Misteri Supriyadi

Seolah menguak misteri kematiannya yang telah berusia sekitar 63
tahun yang lalu, kembali nama Shudanco Supriyadi muncul kembali dalam
detik-detik menjelang HUT Kemerdekaan RI ke-63 tahun ini. Kematian dari
pemimpin pemberontakan PETA di Blitar ini seolah menjadi bahan
kontroversi yang hingga saat ini belum jelas kepastiannya. Adalah
Andaryoko Wisnu Prabu, seorang pria berusia 89 tahun yang tinggal di
Semarang, yang membuka kembali tabir bahwa dia lah Supriyadi yang
sebenarnya. Namun dari pihak keluarga Supriyadi di Blitar memiliki
jawaban lain, bahwa kerabat mereka itu telah dieksekusi oleh pihak
Jepang di daerah Tuban. Sumber-sumber lain mengatakan bahwa Supriyadi
justru meninggal di dekat Gunung Kelud dalam usaha pelariannya. Manakah
fakta yang benar dari seorang Supriyadi ini? Hingga saat ini, belum ada
bukti-bukti yang menunjukkan dimanakah makam Supriyadi, atau bila
beliau masih hidup, dimanakan tempat bermukimnya. Yang jelas, beliau
merupakan salah satu Pahlawan Nasional berdasarkan Keppres No.
063/TK/1975.

Supriyadi dilahirkan di Trenggalek, Jawa Timur pada 13 April 1923.
Nama kecilnya adalah Priambodo, namun karena sering sakit, namanya
diganti menjadi Supriyadi. Setelah menamatkan SMP ia meneruskan
pendidikannya untuk menjadi seorang birokrat mengikuti jejak sang ayah,
yang bertugas sebagai wedana Blitar. Belum sempat menamatkan
sekolahnya, Asia Raya dikejutkan dengan serangan cepat militer Jepang,
termasuk ke wilayah Indonesia. Kondisi ini memutar nasib Supriyadi
untuk memilih pendidikan militer Jepang yang bernama PETA di Tangerang,
Jawa Barat. Selanjutnya, ia ditugaskan ke wilayah Blitar dengan pangkat
Shudanco. Disinilah rasa nasionalisme Supriyadi dkk terketuk ketika
melihat penderitaan rakyat Blitar saat itu.


Ketika Bung Karno berkunjung ke rumah keluarganya di Blitar,
prajurit-prajurit PETA ini menyampaikan keinginan mereka untuk
memberontak kepada militer Jepang, dan memohon pendapat dari Bung
Karno. Bung Karno mengatakan bahwa setiap perbuatan akan ada
konsekuesinya. Namun, Supriyadi, yang merupakan pimpinan
pemberontak, meyakinkan bahwa usaha mereka ini akan berhasil.


Menurut rencana, pemberontakan dilakukan lebih awal, yakni 5
Februari 1945 saat dilakukan latihan bersama (Daidan) batalyon PETA
Jawa Timur di Tuban. Namun, rencana ini gagal, karena Jepang mendadak
membatalkan jalannya latihan. Perwira PETA yang terlanjur datang ke
Tuban dipulangkan masing-masing ke kotanya.


Syahdan pada 9 Februari 1945, Supriyadi menemui guru spiritualnya,
Mbah Kasan Bendo. Ia mengutarakan maksud untuk melawan Jepang. Konon,
saat itu Kasan Bendo memintanya untuk bersabar dan menunda gerakan
hingga 4 bulan. “Tapi kalau ananda mau juga melawan tentara
Jepang sekarang, saya hanya dapat memberikan restu kepadamu, karena
perjuanganmu itu adalah mulia.”


Pesan itu disampaikan Supriyadi kepada rekan-rekannya. Setelah
sempat menemui pimpinan PUTERA, Soekarno dan gagal mendapat restu,
Supriyadi mengadakan rapat terakhirnya 13 Februari 1945 di kamar
Shudanco Halir Mangundjidjaja. Hadir Shudanco Moeradi, Chudanco
Ismangil, Bundanco Soenanto dan Bundanco Soeparjono. Hasilnya,
pemberontakan akan dilakukan besok. Mereka masing-masing tahu risikonya
bila gagal, paling ringan disiksa dan paling berat hukuman mati.


Rencana ini terkesan tergesa-gesa karena Supriyadi dan
rekan-rekannya khawatir tindak tanduk mereka telah dimonitor Jepang.
Shudanco Halir menceritakan di Blitar baru saja datang satu gerbong
anggota Kempetai yang baru datang dari Semarang. Mereka menginap di
Hotel Sakura. Supriyadi cs menduga, kedatangan Kempetai untuk menangkap
dirinya dan rekan-rekannya.


14 Februari 1945, pukul 03.00, senjata dan peluru dibagi-bagikan ke
anggota PETA. Jumlah yang ikut serta 360 orang. Setengah jam kemudian,
Bundanco Soedarmo menembakkan mortir ke Hotel Sakura. Hotel direbut dan
tentara PETA menurunkan slogan “Indonesia Akan Merdeka”
(janji proganda Jepang) dan menggantinya dengan spanduk
“Indonesia Sudah Merdeka.” Merah putih juga dikibarkan.


Pasukan PETA melucuti senjata para polisi dan membebaskan tawanan
dari penjara. Beberapa orang Jepang yang ditemui dibunuh. Mereka lalu
bergerak menyebar ke tempat yang sudah ditentukan sebelumnya. Namun
entah kenapa, rencana penyebaran malah gagal. Seluruh pasukan PETA
seusai serangan justru berkumpul di Hutan Ngancar, perbatasan Kediri.


Sejak awal, Jepang berhati-hati dalam menangani pemberontakan PETA.
Mereka tidak terlalu ofensif dan cenderung menggunakan jalan persuasif
untuk menjinakkan Supriyadi dan rekan-rekannya. Hal ini dilakukan demi
menghindari tersulutnya kemarahan Daidan (Batalyon) PETA yang lain yang
bisa saja malahan membuat pemberontakan meluas dan merembet ke
mana-kemana.


Setelah kota Blitar berhasil diduduki kembali, langkah diplomasi pun
dibuat. Kolonel Katagiri yang ditunjuk untuk memimpin operasi
penumpasan mendatangi pasukan Supriyadi yang bertahan di Hutan Ngancar,
perbatasan Kediri. 19 Februari 1945, di Sumberlumbu, Katagiri bertemu
dengan Muradi, salah satu pemimpin pemberontak. Pasukan PETA menawarkan
penyerahan diri bersyarat. Adapun syaratnya adalah:


1. Mempercepat kemerdekaan Indonesia


2. Para tentara PETA yang terlibat pemberontakan takkan dilucuti senjatanya.


3. Aksi tentara PETA yang dilakukan pada 14 Februari 1945 di Kota Blitar takkan dimintai perrtanggungjawaban.


Katagiri menyetujui syarat tersebut. Sebagai tanda sepakat, ia
menyerahkan pedang perwiranya kepada Muradi untuk disimpan. Muradi
beserta seluruh pasukannya kembali ke Blitar.


Nah, pada saat kembali dari Ngancar inilah, Supriyadi terakhir kali
terlihat. Persisnya ia hilang di dukuh Panceran, Ngancar. Ada dugaan
dia diculik secara diam-diam dan dibunuh Jepang di Gunung Kelud, namun
berkembang juga isu bahwa Supriyadi sengaja melarikan diri. Mungkin ia
memang sudah tak yakin Jepang akan memenuhi syarat yang diajukan PETA.


Jika itu yang ia rasakan, Supriyadi benar. Kesepakatan Sumberlumbu
ternyata tak diakui oleh pimpinan tentara Jepang di Jakarta. Mereka
meminta Kempetai tetap menuntut para pelaku diproses. Dari hasil
pilah memilah dan negosiasi, diberangkatkanlah 78 tentara PETA ke
Jakarta untuk menghadapi pengadilan militer Jepang. Anggota lain yang
terlibat hanya dikarantina di mess.

Hasil dari sidang militer, sebanyak 6 orang dijatuhi hukuman mati, 6
orang diganjar hukuman seumur hidup dan sisanya dihukum antara beberapa
bulan sampai beberapa tahun. Tak lama kemudian, Shudanco Moeradi,
Chudanco Ismangil, Shudanco Halir Mangkoedjidjaja, Bundanco Soenanto
dan Bundanco Soeparjono menjalani eksekusi mati dengan dipenggal
kepalanya di Eereveld, Ancol.


Pada tanggal 6 Oktober 1945, pemerintah RI mengumumkan bahwa
Supriyadi diangkat sebagai Menteri Keamanan Negara pada kabinet I.
Namun, ia tak kunjung tiba dan posisinya digantikan oleh
Muhmmad Soeljoadikusuma pada 20 Oktober 1945. Hingga saat ini,
Supriyadi belum jela diketahui kondisinya, hanya saja ia pernah
berpesan kepada ibunya beberapa hari sebelum pecahnya pemberontakan,
apabila ia tidak kembali ke rumah dalam waktu 5 tahun, itu tandanya
dirinya sudah meninggal dunia.

No comments:

Archives