Sumber : http://www.tangselraya.com/
Pemilihan kepala daerah (pilkada) kerap dituding menghabiskan banyak biaya. Salah satu biaya yang cukup tinggi adalah “ongkos politik” yang harus dibayarkan calon-calon wali kota kepada partai politik? Benarkah?
Meski Pilkada Tangsel baru akan berlangsung sekitar enam bulan lagi, namun suhu politik di kota ini semakin meningkat. Sejumlah bakal calon wali kota telah sibuk memasang spanduk, baliho dan atribut lainnya di sudut-sudut kota.
Entah berapa banyak uang yang dihamburkan oleh para calon ketika mereka memasang spanduk, baliho, stikker, kaos atau atribut lain? Itu baru di awal-awal. Entah berapa banyak lagi biaya yang akan dikeluarkan oleh masing-masing calon ketika gong pilkada benar-benar ditabuh.
Tapi ketika gaung pilkada ini mulai bergema, sebuah berita mencengangkan beredar. Ada isu politik yang mencuat berkaitan dengan dengan pelaksanaan pilkada Kota Tangerang Selatan tersebut. Sejumlah calon mengaku telah dimintai “ongkos politik” dalam jumlah besar oleh partai politik di sana.
Seorang bakal calon wali kota menyebutkan bahwa dirinya dimintai ongkos politik antara Rp 500 juta hingga Rp 1 Milyar untuk satu kursi dukungan. “Ya, sekitar Rp 500 juta per kursi,” ujar calon wali kota yang enggan disebutkan namanya. Dana tersebut merupakan mahar atau emas kawin bagi partai yang bersangkutan. Namun saying, calon itu enggan menyebutkan nama partai yang telah meminta uang sebesar itu dari sang calon.
Jika benar permintaan ongkos politik sebesar itu, lalu berapa besar dana yang diperlukan si calon untuk mendapatkan perahu dalam lomba bernama pilkada tersebut?
Andai kita merujuk pada Pasal 4, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dijelaskan untuk pengajuan bakal calon pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah sekurang-kurangnya harus didukung 15% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota. Karena Kota Tangerang Selatan memiliki 45 kursi anggota DPRD, maka setiap calon minimal harus mendapat dukungan 7 kursi anggota DPRD Tangsel agar bisa ikut pilkada. Dengan demikian, setiap bakal calon pasangan wali kota setidak-tidaknya menyiapkan dana sekitar Rp 3,5 milyar untuk bisa lolos verifikasi. Dana tersebut belum termasuk biaya atribut pendukung kampanye seperti spanduk, poster, baliho, kaos, stiker dan lain-lain.
Mahalnya biaya “mahar politik” tersebut mungkin yang menyebabkan sejumlah calon hingga kini belum mau mempersunting partai politik dan lebih memilih untuk masuk jalur independen.
Toto, warga Ciputat yang dimintai komentarnya oleh Tangsel Raya menyatakan bahwa “ongkos politik” yang terlalu tinggi itu akan menyebabkan calon-calon berkualitas yang tidak punya dana pasti akan kesulitan untuk membayar ongkos tersebut.
“Jika dana yang diminta partai politik sangat besar, tentu ada banyak calon potensial yang tidak berani mencalonkan diri. Akibatnya, kualitas pilkada pun akan berkurang,” tambah Toto.
Sedangkan, Indah, warga Pamulang menilai harga yang ditawarkan oleh partai-partai politik tersebut tidak rasional. Sebab, dengan dana sebesar itu, paling tidak para calon memerlukan dana tak kurang dari Rp 5 – 10 milyar. “Jika dana kampanyenya tinggi, pasti calon wali kotanya juga akan berusaha untuk mengembalikan dana tersebut. Lantas bagaimana pemerintahan wali kota baru itu akan bersih,” tutur karyawati swasta ini.
Dia menuturkan kalau “ongkos politik” yang dibayarkan kepada partai cukup mahal, si wali kota terpilih juga pasti punya kecenderungan untuk melakukan korupsi. “Sebab pasti dia akan banyak berhutang pada pihak ketiga. Dan untuk membayar hutang-hutangnya, dia pasti akan memilih cara KKN,” tambah ibu dua anak ini.
Indah menambahkan jika memang “ongkos politik” yang dibayarkan kepada partai-partai itu terlampau tinggi, dia menyarankan agar calon-calon wali kota memilih jalur independen saja. “Mungkin jalur independen akan lebih murah. Yang penting programnya bisa diterima masyarakat. Atau bisa juga sekalian memboikot pilkada,” katanya.
Kontribusi Pantes
Menanggapi isu soal besarnya biaya yang harus ditanggung bakal calon pasangan wali kota, sejumlah partai politik menganggapnya bahwa “ongkos politik” memang ada namun mereka mengelak kalau ada patokan harga khusus kepada para calon tersebut.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PKS Tangsel, Ruhamaben menyebutkan partainya terbuka dari awal pembicaraan. Dari agenda pemenangan calon seperti apa, masing-masing calon dan partai saling memberikan kontribusi. “Sehingga memang ada biaya yang harus dipakai. Namun PKS bukan semata-mata hanya mengejar uang,” ujar Ruhamaben.
Dia menjelaskan, biaya-biaya tersebut akan dipakai untuk agenda pemenangan, pembuatan spanduk, kampanye, kerja sama dengan media dan sebagainya. Tapi jumlahnya tidak mencapai Rp 1 milyar.
“Tidak sampai sebesar itu. Tergantung popularitas pasangan calon, Kalau sudah dikenal publik, biaya semakin kecil. Kalau dari nol, kita berjuang lebih keras lagi untuk mengenalkannya kepada masyarakat,” lanjut Ruhamaben.
Hal senada juga disampaikan Ketua DPD Banten, Partai Gerindra, Budi Hariadi. Menurutnya, setiap partai termasuk Gerindra memang meminta kontribusi yang pantas untuk pemenangan pasangan calon yang didukung partai. “Tapi kami belum membentuk Tim Penjaringan, jadi belum menentukan besarnya biaya. Kalaupun ada, pasti kami minta kontribusi yang pantas saja,” imbuh Budi Hariadi.
Anggota DPR RI Komisi IX ini juga menambahkan, DPD Banten Partai Gerindra mendukung sepenuhnya Tangsel dipimpin oleh putra-putri asli daerah, bukan oleh orang lain.
Sekretaris DPC Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tangsel, Bambang Priadi membantah kalau partainya memungut biaya sebesar itu. “Tidak ada pemungutan biaya sebesar itu. Yang ada melalui mekanisme partai yakni melalui penjaringan pendaftaran. Bila ada kader yang mencalonkan diri, paling-paling dikenakan biaya Rp 1 juta. Paling top Rp 5 juta,” ujar Bambang.
Mekanisme partai yang berlaku di PDIP, menurut Bambang, penjaringan pendaftaran melalui rapat khusus. Kader yang ingin mencalonkan harus mencari dukungan grass root. Konsekuensinya, calon harus sosialisasi melalui stiker, spanduk atau atribut lainnya. “Jadi, yang meminta uang bukan dari partai tapi calon sendiri yang bisa mencari dukungan grass root,” kata Bambang.
Beberapa partai lain juga membantah isu soal adanya dana sebesar itu yang diminta oleh partai-partai politik tersebut. Mereka beranggapan bahwa hal tersebut mungkin hanya dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan partai. Sebab partai sendiri tidak akan melakukan hal itu, apalagi ketika masyarakat sudah semakin kritis. (TIM TR)
No comments:
Post a Comment