Menuju Tiang Gantung Malaysia

Ratusan WNI terancam hukuman mati di Malaysia. Mereka bersalah, atau kurang pembelaan?

VIVAnews--MEREKA datang dari Serambi Mekah. Negeri elok di ujung barat Indonesia, Nanggroe Aceh Darussalam. Dipimpin pengacara senior daerah itu, Saifuddin Gani, rombongan ini berjumlah sembilan orang. Mei 2007 itu, mereka diutus Gubernur Irwandi Yusuf ke penjara Kajang, kota kecil di selatan Kualalumpur.

Penjara itu sungguh ketat. Rombongan ini harus melewati tiga pintu besi yang menjulang. Di pintu pertama mereka digeledah. Telpon genggam dan dompet disita. Disimpan sipir penjara di loker tamu. Benda yang boleh masuk cuma alat tulis, buku dan balpoin.

Lalu tibalah mereka di ruang berukuran 12x8 meter. Di sinilah pertemuan itu berlangsung. Para utusan itu bersua dengan para narapidana  yang berasal  dari Aceh. Jumlahnya 56 orang.

Duduk berbanjar mereka mengenakan seragam penjara. Baju putih, celana juga putih. "Tangan dan kaki mereka dirantai," kisah ketua tim kepada VIVAnews, Selasa,24 Agustus 2010.  Di kiri-kanan para narapidana itu berdiri tegak sipir penjara.

Semua narapidana itu meringkuk di situ lantaran kasus narkoba. Sudah sepuluh Ramadan menghuni kamar bui. Mereka dijatuhi hukuman mati. Harapan hidup cuma datang dari Jakarta. Tapi bertahun-tahun ditunggu, bantuan itu tak kunjung datang.

Itu sebabnya, dalam pertemuan di Kajang itu, para narapidana itu berkeluh kesah. Mereka mengaku sudah habis asa.  Sudah berpuluh surat dikirim ke Aceh, saat propinsi itu dipimpin Ibrahim Hasan dan Abdullah Puteh. Tapi tak berjawab. Mereka pasrah. Menunggu digiring ke tiang gantung.

Sampai akhirnya Aceh berganti pemimpin. Irwandi Yusuf naik ke pucuk. Gubernur baru ini --yang juga menerima surat permohonan bantuan para narapidana itu --langsung membentuk tim bantuan hukum. Tim itulah yang datang ke Kajang, Mei 2007 itu.

Sesudah pertemuan itu, empat kali tim ini bolak-balik ke Kajang. Pemerintah Aceh menyediakan dana Rp 300 juta untuk kasus ini. Tapi duit sejumlah itu cuma cukup membela lima orang. Dan juga "nasi sudah jadi bubur". Bantuan itu terlambat sudah. Tata cara perkara di negeri itu, kisah Saifuddin, mengharuskan semua pembuktian dilakukan ditingkat pengadilan negeri.

Lalu mengapa bantuan hukum itu baru datang ketika tiang gantung sudah ada di depan mata? Kedutaan Republik Indonesia di Kualalumpur sesungguhnya sudah sekuat tenaga membantu. Ketika kasus ini disidangkan di pengadilan negeri, mereka didampingi pengacara dari  kedutaan. Saat kasus ini masuk pengadilan tinggi, kedutaan mengirim pengacara bayaran. Dua-duanya kandas.

Sebenarnya, tugas tim Saifuddin hanya memberi laporan dan masukan kepada Gubernur Aceh, melalui kepala Biro Hukum dan Humas pemerintah Aceh. Tapi setelah laporan dan data diserahkan, tidak ada kabar beritanya lagi.

Irwandi tidak pernah memangil mereka lagi untuk membicarakan pembelaan terhadap para tahanan itu. Sejumlah kabar menyebutkan bahwa Irwandi -- yang mantan ahli strategi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu-- juga telah kehabisan asa.  Dan kisah tim 9 dari Aceh itu kemudian senyap di tengah jalan. "Komunikasi kami dengan Gubernur waktu itu kurang, malah tidak pernah bertemu dengan beliau membicarakan soal tahanan," kata Saifuddin.

345 Orang Menunggu Mati

Ini memang bukan lagi perkara Gubernur Aceh. Sebab mereka yang menunggu mati di negeri jiran itu, berjumlah ratusan dan datang dari hampir seluruh wilayah di negeri besar ini.

Tiga lembaga swadaya masyarakat - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), INFID, dan Migrant Care – melansir bahwa total jumlah warga Indonesia yang terancam hukuman mati 345 orang.

Bahkan, seperti yang dilansir kantor berita Antara, dalam suatu pertemuan di Surabaya 25 Maret 2010, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Da'i Bachtiar, mengungkapkan angka yang lebih besar lagi, yaitu sebanyak 354 orang.

Belakangan, Kementrian Luar Negeri Indonesia (Kemlu) "meralat" angka itu. Menurut Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, jumlah WNI yang terancam hukuman mati di Malaysia tidak sebesar yang dikabarkan. "Yang terancam hukuman mati 177 orang," kata Natalegawa kepada para wartawan di kantor Presiden Jakarta, Selasa 24 Agustus 2010.

Dari 177 orang itu, 142 orang dihukum mati karena kasus Narkoba dan 35 orang terlibat kasus Non-Narkoba. Namun 3 kasus telah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan federal dan dalam proses permohonan  pengampunan kepada badan pengampunan negara (State Pardon Board). Semua terpidana terlibat dalam kasus narkoba.

Tapi nyawa bukan urusan statistik. Berapa pun jumlahnya, bantuan diplomasi Jakarta sangat ditunggu, dan mungkin cuma itu satu-satunya jalan. Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI di Malaysia sudah melakukan segala cara. Pada tahun 2007-2010 telah berhasil mengupayakan pembebasan dari ancaman hukuman mati terhadap 21 terdakwa WNI, dengan rincian 15 kasus Narkoba dan 6 kasus Non-Narkoba.

Simpang-siurnya data itu membuat Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, menjadi gusar. Dia menyayangkan perdebatan penuntasan soal TKI atau WNI yang terancam hukuman mati di Malaysia cenderung menjadi perdebatan dan klarifikasi sekedar soal angka semata.

"Kami ingin menegaskan bahwa pemerintah sudah salah kaprah dengan mengkerdilkan persoalan TKI sebatas dengan angka-angka itu. Padahal masalah ini terkait persoalan HAM, kewajiban pelayanan negara dan pemenuhan hak warga negara," ujar Anis kepada VIVAnews.

Menurut Anis, kalau pemerintah terus disibukkan dengan klarifikasi data, dikhawatirkan pemerintah lalai tidak gerak cepat menyelamatkan 3 TKI itu. Karena proses pembebasannya tidak mudah. Oleh karena itu, jika tidak ditanggapi serius, saya kawatir akan berakhir dengan eksekusi mati," kata Anis.

Kekhawatiran Anis ini terkait pada data bahwa sejak akhir dekade 1980-an, sudah tiga warga Indonesia yang telah dieksekusi mati di Malaysia. Dua diantara mereka adalah Basri Masse dengan kasus narkoba, dan Marzuki Karno atas kasus pembunuhan.

Menurut Anis,  mayoritas kasus hukum yang membelit TKI di Malaysia adalah pembunuhan dan narkoba. "Dari pengalaman kita saat mendampingi mereka (TKI yang melakukan pmbunuhan), tindakan ini berlatar belakang buruknya sikap majikan, TKI tidak dapat haknya atau upah kerja," kata Anis.

Dia mengaku pernah dampingi seorang TKI yang empat bulan tidak diupah kerja sehingga dia nekat membunuh. Sehingga terjadi konflik antara TKI dan majikannya. Dan ini yang jarang dibahas: hal yang melatari pembunuhan terjadi. Yang terjadi malah fokusnya hanya pada tindak kriminal dan pembunuhannya saja. Tapi latar belakang dibalik itu sering dilupakan.

Mengenai kasus narkoba? Menurut Anis, mayoritas itu TKI dari Aceh. Karena yang namanya ganja itu sudah umum di Aceh menjadi penyedap masakan pakai ganja. "Ini mesti menjadi pertimbangan hukum serta harus didiskusikan secara antropologis," ujar Anis.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan atau Kontras Aceh, kembali mengangkat isu TKI Aceh yang akan digantung di Malaysia itu, pertengahan Agustus ini. Asiah Uzia, Wakil koordinator Kontras Aceh, menerima sepucuk surat dari Bustamam Bin Bukhari dan Tarmizi Bin Yakob yang ditujukan untuknya.

Isinya mengabarkan mereka telah mendapatkan putusan hukum tetap: digantung sampai mati (Baca juga: Mimpi Buruk di Negeri Ringgit) . Kini mereka telah dipindahkan ke Penjara Pokok Sena, Kedah, Malaysia. Surat yang ditulis Bustamam itu masih berisi harapan agar pemerintah mau melobi Kerajaan Malaysia untuk meringankan hukuman.

"Dengan beribu-ribu pengharapan dan mengharap simpati, kami meminta siapapun yang terlibat untuk dapat membuat lawatan dan pembuatan permohonan ampun kepada kerjaan Malaysia," tulis Bustamam.

Dari data yang dikumpulkan tim bentukan pemerintah Aceh, terdapat 262 orang Aceh yang tersangkut kasus hukum di Malaysia. 195 orang diantaranya diancam hukuman mati karena dadah. Hanya 36 diantaranya yang tak digantung, karena berat ganja yang dibawa tak cukup gram.

Mereka tersebar di dua tempat: Penjara Kajang dan Sungai Buloh. Bustamam Bin Bukhari dan Tarmizi Bin Yakob serta Parlan Bin Dadeh adalah tiga narapidana yang akan segera dihukum gantung.

Asiah mengatakan, para TKI yang terancam hukuman mati itu merupakan korban dari konflik Aceh yang perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah.  Kata Asiah, mereka melarikan diri dari Aceh untuk mencari penghidupan yang layak. Di Aceh mereka terkurung dalam konflik.

"Bagaimanapun negara punya tangungjawab untuk membantu meringankan hukuman mereka, mereka melakukan itu mungkin karena terdesak, karena tidak memiliki pekerjaan," katanya.

Menurut dia, upaya bantuan hukum yang diberikan pemerintah melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia tidak maksimal. Pasalnya banyak keluhan dari para tahanan bahwa pengacara yang ditunjuk tidak serius menangani kasus.

Karena tak puas, bahkan ada tahanan yang menyewa pengacara sendiri. "Mereka minta dikirimkan uang dari kampung untuk menyewa pengacara sendiri, kebanyakan mereka berhasil dan tidak sampai dihukum mati," ujar Asiah.

Diplomat "Merayulah"
       

Pemerintah, baik di tingkat pusat dan lokal, terus berupaya menyelamatkan warga yang terancam hukuman mati di Malaysia. Jurubicara Kementrian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengungkapkan bahwa  dalam tiga tahun terakhir sudah 21 WNI di Malaysia yang diringankan hukumannya, dari hukuman mati diubah ke hukuman lain (Baca wawancara Teuku Faizasyah: Kita Lagi Mencari Celah Pengampunan).

"Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur melakukan pengkajian dengan pengacara yang ditunjuk KBRI. Proses itu sedang dilakukan sekarang. Kita bukan ahli hukum, jadi perlu dibicarakan dengan ahli hukum di sana yang mengerti hukum Malaysia untuk mencari apakah celah-celah hukum itu ada," kata Faizasyah kepada VIVAnews.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar, mengungkapkan bahwa ada atase tenaga kerja dari pejabat eselon dua di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur. Atase itu bertugas setiap saat memonitor, menindaklanjuti dan mencari solusi. "Bila ada masalah, perwakilan kita memberitahu anggota keluarga di kampung halaman, lalu mengawal keringanan dan pembebasan kalau bisa dilakukan," kata Muhaimin kepada VIVAnews.

Namun, menurut dia, mekanisme itu bisa berjalan dengan efektif dengan syarat para pekerja harus terdata, legal, dan dijamin asuransi. Dia mengakui, langkah itu sulit diterapkan bila ada warga yang masuk dan bekerja secara ilegal di Malaysia. "Siapapun tidak tahu pasti keberadaan jumlah, jenis, dan kasusnya," kata mantan Wakil Ketua DPR itu.

Menurut Faizasyah, setiap kasus hukum yang menimpa warga di Malaysia ada ciri khasnya. "Itu yang sedang dipelajari dengan tenaga pengacara setempat. Celah hukum apa yang bisa kita manfaatkan, celah hukum itu yang kemudian kita tampilkan dalam surat permohonan clemency (ampunan), grasi atau bentuk-bentuk lainnya," kata Faizasyah.

Upaya serupa juga dilakukan pemerintah di tingkat lokal. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf sebenarnya telah melakukan upaya merayu kerajaan Malaysia dalam sebuah lawatan di tahun 2008 lalu. Kala itu, Irwandi bertemu untuk urusan bisnis. Tapi sayang, upayanya kandas.

Pemerintah Malaysia tidak menghiraukan pembicaraan itu. Irwandi akhirnya lepas tangan. Tidak ada lagi upaya lanjutan untuk melakukan pembelaan terhadap para narapidana asal Aceh itu.

"Aceh ini kan bukan negara, jadi seharusnya memang presiden yang turun langsung membicarakan ini dengan pihak kerajaan, government to government," ujar Saifuddin Gani.

Menurut Saifuddin, pemerintah Thailand pernah melakukan upaya pembelaan terhadap warganya yang juga akan dihukum gantung di Malaysia. Mereka berhasil setelah kerjaaan Thailand bertemu langsung dengan raja Malaysia.

"Banyak orang-orang di sana yang menyarankan agar Indonesia mencoba melakukan hal yang sama, jadi memang membutuhkan pembicaraan langsung antar pemerintah," ujarnya.

Tunggu Mati di Selanggor

Bustamam,Tarmizi, dan Parlan Bin Dadeh kini telah terasing di penjara Pokok Sena, Selangor Malaysia. Mereka ditempatkan dalam bangsal yang terpisah-pisah. Dalam ruang jeruji berukuran 3x3 meter, mereka menghitung hari menuggu giliran dieksekusi. Tidak ada lagi mimpi bisa kembali ke Aceh.

Di hari-hari suram itu, di tengah bayangan tiang gantungan, mereka tak kan pernah berhenti berharap pada apa saja yang meringankan hukuman mereka. Termasuk "rayuan" istana ke negeri serumpun itu.

Laporan Muhammad Riza (Aceh) | Iwan Kurniawan (Jakarta)

No comments:

Archives