Ongkos Politik = Beban Rakyat

Sumber : Tangsel Raya

Dengan terbentuknya DPRD Kota Tangerang akhir Maret 2010 lalu, berarti kota ini mulai punya kepastian bahwa tahap pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk memilih wali kota definitif akan segera dimulai.

Tugas pertama, DPRD akan segera menyusun rencana peraturan daerah (raperda) yang berkaitan dengan pilkada. Setelah itu raperda akan disahkan menjadi perda. Baru kemudian dilakukan tahapan sosialisasi perda, penyaringan calon wali kota hingga akhirnya dilaksanakan pilkada secara jujur dan adil alias jurdil.

Tapi belum lagi tahapan pilkada dimulai ada kabar kurang sedap yang tercuat berkaitan dengan "ongkos politik" yang harus dikeluarkan oleh para calon kandidat wali kota. Setiap calon pasti menyadari bahwa "ongkos politik" memang mutlak diperlukan tapi hendaknya masih dalam hitungan wajar.

Namun isu yang beredar kemudian, ada salah satu calon kandidat dikenakan ongkos politik sebesar Rp 500 juta - Rp 1 milyar per kursi/suara anggota DPRD yang merupakan perwakilan dari partai politik. Sementara untuk mendapatkan "perahu" sebelum mengarungi "lautan pilkada", seorang calon membutuhkan minimal 7 kursi atau suara.

Secara hitungan awam, paling tidak si calon membutuhkan ongkos politik antara Rp 3,5 milyar hingga Rp 7 milyar. Ironisnya biaya tersebut belum termasuk "biaya kampanye" yang juga masuk sebagai "ongkos politik". Sehingga paling tidak dalam pilkada mendatang, si calon harus menyiapkan dana sebesar Rp 10 milyar untuk maju sebagai kontestan.

Terlepas, isu tersebut benar atau tidak, hukum sebab akibat pasti akan terjadi dalam pilkada ini. Dalam prinsip investasi, ada hukum yang disebut tabur tuai. Jika kita menabur sedikit pasti akan menuai sedikit. Tapi jika kita menabur banyak, paling tidak juga harus menuai banyak.

"Dengan pengorbanan sedikit untuk mendapatkan penghasilan yang banyak," secara otomatis merupakan teori mutlak yang berlaku secara umum.

Tanpa ingin menuding calon-calon yang akan bertarung dalam pilkada mendatang akan berlaku seperti pelaku-pelaku bisnis ini, kami mereasa bahwa paling tidak si calon punya beban moral kepada keluarga, sahabat ataupun rekanan yang membantu mereka dalam penyediaan dana kampanye mereka.

Ujung-ujungnya, praktek-praktek ilegal seperti "jual-beli proyek" atau "kongkalikong politik" tentu tak dapat dihindarkan. Maka sebagai para politisi yang berada di partai-partai politik dapat memikirkan hal ini lebih dalam. Jangan hanya karena mengejar kepentingan sesaat, partai politik memanfaatkan calon kandidat sebagai sapi perah. Sebab jika di kemudian hari calon yang didukung melakukan "kecurangan" demi untuk menutupi "ongkos politik" yang dia harus bayar, rakyat yang partai politik wakili juga yang akan menanggung bebannya. (w-2)

No comments: