supriyadi karena menganggap
pascakekalahannya memimpin pemberontakan PETA tahun 1945, situasi tidak
aman. "Dulu lebih tepatnya karena malu, kami waktu itu kalah karena
kurang personil dan persenjataan. Sekarang, saya kira situasi sudah
memungkinkan untuk menceritakan yang sebenarnya, jadi saya ungkap
semuanya, " tuturnya.

Cucu Andaryoko, Bachtiar (30) menyebutkan,
sebenarnya Andaryoko sudah mulai menceritakan perihal Supriyadi
kepadanya sejak tahun 2003. Waktu itu saya masih belum percaya. "Mulai
saat itu, saya selalu mengamati tingkah laku eyang dan
kegiatan-kegiatannya. Sepertinya memang benar karena semuanya
menguatkan. Eyang tahu persis kejadian dengan detail dan bisa
menjelaskannya dengan baik, " katanya.

Bachtiar mengungkapkan,
tidak ada yang berbeda setelah Andaryoko mengungkapkan identitasnya
sebagai Supriyadi. Ia hanya mengingatkan eyangnya akan risiko yang akan
ditanggung setelah pengungkapan ini.

Supriyadi Masih Perlu Dicari

Selasa, 12 Agustus 2008 | 20:44 WIB



YOGYAKARTA, SELASA
- Perjalanan hidup Supriyadi yang telah ditetapkan sebagai pahlawan
nasional karena telah memimpin pemberontakan Pembela Tanah Air atau
PETA di Blitar tahun 1945, hingga kini masih menjadi misteri. Banyak
orang kemudian menyatakan diri sebagai Supriyadi. Masih ada ruang
kosong dalam sejarah bangsa tentang kisah hidup dari Supriyadi yang
mengusik rasa ingin tahu dari masyarakat

Dalam buku bertajuk Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno,
ahli sejarah dari Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata
Dharma, Baskara T Wardaya SJ menulis hasil wawancara dari Andaryoko
Wisnuprabu (88) yang mengaku adalah Supriyadi. Melalui buku tersebut,
Baskara ingin mendorong wacana lebih lanjut tentang Supriyadi dan
pengaruhnya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

"Kalaupun
nantinya dia ternyata bukan Supriyadi, keterangannya tetap layak
disimak karena mampu memberi informasi untuk melengkapi narasi atas
peristiwa krusial yang terjadi di bangsa ini. Buku ini berusaha memberi
salah satu kemungkinan jawaban tentang misteri Supriyadi dengan
menggunakan bahan sejarah lisan," kata Baskara saat ditemui di kampus
Pascasarjana Sanata Dharma, Selasa (12/8).

Sejarah, lanjut
Baskara, tidak cukup hanya ditulis berdasarkan bahan tertulis. Apalagi
jika bahan yang dipakai dalam penulisan sejarah tersebut melulu berasal
dari tokoh-tokoh pemenang di lapisan masyarakat atas. Suara dari mereka
yang tersembunyi serta terbungkam dari sejarah seperti pernyataan
Andaryoko perlu diwadahi. "Pernyataannya menjadi sumber pelangkap atau
materi alternatif bagi narasi historis seputar masa kepemimpinan
Sukarno," tambahnya.

Misteri Supriyadi semakin mengundang rasa
ingin tahu karena pada tahun 1945, Presiden Sukarno menunjuk Supriyadi
sebagai menteri keamanan rakyat pada kabinetnya yang pertama.
Selanjutnya Supriyadi juga ditunjuk sebagai panglima tentara keamanan
rakyat. Padahal tidak ada kejelasan tentang hidup dan matinya
Supriyadi. Pemerintah orde baru kemudian menganggap Supriyadi telah
mati dengan menetapkan sebagai pahlawan nasional pada tahun 1975.

Menurut
Baskara, kehadiran Andaryoko tidak hanya penting, tetapi juga menarik
karena bisa memutus mitos seputar keberadaan Supriyadi. Pernyataan
Andaryoko bisa membuka kesempatan untuk melihat sejarah dari prespektif
masyarakat, bukan monopoli penguasa. "Jangan cepat membungkam suara
yang berbeda. Beri kesempatan bersuara, termasuk jika nantinya ada
Supriyadi lain, yang diperlukan hanya kajian akademis," kata Baskara.

Baskara
mengaku awalnya tidak percaya dengan pernyataan Andaryoko. Namun
Andaryoko berbeda dengan tokoh lain yang mengaku sebagai Supriyadi.
Tokoh lain hanya menokohkan Supriyadi sebagai tokoh mistis dengan
sentrum pada tokoh Supriyadi. Namun tokoh lain itu tidak bisa
mengaitkan keberadaan Supriyadi dengan konteks sejarah yang lebih luas.

Andaryoko
justru memaknai Supriyadi dalam konteks sejarah yang lebih luas. Dia
sekaligus menjadi bukti dampak dari pembungkaman tidak langsung oleh
pemerintah yang berkuasa. Dari awalnya takut kepada Jepang, Andaryoko
kemudian memilih bungkam di zaman orde baru karena takut kedekatannya
dengan Sukarno membawanya ke penjara.

Mencari Supriyadi


[ Kamis, 14 Agustus 2008 ]






Kian Yakin setelah Fasih Berbahasa Belanda dan Jepang


Andaryoko Wisnuprabu, warga Semarang, bikin geger setelah
mengaku sebagai Supriyadi, pahlawan nasional yang lebih dari 60 tahun
menghilang. Apa kesan Dr Baskara T. Wardaya, penulis buku Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno, tentang sosok orang yang memberi inspirasi bukunya itu?


ERWAN WIDYARTO, Jogja


''Dia orang yang jujur dan baik,'' kata Baskara T. Wardaya saat ditanya kesannya tentang Andaryoko Wisnuprabu.

Sejarawan yang akrab disapa Romo Baskara itu yakin bahwa Andaryoko yang kini berusia 88 tahun tersebut adalah shodanco
Supriyadi. Sejarawan lulusan Marquette University, Wisconsin, AS,
tersebut juga mengaku bahwa pengakuan Andaryoko adalah hal yang sangat
penting bagi penulisan sejarah Indonesia.

''Benar atau tidak bahwa dia adalah Supriyadi, apa yang disampaikan Andaryoko tetap penting,'' katanya kepada Radar Jogja (Grup Jawa Pos) kemarin (13/8).

Sebagai
sejarawan, Romo Baskara memang tidak boleh percaya 100 persen bahwa
Andaryoko adalah Supriyadi yang memimpin pemberontakan Peta (Pembela
Tanah Air) di Blitar pada 1945. ''Untuk percaya 100 persen, harus ada
fakta keras (hard fact) yang benar-benar faktual,'' tegasnya.

Karena
itu, sejumlah verifikasi pun dilakukan Baskara. Langkah itu dilakukan
untuk menguatkan serta meyakinkan dirinya bahwa Andaryoko Wisnuprabu
punya kaitan dengan sejarah Peta maupun sejarah Indonesia.

Misalnya,
Andaryoko punya samurai di rumahnya, punya foto-foto masa lalu, dan
bisa berbahasa Jepang. ''Sering istilah Jepang yang dia pakai dan saya
tulis salah dalam draf langsung dia koreksi,'' cerita sejarawan yang
menawarkan sejarah lisan (life history) itu.

Baskara juga
mengecek data dengan Mayjen Khaerul Fathullah. Orang itu memberikan
penegasan lewat surat bermeterai bahwa Andaryoko adalah Supriyadi,
yaitu orang yang memimpin pemberontakan Peta di Blitar, 14 Februari
1945.

Fakta makin kuat bahwa Andaryoko adalah Supriyadi
ditunjukkan Andaryoko saat bertamu ke rumah Baskara di Jogja.
Dikatakan, 1 Juli 2008, Andaryoko ke Jogja. Dia lupa bercerita satu hal
kepada Baskara yang memang sedang menyusun buku Mencari Supriyadi.
''Nah, saat mampir ke rumah saya itu, dia bicara dengan seorang pastor
Belanda di rumah saya dengan bahasa Belanda,'' tegasnya.

Pastor
itu berusia 90 tahun atau selisih dua tahun dari Andaryoko yang
kelahiran 23 Maret 1920. Faktor bahasa tersebut -terutama Jepang dan
Belanda- tidak dikuasai oleh ''mereka'' yang selama ini mengaku sebagai
Supriyadi. Dalam sejarah dituliskan Supriyadi pernah bersekolah di MULO
di Kota Magelang, Jawa Tengah.

Menurut Andaryoko, di Magelang, Supriyadi tidak bersekolah di MULO, tapi MOSVIA (Middelbare Opleidingschool voor Indische Ambtenaren), sehingga dia bisa berbahasa Belanda.

Baskara
juga mengaku bahwa Supriyadi adalah nama kecil Andaryoko Wisnuprabu.
Dia biasa dipanggil Sup atau Mas Pri. Hanya, ketika pada Mei-Juni 1945
bertemu Wakil Residen Semarang Wongsonegoro dan ditugaskan bekerja di
Keresidenan Semarang, dia diminta berganti nama. Wongsonegoro bersedia
menerima, asalkan nama Supriyadi diganti. Alasannya, kalau tidak
diganti, Wongsonegoro-lah yang akan mendapat kesulitan dari pihak
Jepang karena menerima seorang pemberontak.

''Supriyadi pun
mengganti namanya dengan Andaryoko Wisnuprabu itu. Juga, memelihara
kumis. Tapi, kalau ke Jakarta dan bertemu Bung Karno, dia tetap
Supriyadi dan biasa dipanggil Sup,'' ungkap Baskara.

Baskara
''mendapatkan'' Andaryoko secara kebetulan lewat Anton Wahyu, manajer
Toko Buku Gramedia di Semarang, akhir Mei 2008. Manajer toko itu
menjadi wakil ketua panitia pentas ketoprak kolosal Putri China
karya Romo Sindhunata. Saat bertemu tokoh-tokoh budaya Semarang, dia
diminta menemui sesepuh mereka yang disebut sebagai Eyang Andar. Eyang
Endar itu ketua umum Perkumpulan Kesenian Sobokarti.

Saat ketemu itulah terungkap penuturan sejarah yang detail seputar sodancho
Supriyadi. Diceritakan bahwa Supriyadi itu masih hidup dan berkiprah
aktif di tengah masyarakat. Mendapat penuturan semacam itu, sang
manajer toko menghubungi Baskara yang memang menaruh perhatian pada
sejarah Indonesia periode 1945 -sampai saat ini.

Mulailah
Baskara melakukan wawancara dan verifikasi terhadap Andaryoko.
Termasuk, mengajak ke tempat-tempat yang diyakini sebagai tempat
persinggahan Supriyadi sewaktu berjuang dulu.

Meski yakin
penuturan Andaryoko jujur dan benar, Baskara menegaskan bahwa dirinya
tidak berpretensi untuk mengklaim bahwa Andaryoko itulah Supriyadi.
Karena itu, dia menegaskan bahwa buku yang ditulisnya diberi judul Mencari Supriyadi, bukan Ini Dia Supriyadi.

''Saya
juga wawancarai semua pelaku sejarah, termasuk yang mengaku diri
sebagai Supriyadi. Silakan saja dicemati,'' ujar Romo yang pernah
mengajar di Xavier High School di Mikronesia, Kepulauan Pasifik,
tersebut.

Tugas dirinya sebagai sejarawan, kata dia, hanya ingin
mengingatkan bahwa sejarah jangan dimononaratifkan. Jangan ada monopoli
ide, monopoli narasi dalam sejarah.

''Kehadiran narasi Andaryoko
sebagai pelaku sejarah dan sebagai Supriyadi harus diletakkan dalam
kepentingan sebagai narasi sejarah yang melengkapi narasi-narasi
sejarah yang sudah ada. Biarkan masyarakat berpikir dan mencermati mana
narasi yang bisa dipercaya dan benar. Sejarah itu harus kaya
perspektif. Harus multinarasi,'' urainya.

Yang jelas, kata
Baskara, narasi yang disampaikan Andaryoko itu konsisten. Dia bisa
menunjukkan tempat-tempat di Blitar sebagai lokasi pemberontakan dulu.
Dia bisa menceritakan itu semua dengan komplet.

Baskara juga menegaskan bahwa Andaryoko itu berbeda dari orang-orang yang selama ini mengaku sebagai Supriyadi.

Setidaknya,
kata dia, ada tiga perbedaan jelas. Pertama, orang yang mengaku
Supriyadi selalu mengklaim sebagai tokoh mistis atau tokoh spiritual.
''Tapi, Andaryoko tidak. Dia rasional. Tidak mistis, bisa hilang dan
seterusnya,'' katanya.

Kedua, orang yang selama ini mengaku
sebagai Supriyadi selalu menempatkan dirinya sebagai pusat. Dia sakti
dan penting. Andaryoko tidak. ''Andaryoko hanya bagian kecil dari
sejarah Indonesia. Dia hanya orang yang punya ide besar tentang
Indonesia. Dan dia hanya ingin sejarah Indonesia diluruskan. Bahkan,
dia menegaskan, kalau ada yang mengaku Supriyadi, dipersilakan,''
ungkap Baskara.

Yang ketiga, karena orang yang mengaku Supriyadi
biasanya menjadikan dirinya sebagai pusat, menjadi sentral, pengetahuan
mereka pun hanya tentang lokalitas di mana dia berada. Andaryoko
berbeda. Dia bisa memberikan penjelasan arus dinamika sejarah Indonesia
secara baik. Dia bisa menunjukkan lokasi pemberontakan di Blitar dan
bisa menjelaskan saat bersama Bung Karno.

Bahwa fakta-fakta
sejarah Indonesia yang diceritakan Andaryoko berbeda dari fakta sejarah
formal yang telah ada selama ini, menurut Baskara, itu bukan sesuatu
hal yang harus dikontroversikan. Misalnya, fakta Supersemar di Istana
Bogor, penyusunan naskah Proklamasi, maupun pengerek bendera Merah
Putih saat kemerdekaan.(el)

Budaya Ngupil Jorok-kah?

Unique USB Fan

Terminator Building

Korban Penculikan Jadi Caleg Gerindra

23/08/2008 17:39

Korban Penculikan Jadi Caleg Gerindra
Liputan6

Liputan6.com, Jakarta:
Ibarat pepatah, hidup adalah sebuah pilihan. Hal inilah yang dilakukan
Desmon Mahesa salah seorang aktivis korban penculikan. Sepuluh tahun
lalu ia pernah mendapat ancaman penculikan. Namun kini Desmon justru
bergabung dengan Gerindra, sebuah partai yang dimotori Prabowo Subianto
dan Muchdi PR.


Desmo dijadikan calon legislatif untuk daerah Kalimantan Timur.
Selain dia, ada pula Pius Listrulanang yang dulu bergabung dengan
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Kini Pius justru telah berpindah
partai dan menjadi caleg Gerindra untuk wilayah Nusa Tenggara Timur.


Banyak pihak mempertanyakan pilihan politik yang ditempuh Desmon dan
Pius. Tapi, apapun yang menjadi pilihan politik para mantan aktivis ini
tentu membawa pandangan tersendiri di masyarakat.(IAN/Tim Liputan 6
SCTV)

Kasus Bom Bali I Amrozi Cs Tetap Akan Dieksekusi


18/08/2008 05:26
Kasus Bom Bali I Amrozi Cs Tetap Akan Dieksekusi




Liputan6.com, Jakarta: Pengajuan judicial review
tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati yang diajukan Tim Pembela
Muslim tidak akan memepengaruhi jadwal eksekusi. Hal tersebut
dinyatakan Jaksa Agung Hendarman Supandji, Ahad (17/8) pagi di Jakarta.
Menurutnya, pengajuan uji materiil ke Mahkamah Agung tidak berpengaruh
secara hukum terhadap rencana eksekusi terpida mati kasus bom Bali I.



Ditambahkan Hendarman, bila memang waktunya telah dirasa tepat, ketiga
terpidana yaitu Amrozi, Imam Samudra, dan Muchlas segera dieksekusi.
Kendati demikian, Jaksa Agung belum dapat memastikan saat eksekusi
karena belum menerima salinan putusan dari Pengadilan Negeri Denpasar,
Bali [baca: Perintah Eksekusi Amrozi Cs Belum Turun].(ADO/Tim Liputan 6 SCTV)

Seorang Pemuda Terobos Upacara HUT RI


17/08/2008 16:54 HUT RI

Seorang Pemuda Terobos Upacara HUT RI


Liputan6.com, Ambon:
Seorang pemuda berPemuda yang menerobos upacara HUT RI, Ambon, Maluku. baju oranye menerobos lapangan Merdeka, Ambon,
Maluku, saat berlangsung upacara peringatan hari kemerdekaan RI, Ahad
(17/8). Pria yang diduga aktivis Republik Maluku Selatan ini langsung
menuju podium kehormatan tempat Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu
dan pejabat pemerintah daerah lainnya mengikuti upacara. Karnelius
sempat mengatakan kepada Gubernur Maluku bahwa bendera yang seharusnya
dikibarkan adalah bendera RSM bukan Merah Putih.


Aparat keamanan pun langsung meringkus Karnelius Sapasuru. Warga
kawasan Batu Meja Sirimau, Kota Ambon segera dibawa ke Markas
Kepolisian Resort Ambon. Berdasarkan catatan polisi, Karnelius
sebelumnya pernah ditangkap pada 25 April lalu karena terlibat
penyebaran selebaran RMS. Namun, Kapolda Maluku menyatakan Karnelius
menderita kelainan jiwa sehingga tak bisa diproses hukum.(IAN/Tim
Liputan 6 SCTV)

Jelang HUT RI, Ribuan Bocah Menggambar di Jalan


14/08/2008 13:23 HUT RI

Jelang HUT RI, Ribuan Bocah Menggambar di Jalan




Liputan6.com, Solo: Sebanyak 1.945 anak dari berbagai
sekolah dasar dan taman kanak-kanak di Solo, Jawa Tengah, belum lama
ini menggambar di aspal ruas Jalan Kadipiro. Beragam coretan pun mereka
tuangkan dalam rangka menyambut HUT ke-63 Kemerdekaan Indonesia, 17
Agustus mendatang.



Ribuan anak-anak tersebut membawa kapur beraneka warna. Mereka
menggoreskan beragam gambar bertema kemerdekaan, seperti pejuang,
bendera, hingga semarak gapura desa menjelang HUT RI. Namun sebagian
mengeluh kesulitan karena aspal terasa keras dan kasar. Tak jarang
kapur yang mereka gunakan patah.



Meski begitu, anak-anak mengaku senang mengikuti acara yang tak lazim
dilakukan orang ini. Melalui media sederhana dan murah, para bocah
berkesempatan mengeskpresikan perasaan, pikiran, serta ide tentang hari
kemerdekaan.(IKA/Wiwik Susilo)

Rayakan HUT RI, Suami Gendong Istri


16/08/2008 13:32 HUT RI

Rayakan HUT RI, Suami Gendong Istri




Liputan6.com, Banyumas: Memang banyak cara meramaikan
hari kemerdekaan ke-63 Republik Indonesia. Di Banyumas, Jawa Tengah,
misalnya, digelar lomba suami menggendong istri di kubangan lumpur.



Peserta tidak akan mudah mencapai garis finish. Sebab kubangan lumpur
cukup dalam dan licin. "Susahlah karena ada lumpur. Terus istri saya
juga berat jadi kalah, " Darmaji, salah satu peserta lomba.



Tiga pasangan suami-istri yang berhasil mencapai finish tercepat
mendapatkan bingkisan berupa satu paket bahan kebutuhan sehari-hari.
Diharapkan lomba itu dapat menambahkan keharmonisan
keluarga.(DWI/Mardianto)

Kain Merah Putih Dibentangkan Lima Kilometer

16/08/2008 18:08 HUT RI
Kain Merah Putih Dibentangkan Lima Kilometer

Liputan6.com, Bandung: kain merah putih dibentangkan sepanjang lima kilometer mengelilingi bukit dan lahan seluas 44 hektare di kaki Gunung Tangkuban Perahu, Jawa Barat. Ide ini berasal dari warga yang prihatin dengan rusaknya hutan-hutan kita.

Seribu bendera Merah Putih menyemarakkan Kota Bengkulu. Warga menapak tilas perjalanan mantan Presiden Soekarno dan Fatmawati semasa diasingkan di Bengkulu. Pawai berakhir di rumah kediaman Bung Karno, Jalan Anggut Atas.

Di Jakarta, 1.000 orang dari berbagai komunitas juga merayakan proklamasi dengan napak tilas. Napak tilas dimulai dari Museum Proklamasi di Jalan Imam Bonjol, tempat naskah proklamasi dirumuskan dan berakhir di Tugu Proklamasi.(JUM/Tim Liputan 6 SCTV)

Kain Merah Putih Dibentangkan Lima Kilometer

16/08/2008 18:08 HUT RI
Kain Merah Putih Dibentangkan Lima Kilometer

Liputan6.com, Bandung: kain merah putih dibentangkan sepanjang lima kilometer mengelilingi bukit dan lahan seluas 44 hektare di kaki Gunung Tangkuban Perahu, Jawa Barat. Ide ini berasal dari warga yang prihatin dengan rusaknya hutan-hutan kita.

Seribu bendera Merah Putih menyemarakkan Kota Bengkulu. Warga menapak tilas perjalanan mantan Presiden Soekarno dan Fatmawati semasa diasingkan di Bengkulu. Pawai berakhir di rumah kediaman Bung Karno, Jalan Anggut Atas.

Di Jakarta, 1.000 orang dari berbagai komunitas juga merayakan proklamasi dengan napak tilas. Napak tilas dimulai dari Museum Proklamasi di Jalan Imam Bonjol, tempat naskah proklamasi dirumuskan dan berakhir di Tugu Proklamasi.(JUM/Tim Liputan 6 SCTV)

INUL - Jatuh Bangun/Colak Colek *Non-Stop Senam Disco

Indonesia Raya

An appeal to help Raiyan

Please help to spread this short video in hope that people come forward to help with donations for Raiyan's surgery. Thank you so much.

Keterangan Saksi Beratkan Aulia Pohan


11/08/2008 18:06 Kasus Korupsi


Keterangan Saksi Beratkan Aulia Pohan
Liputan6Asnar Azhari, saksi di persidangan kasus skandal dana BI.

Liputan6.com, Jakarta:
Sidang kasus skandal aliran dana Bank Indonesia (BI) dengan terdakwa
Oey Hoy Tiong dan Rusli Simanjuntak kembali digelar di Pengadilan
Tipikor, Jakarta, Senin (11/8). Dari keterangan dua saksi memberatkan
mantan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan.


Dalam keterangannya kepada majelis hakim, analis BI, Asnar Ashari
menceritakan kronologis aliran dana ke anggota Dewan. Dana yang sampai
ke Wakil Rakyat menurut Asnar diketahui oleh Aulia Pohan yang
mendapatkan laporan secara lisan dari Rusli Simanjuntak.


Pada sidang sebelumnya, Hamka Yandhu yang hadir sebagai saksi
mengatakan uang dari BI mengalir ke seluruh anggota Komisi Keuangan
DPR. Sementara itu Menteri Kehutanan MS Kaban saat berada di Bali
menolak disebut mangkir dari pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi.


Salah seorang yang disebut dalam kasus ini adalah Abdulah Zaini yang
hari ini dipanggil KPK. Mantan anggota DPR yang saat ini bekerja di
Badan Pemeriksa Keuangan ini menyebut Gubernur BI waktu itu tidak
merespon postif untuk mengembalikan dana dari BI.(JUM/Tim Liputan 6
SCTV)

Keterangan Saksi Beratkan Aulia Pohan


11/08/2008 18:06 Kasus Korupsi


Keterangan Saksi Beratkan Aulia Pohan
Liputan6Asnar Azhari, saksi di persidangan kasus skandal dana BI.

Liputan6.com, Jakarta:
Sidang kasus skandal aliran dana Bank Indonesia (BI) dengan terdakwa
Oey Hoy Tiong dan Rusli Simanjuntak kembali digelar di Pengadilan
Tipikor, Jakarta, Senin (11/8). Dari keterangan dua saksi memberatkan
mantan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan.


Dalam keterangannya kepada majelis hakim, analis BI, Asnar Ashari
menceritakan kronologis aliran dana ke anggota Dewan. Dana yang sampai
ke Wakil Rakyat menurut Asnar diketahui oleh Aulia Pohan yang
mendapatkan laporan secara lisan dari Rusli Simanjuntak.


Pada sidang sebelumnya, Hamka Yandhu yang hadir sebagai saksi
mengatakan uang dari BI mengalir ke seluruh anggota Komisi Keuangan
DPR. Sementara itu Menteri Kehutanan MS Kaban saat berada di Bali
menolak disebut mangkir dari pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi.


Salah seorang yang disebut dalam kasus ini adalah Abdulah Zaini yang
hari ini dipanggil KPK. Mantan anggota DPR yang saat ini bekerja di
Badan Pemeriksa Keuangan ini menyebut Gubernur BI waktu itu tidak
merespon postif untuk mengembalikan dana dari BI.(JUM/Tim Liputan 6
SCTV)

ICW Ajukan Desain Seragam Koruptor ke KPK


12/08/2008 12:22 Kasus Korupsi

ICW Ajukan Desain Seragam Koruptor ke KPK
Liputan6
Desain seragam koruptor usulan ICW.

Liputan6.com, Jakarta: Wacana
membuat seragam bagi koruptor yang ditangkap Komisi Pemberantasan
Korupsi langsung disambar Indonesia Corruption Watch (ICW). Niat itu
tak main-main. ICW langsung mengajukan delapan desain seragam koruptor
ke gedung KPK, Jakarta, Selasa (12/8). Bahkan peragaan busana pun
digelar.



Layaknya peragawan, tiga staf ICW memamerkan tiga dari delapan desain
seragam koruptor yang diusulkan ke KPK. Menurut pihak ICW, seragam
untuk tahanan KPK sangat mendesak. Pasalnya, selama ini baik tersangka
maupun terdakwa korupsi diberi keleluasaan mengenakan pakaian rapi
bahkan mewah.



Pihak ICW mengusulkan tulisan "Tahanan KPK Kasus Korupsi" dalam seragam
tersebut. Hal itu untuk menepis tudingan pelanggaran asas praduga tak
bersalah.



Desakan pemakaian seragam koruptor juga meluas. Itu karena masyarakat
melihat pesakitan macam Artalyta Suryani masih sempat berdandan modis
layaknya selebriti. Bahkan Jaksa Urip pun nampak masih mengenakan baju
safari layaknya jaksa yang masih aktif bertugas. Seragam itu diharapkan
memberi efek jera.(IKA/Indah Dian Novita dan Rudi Utomo)

Mantan Bupati Purwakarta Dituntut Lima Tahun Penjara

12/08/2008 20:16

Mantan Bupati Purwakarta Dituntut Lima Tahun Penjara
Liputan6

Liputan6.com, Purwakarta:
Mantan Bupati Purwakarta Lily Hambali Hasan dituntut lima tahun penjara
di Pengadilan Negeri Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (12/8). Lily
dianggap sah telah melakukan tindakan korupsi dana bantuan bencana alam
serta pembangunan Gedung Islamic Center dengan kerugian negara mencapai
Rp 3,7 miliar.

Selain itu, Lily harus mengembalikan uang negara Rp 793 juta dan
didenda Rp 100 juta. Rencananya sidang akan dilanjut pada Rabu pekan
depan. Kasus korupsi ini juga melibatkan mantan Sekda Purwakarta Rahmat
Gartiwa serta mantan Bendahara Pemda Purwakarta Entin Kartini yang
sudah divonis delapan tahun penjara.(JUM/Syamsu Nursyam)

AS Dinilai Arogan Terhadap Indonesia

12/08/2008 19:28
AS Dinilai Arogan Terhadap Indonesia
Liputan6
Liputan6.com, Yogyakarta: Pengamat politik di Yogyakarta menilai surat Kongres Amerika Serikat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait pembebasan dua anggota Organisasi Papua Merdeka menunjukkan sikap arogansi AS terhadap Indonesia.

"AS yang merasa sebagai polisi dunia telah secara arogan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan berkedok hak asasi manusia," kata Agung Nugroho dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Selasa (12/8).

Padahal, kata dia, AS tidak mengetahui kasus ditangkapnya anggota OPM itu, ini masalah dalam negeri Indonesia, sehingga negara lain tidak bisa seenaknya mengintervensi Indonesia sebagai negara berdaulat.

"Sebaiknya Pemerintah Indonesia tidak perlu menanggapi surat Kongres AS tersebut, sebagai negara berdaulat Indonesia memiliki kewenangan untuk menentukan urusan dalam negerinya sendiri," katanya. Ia menilai AS sering memojokkan negara-negara berkembang yang dinilai tak sejalan dengan politik luar negerinya.

Namun yang perlu diantisipasi adalah eksistensi OPM. Surat Kongres AS itu bisa memberi makna OPM memiliki jaringan yang cukup kuat di luar negeri. "Buktinya Kongres AS sampai mengirimkan surat kepada Presiden Indonesia dan minta pembebasan dua anggota OPM," katanya.(JUM/ANTARA)

Harmoko, Gus Dur, Siapa pun yang Ajak Golput Bisa Dipenjara

Jakarta (SIB)


Tidak hanya Partai Harmoko yang menyerukan tidak berpartisipasi dalam Pemilu 2009. Lama sebelum itu, Abdurahman Wahid (Gus Dur) secara terang-terangan juga menyerukan untuk golput.
Padahal jelas, menurut Undang-undang Pemilu, aksi ini dapat dipidana. Ancamannya hukumannya 6-24 bulan penjara.

Berikut wawancara detikcom dengan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Agustiani Tio Fridelina:

PKN mengajak anggotanya agar golput dalam Pemilu 2009 nanti. Aturan tentang golput sebenarnya seperti apa?
Pada dasarnya, siapapun orang yang mengajak golput atau menghalangi orang untuk memilih bisa kena pidana. Asal ada pihak yang merasa hak pilihnya dihalangi.

Sebelum PKN Harmoko, Gus Dur juga mengajak golput. Jadi mereka bisa dipenjara?
Ya, iya.
Berdasar pasal 287 UU Pemilu No 10/2008, setiap orang yang dengan sengaja mengajak golput dan menghalangi orang memilih bisa dituntut penjara minimal 6 bulan, maksimal 24 bulan dan denda minimal Rp 6 juta maksimal Rp 24 juta.

Tapi harus ada yang melapor?
Sebenarnya tidak harus ada yang melapor. Dari informasi, sebenarnya kita bisa proses, tapi harus dilengkapi bukti tertulis. Kalau tidak, nanti proses di polisi juga akan mentah lagi. Di pengadilan juga begitu.

Kalau dari media massa?
Kalau media itu punya rekamannya, dan kita dapat, kita bisa proses itu ke polisi.

Kalau ajakan PKN untuk tidak berpartisipasi dalam Pemilu 2009, apakah bisa disebut ajakan untuk golput?
Kalau ada pihak yang merasa hak pilihnya terhalangi ya sama saja mengajak golput. Apalagi mereka bilang kalau sampai berpartisipasi dalam Pemilu 2009 akan kena sanksi. Itu sudah bernada ancaman. Itu sudah mengancam orang.

Apakah yang ini juga perlu dilaporkan dulu?
Iya, tapi ya itu kalau ada bukti otentik, ada yang bisa membuktikan omongan itu sudah bisa kita jerat walaupun belum ada yang merasa terancam.
Harmoko Bisa Dipenjara 2 Tahun Partai Kerakyatan Nasional (PKN), partainya Harmoko melarang anggotanya ikut berpartisipasi dalam Pemilu 2009. Harmoko pun terancam bui maksimal 2 tahun dan denda minimal Rp 6 juta.
“Betul (Harmoko bisa dipenjara berdasarkan UU Pemilu) ditambah denda,” kata anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Agustiani Tio Fridelina kepada detikcom, Kamis (7/8).

Menurut Agustiani, ancaman untuk Menteri Penerangan era Orba itu tercantum dalam UU Pemilu No 10/2008 pasal 287.
Pasal itu berbunyi, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih atau melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 24 bulan dan denda paling sedikit Rp 6 juta dan paling banyak Rp 24 juta.

Agustiani tidak mau berpolemik apakah larangan PKN tersebut bisa disebut golongan putih alias golput atau tidak. Namun, tegasnya, jelas tercantum dalam UU, tindakan Harmoko melanggar UU. “Yang jelas itu menghalangi orang untuk memilih,” jelas Agustiani.

Agustiani menegaskan, tindakan Harmoko akan ditindaklanjuti Panwaslu jika ada laporan dari orang yang dihalangi haknya untuk memilih. “Kita bisa jadikan ini temuan. Kita proses kalau ada orang yang merasa haknya dihalangi,” tandas Agustiani.(detikcom/d)

Inul Senam Disco

HMZ Yuli Nursanto - Gagal Jadi Bupati, Coba Bunuh Diri

Selasa, 5 Agustus 2008 | 09:15 WIB

HMZ Yuli Nursanto (kiri) dan pasangannya dr H Achmad Soenarno dalam poster pencalonan bupati Ponorog

PONOROGO - Rentetan masalah yang dihadapi HMZ Yuli Nursanto usai kekalahannya dalam pemilihan bupati (pilbup) Ponorogo, diduga membuatnya depresi.

Calon bupati Ponorogo yang tersisih pada pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2005 dan kini terdakwa kasus utang-piutang miliaran rupiah itu, mencoba bunuh diri.

Aksi nekat Yuli yang menggegerkan terjadi Minggu (3/8) sore, ketika dia melarikan diri dari RSUD dr Hardjono Ponorogo, tempat dia dirawat. Melepas peralatan medis yang melekat di tubuhnya, Yuli kabur keluar RSUD. Ia sempat masuk rumah seorang warga dekat RSUD, dan hendak gantung diri di sana.

Karena aksinya berhasil dicegah, Yuli kembali berlari dan mau mencebur ke sungai terdekat, Sungai Keninten yang cukup lebar.

Aparat kepolisian yang kemudian datang, berhasil merayu Yuli sehingga mengurungkan niatnya. Tapi, pengusaha itu sempat mencoba menyayat-sayat urat nadinya dan menantang polisi untuk menembaknya saja.

“Dia tiba-tiba masuk rumah saya, dan mau gantung diri. Saya kaget bercampur takut,” ujar Wasis, warga Kelurahan Keninten, Kecamatan/Kabupaten Ponorogo, yang rumahnya diterobos Yuli saat ditemui Surya, Senin (4/8).

Saat itu, Yuli cuma bercelana dalam dan memakai kaos kutang. Setelah berhasil diamankan, Yuli kemudian dibawa ke markas Polres Ponorogo. “Kami hanya berjaga-jaga karena dia (Yuli) sudah mengganggu ketertiban,” kata Kasat Reskrim Polres Ponorogo, AKP Edy Susanto.

Namun, informasi yang diperoleh Surya kemudian menyebutkan, Yuli kembali diserahkan ke pihak keluarga.

Sebetulnya, belum sampai dua minggu lalu, tidak terlihat tanda-tanda depresi pada diri Yuli. Itu setidaknya diakui oleh Sekretaris KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) Ponorogo, Hadi S, yang sempat menemui Yuli di LP (Lembaga Pemasyarakatan) Ponorogo pada 23 Juli lalu, atau tepat saat penyelenggaraan pemilihan gubernur (pilgub) Jatim.

Yuli memang mendekam di LP Ponorogo sejak ditetapkan sebagai terdakwa dalam kasus dugaan penipuan BG (biro gilyet) dan cek kosong senilai Rp 2,977 miliar terkait urusan utang-piutang. Namun, sejak beberapa hari lalu, Yuli dibantarkan ke rumah sakit karena gangguan kesehatan.

Kasus utang-piutang tersebut hingga kini masih dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Ponorogo. Disebutkan, utang-piutang itu terjadi pada bulan-bulan sekitar Pilbup Ponorogo digelar, yakni Juni 2005. Sebagian besar dana yang ada diduga digunakan Yuli untuk maju dalam pemilihan bupati.

Gagal terpilih, Yuli juga menghadapi problem keuangan seiring dengan penarikan paksa 7 armada (6 bus dan 1 truk) transportasinya oleh pihak leasing, pada awal Maret 2007. Selain menggeluti bisnis trasnportasi, Yuli juga memiliki dua stasiun radio FM serta perusahaan pengerah tenaga kerja.

Yuli Nursanto dengan pasangannya Achmad Soenarno, saat pilbup itu hanya menempati urutan ke-4 dari lima pasangan calon bupati/wakil bupati (cabup/cawabup) Ponorogo yang bersaing. Dalam pilbup itu, pasangan Yuli-Achmad diusung oleh Partai Demokrat (PD) dan PPP.

Selain masalah finansial, Yuli kini juga menghadapi problem rumah tangga karena istrinya Ny Adjidah (dipanggil Ida) dikabarkan menggugat cerai. "Biarkan aku mati. Aku sudah tidak punya keluarga lagi," demikian teriakan Yuli yang terekam saat hendak bunuh diri pada Minggu (3/8) sore itu.

Sementara itu, hingga menjelang malam kemarin, Surya belum berhasil menghubungi keluarga Yuli untuk minta konfirmasi terkait masalah Yuli. Saat Surya mendatangi kantor Yuli di Jl Raya Ponorogo-Ngebel, para karyawan di sana tak ada yang bisa memberikan keterangan tentang latar belakang masalah bosnya.

"Coba, anda langsung ke rumahnya di Perumnas Singosaren. Di sana ada istrinya, Anda temui langsung ibu Ida," jelas salah seorang penyiar radio milik Yuli Nursanto yang enggan disebutkan namanya.

Ketika mendatangi rumah Yuli di Jl Singajaya XIV Perumnas Singosaren, Surya tak berhasil pula menemui Ny Ida. Menurut keterangan seorang lelaki penunggu rumah Yuli yang dipanggil Bonyok, 45, Ny Ida sedang keluar dan dia tak tahu pasti ke mana.

“Saya di sini hanya bertugas membenahi bagian-bagian rumah yang rusak, dan masih belum selesai,” kata Bonyok yang mengaku telah puluhan tahun mengenal keluarga Yuli.

Kediaman keluarga Yuli di Perumnas itu menempati tiga rumah berjajar. Dua rumah dijadikan satu dan dibangun tiga lantai, sedangkan satu rumah lainnya dibiarkan seperti bentuk awal dari pihak developer.

Seorang tetangga depan rumah keluarga Yuli mengatakan, hubungan Yuli dengan istrinya tampak kurang harmonis sejak mencuatnya kasus yang melilit Yuli pascapilbup. Namun, tetangga yang mengaku bernama Haris itu tak tahu persis apa penyebabnya. “Mereka kurang akrab dengan warga,” kata Haris.

Berdasarkan catatan Surya, kegagalan di pilkada yang kemudian berbuntut masalah pada calon yang maju juga terjadi di Kabupaten Nganjuk. Sutrisno Hafidz, cabup yang diberangkatkan PKB Nganjuk, kini berurusan dengan aparat berwajib karena dugaan penipuan senilai Rp 1 miliar terhadap seorang warga asal Madura. Cabup yang kalah dalam coblosan 4 Maret 2008 lalu itu juga dipolisikan warga Kediri dengan dugaan kasus yang sama, namun nilainya Rp 10 juta.

Saat menjelang kampanye, Sutrisno Hafidz kelabakan mencari tambahan dana untuk mencetak atribut dan kaus kampanye. Karena sudah terkepepet, warga asal Desa Baron, Kecamatan Baron ini berutang Rp 1 miliar ke Hj Fatonah, 49, warga Jl Kebon Anyar, Desa/Kecamatan Blega, Kabupaten Bangkalan. Namun, saat pembayaran, cek yang diserahkannya ternyata kosong alias tak bisa diuangkan.

Masalah pasca kekalahan pilkada juga terjadi di Kota Malang, namun dengan tingkat yang jauh lebih ringan. Setelah gagal memenangkan pilwali (pemilihan walikota) Malang, Ketua DPD Partai Golkar Kota Malang, Aries Pudjangkoro mendapat mosi tak percaya serta dituntut mundur oleh sejumlah kadernya.

Kader Golkar menuntut pertanggungjawaban Aries yang ngotot maju mencalonkan wali kota. Padahal rekomendasi dari DPP PG hanya menggariskan supaya PG cukup menjadi calon wakil wali kota (cawawali).

Kasus yang sama juga menimpa cawawali Subur Triono yang juga Wakil Ketua DPRD Kota Malang dari Partai Demokrat (PD). Subur yang berpasangan dengan cawali Fathol Arifin itu kini terancam direcall dari jabatannya sekarang karena maju menjadi cawawali yang diusung PKB.

Saat ini proses recall Subur sudah diajukan ke KPU Kota Malang. Jika tidak ada halangan lagi, proses recall itu segera diproses dan posisi Subur bakal diganti Yusnia Fitriani, calon yang memiliki nomor urut di bawahnya.(surya/ST14/K2/DIM)

Archives