Supriyadi Masih Perlu Dicari

Selasa, 12 Agustus 2008 | 20:44 WIB



YOGYAKARTA, SELASA
- Perjalanan hidup Supriyadi yang telah ditetapkan sebagai pahlawan
nasional karena telah memimpin pemberontakan Pembela Tanah Air atau
PETA di Blitar tahun 1945, hingga kini masih menjadi misteri. Banyak
orang kemudian menyatakan diri sebagai Supriyadi. Masih ada ruang
kosong dalam sejarah bangsa tentang kisah hidup dari Supriyadi yang
mengusik rasa ingin tahu dari masyarakat

Dalam buku bertajuk Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno,
ahli sejarah dari Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata
Dharma, Baskara T Wardaya SJ menulis hasil wawancara dari Andaryoko
Wisnuprabu (88) yang mengaku adalah Supriyadi. Melalui buku tersebut,
Baskara ingin mendorong wacana lebih lanjut tentang Supriyadi dan
pengaruhnya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

"Kalaupun
nantinya dia ternyata bukan Supriyadi, keterangannya tetap layak
disimak karena mampu memberi informasi untuk melengkapi narasi atas
peristiwa krusial yang terjadi di bangsa ini. Buku ini berusaha memberi
salah satu kemungkinan jawaban tentang misteri Supriyadi dengan
menggunakan bahan sejarah lisan," kata Baskara saat ditemui di kampus
Pascasarjana Sanata Dharma, Selasa (12/8).

Sejarah, lanjut
Baskara, tidak cukup hanya ditulis berdasarkan bahan tertulis. Apalagi
jika bahan yang dipakai dalam penulisan sejarah tersebut melulu berasal
dari tokoh-tokoh pemenang di lapisan masyarakat atas. Suara dari mereka
yang tersembunyi serta terbungkam dari sejarah seperti pernyataan
Andaryoko perlu diwadahi. "Pernyataannya menjadi sumber pelangkap atau
materi alternatif bagi narasi historis seputar masa kepemimpinan
Sukarno," tambahnya.

Misteri Supriyadi semakin mengundang rasa
ingin tahu karena pada tahun 1945, Presiden Sukarno menunjuk Supriyadi
sebagai menteri keamanan rakyat pada kabinetnya yang pertama.
Selanjutnya Supriyadi juga ditunjuk sebagai panglima tentara keamanan
rakyat. Padahal tidak ada kejelasan tentang hidup dan matinya
Supriyadi. Pemerintah orde baru kemudian menganggap Supriyadi telah
mati dengan menetapkan sebagai pahlawan nasional pada tahun 1975.

Menurut
Baskara, kehadiran Andaryoko tidak hanya penting, tetapi juga menarik
karena bisa memutus mitos seputar keberadaan Supriyadi. Pernyataan
Andaryoko bisa membuka kesempatan untuk melihat sejarah dari prespektif
masyarakat, bukan monopoli penguasa. "Jangan cepat membungkam suara
yang berbeda. Beri kesempatan bersuara, termasuk jika nantinya ada
Supriyadi lain, yang diperlukan hanya kajian akademis," kata Baskara.

Baskara
mengaku awalnya tidak percaya dengan pernyataan Andaryoko. Namun
Andaryoko berbeda dengan tokoh lain yang mengaku sebagai Supriyadi.
Tokoh lain hanya menokohkan Supriyadi sebagai tokoh mistis dengan
sentrum pada tokoh Supriyadi. Namun tokoh lain itu tidak bisa
mengaitkan keberadaan Supriyadi dengan konteks sejarah yang lebih luas.

Andaryoko
justru memaknai Supriyadi dalam konteks sejarah yang lebih luas. Dia
sekaligus menjadi bukti dampak dari pembungkaman tidak langsung oleh
pemerintah yang berkuasa. Dari awalnya takut kepada Jepang, Andaryoko
kemudian memilih bungkam di zaman orde baru karena takut kedekatannya
dengan Sukarno membawanya ke penjara.

No comments:

Archives