VIVAnews-LEBIH dari seratus warga Indonesia terancam hukuman mati di Malaysia. Angka itu cukup besar karena tak adanya perjanjian khusus (Mandatory Consular Notification) antar Indonesia dan Malaysia.
Juru bicara Kementrian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, mengatakan bila perjanjian itu ada, maka kasus hukum menimpa warga Indonesia akan cepat diketahui. "Kita bisa cepat memberikan bantuan," kata Faizasyah, saat diwawancara VIVAnews di Jakarta, Jumat 27 Agustus 2010.
Catatan Kementrian Luar Negeri Indonesia menyebutkan WNI terancam eksekusi hukuman gantung di Malasyia sebanyak 177 orang. Sebagian besar dalam proses persidangan. Mereka diancam mati, akibat kejahatan peredaran narkoba dan pembunuhan.
Kini tiga warga Indonesia telah divonis mati oleh pengadilan federal. Mereka menempuh proses permohonan pengampunan ke badan pengampunan negara (State Pardon Board).
Kepada wartawan VIVAnews, Harriska Adiati, Teuku Faizasyah menjelaskan langkah pemerintah melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur untuk menyelamatkan tiga warga yang tengah terancam untuk dieksekusi. Berikut petikannya:
Bagaimana cara pemerintah menyelamatkan WNI dari ancaman hukuman mati di Malaysia?
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur tengah mengkaji bersama pengacara yang ditunjuk KBRI. Proses itu sedang dilakukan sekarang. Kita bukan ahli hukum, jadi perlu dibicarakan dengan ahli hukum di sana yang mengerti hukum Malaysia. Kita lagi mencari apakah celah-celah hukum itu ada.
Tiga warga telah menerima vonis akhir, dan terancam langsung dieksekusi. Apa langkah terakhir pemerintah melalui KBRI Kuala Lumpur menyelamatkan mereka?
Grasi mungkin kalau tidak ada opsi lain. Saat ini sedang koordinasi (dengan pengacara di Malaysia) untuk mencari celah hukum dan opsi-opsinya.
Yang dilakukan sekarang adalah mempelajari sistem hukum di Malaysia. Kita tetap optimistis dengan mengacu pada pengalaman saat berhasil mengubah status hukum 21 WNI kita yang terancam hukuman mati [periode 2007-2010].
Tapi setiap kasus ada ciri khasnya. Itu yang sedang dipelajari dengan tenaga pengacara setempat. Celah hukum apa yang bisa kita manfaatkan, celah hukum itu kemudian kita tampilkan dalam surat permohonan pengampunan (clemency) itu, grasi atau bentuk-bentuk lainnya.
Ketika menyampaikan rekomendasi langkah-langkah yang akan dilakukan, sudah cukup amunisi. Tidak ada perbedaan masalah hukum, ini kan hukum di negara setempat yang dikenakan pasal-pasal hukum di Malaysia.
Tapi dari modifikasi hukum itu kira-kira apa yang bisa digunakan untuk mengajukan grasi atau permintaan pengampunan. Itu yang harus dipelajari ahlinya. Hukum nasional kita tidak berlaku, hukum Malaysia yang dipakai.
Soal pengacara di Malaysia, siapa yang akan kita sewa?
Ada tiga macam pengacara. Ada yang sifatnya retention lawyer, pengacara yang dikontrak untuk terus memberikan advice hukum. Ini terus dimanfaatkan jasa hukumnya oleh kita. Ada lawyer yang pro-bono dalam kasus-kasus pemerintah Malaysia, seperti Lembaga Bantuan Hukum di sini.
Terakhir, pengacara yang disewa untuk keahliannya, untuk kasus-kasus tertentu yang lebih komprehensif, kita harus menyewa lawyer itu. Saya mendengar sudah ada beberapa pengacara yang kita sewa.
Sejauh ini berapa yang hukumannya jadi ringan?
Sudah ada 21 WNI di Malaysia yang diringankan hukumannya, dari hukuman mati diubah ke hukuman lain.
Apa untungnya bagi kita kalau ada kesepakatan mandatory consular notification?
Keuntungan utama, kalau ada kasus-kasus WNI, kita bisa cepat bisa mengetahui ada WNI bermasalah, dan kita bisa cepat memberikan bantuan. Itu keuntungan utamanya. Keuntungan lain belum dikaji.
Jadi misalnya ada WNI yang punya permasalah di Malaysia, maka Malaysia harus memberitahukan ke perwakilan RI terdekat. Ada jutaan WNI di luar negeri, sedangkan pemerintah baru menempatkan sekitar 50 KBRI yang menangani semuanya, termasuk politik, ekonomi, dan kekonsuleran.
Soal kesepakatan mandatory consular notification, sudah dilakukan untuk berapa negara?
Saya tidak ingat pasti, tapi dengan Australia sudah ada. Dengan Malaysia, Singapura, maupun negara di Timur Tengah belum ada. Dengan Australia sudah ada, tetapi belum bisa diberlakukan karena belum ada kasus.
Kenapa dengan Malaysia dan negara lain belum ada? Apakah ditolak?
Bukan ditolak, mereka masih mempertanyakan mandatory consular notification ini karena dalam Konvensi Wina mengenai diplomatik dan kekonsuleran, ada peraturan mengenai notifikasi masalah kekonsuleran.
Jadi tanpa diatur secara khusus pun pemerintah suatu negara wajib memberitahukan secepatnya kepada perwakilan negara terkait bila warga negaranya tersangkut masalah. Jadi ini menjadi pertimbangan banyak negara, bukan hanya Malaysia.
No comments:
Post a Comment