Makelar di Markas Besar

12 April 2010

Source : http://multiply.com/gi/sudarjanto:journal:13949

KANTOR PT Fankhaus Far East di Gedung Selmis, tepat di sebelah stasiun kereta api Tebet, Jakarta Selatan, tampak lengang. Kaca gelap dan pintu gulung membuat penampilan kantor konsultan manajemen itu kontras dengan hiruk-pikuk deret an warung soto dan penjual bakso di kanan-kirinya. Tidak ada penanda apa pun di depannya. Hanya tempelan stiker merah menyala berlambang panah dengan tulisan ”Bareskrim”.
Para penyewa ruangan di perkantoran Selmis mengenal pemilik Fankhaus sebagai ”Pak Jenderal”. Seorang anggota staf di satu kantor fi rma hukum di sana bahkan menjelaskan kantor itu biasa dijaga polisi militer. ”Dia memang sudah lama di sini,” katanya. Tapi, Jumat pekan lalu, hanya ada dua pria penunggu kantor itu. Saat Tempo masuk, ruang depan kantor itu kosong melompong dan berdebu.
Di ruangan sebelah, bertumpuk-tumpuk kursi, meja, buku, dan perabot lain. Semua barang itu ditumpuk sekena nya, membuat ruangan mirip gudang penyimpanan. Bahkan kemeja dan kaus digantung di sana-sini. Sekilas, sulit untuk percaya bahwa kantor itu milik seorang bekas diplomat yang dikenal dekat dengan petinggi hukum di negeri ini: Sjahril Djohan.
”Lagi sepi, Mas,” kata si penjaga kantor, pria kurus tinggi dengan rambut sedikit gondrong, saat ditanya soal kondisi kantornya yang mengenaskan. Setelah menanyakan maksud kedatangan Tempo, dia menghubungi seseorang melalui telepon. Lima menit kemudian, telepon berdering.
”Pak Sjahril tidak ada,” kata suara di seberang. Suara perempuan bernada tegas. Dia lalu setengah memerintah, ”Tinggalkan saja nomor telepon Anda, nanti saya hubungi.” Telepon ditutup. Tak sampai semenit, mendadak telepon berdering lagi. Perempuan yang sama di ujung telepon. ”Nama saya cuma untuk Anda. Jangan sebut-sebut nama saya.”
WAJAH Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji mendadak tegang. ”Saya sudah menghitung risiko tindakan saya,” katanya. ”Mati pun saya tidak takut,” katanya lagi. Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI ini memandang wajah para anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat di sekelilingnya, dengan sorot mata tajam. Keringat bercucuran di keningnya.
Kamis pekan lalu, setelah sempat tiarap beberapa saat, didampingi belasan pengacara, Susno muncul di Senayan. Sepekan sebelumnya, pria asal Pagar Alam, Sumatera Selatan, ini memang sudah mengajukan surat permohonan perlindungan hukum ke parlemen. ”Soalnya, klien saya mau diadili secara in absentia di Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri,” kata kuasa hukum Susno, Henry Yosodiningrat.
Di tengah pertemuan dengan Komisi Hukum inilah Susno meledakkan ”bom nuklir”-nya yang kedua. Mafi a hukum dalam kasus Gayus Tambunan yang ia ledakkan sebelumnya tak hanya beraksi sekali. Kelompok yang sama bermain dalam kasus pidana PT Salmah Arwana Lestari di Pekanbaru.
”Andi Kosasihnya sama, Haposannya sama, jaksanya sama, dan Mr X-nya juga sama,” kata Susno. Nilai kasus ini jauh lebih besar daripada kasus Gayus Tambunan yang ”hanya” Rp 28 miliar. Modal awal perusahaan itu mencapai Rp 100 miliar dengan investasi tambahan berupa bibit ikan arwana dan tenaga ahli senilai Rp 32 miliar. Menurut Susno, modus permainan makelar kasus dalam perkara PT Salmah Arwana adalah meng ubah kasus perdata menjadi pidana.
Tak hanya menyebut nama dan kasus baru, Susno membongkar jejaring makelar kasus di Trunojoyo, markas besar hamba wet. Mr X dekat dengan MP, jenderal bintang tiga di kepolisian. Setelah sempat diprotes kanankiri karena menyamarkan tokoh-tokoh kunci ini dengan inisial, Susno akhirnya mengalah. Dia membuka identitas terang X dan MP dalam rapat tertutup.
Seusai rapat, sejumlah politikus membenarkan bahwa yang dimaksud Susno sebagai Mr X adalah Sjahril Djohan, sementara MP adalah Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara, mantan Wakil Kepala Polri. Pagipagi, Makbul sudah membantah. ”Segala aktivitas SJ tidak ada kaitannya dengan saya,” tulis Makbul dalam pesan pendek yang disebarkan kepada jurnalis.
Tak hanya diduga piawai memelintir kasus, jejaring makelar kasus yang dipimpin Sjahril ini dituding punya kekuasaan luar biasa besar. Mereka bisa memindahkan pejabat polisi yang menolak bekerja sama. Begitu Susno membeberkan peran Sjahril, informasi pun mengalir. Satu sumber Tempo berbisik, Sjahril Djohan bermain dalam penerbitan surat perintah penghentian penyidikan dalam kasus penyerobotan lahan pertambangan milik Porodisa oleh Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur, dua tahun lalu.
Jejak Haposan dan kawan-kawan juga tercium dalam kempisnya kasus dugaan suap atas Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar yang diungkap Komisaris Besar Tubagus Irman Santosa, berkaitan dengan penyidikan kasus L/C bodong BNI, empat tahun lalu. Saat itu, Haposan adalah kuasa hukum Irman. Kasus itu menguap karena kurang bukti.

 

Makelar di Markas Besar (2)

Komplotan ini juga dituduh bermain dalam pencairan fulus milik Tommy Soeharto di BNP Paribas senilai US$ 10 juta pada 2007. Pencairan ini mulus berkat bantuan para pejabat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ketika itu, Haposan dituduh mencoba memeras kuasa hukum Tommy, Hidayat Achyar (lihat ”Bancakan Laporan Bocor”).
Tak aneh jika anggota Komisi Hukum terpesona mendengar cerita Susno. ”Jaringan mafi a ini melibatkan seluruh institusi penegak hukum. Semua datanya ada di Pak Susno,” kata politikus Partai Persatuan Pembangunan, Ahmad Yani. ”Kalau benar Mr X adalah sutradaranya, ini adalah kejahatan paripurna dari hulu sampai hilir.”
TIDAK mudah masuk ke kawasan penangkaran ikan arwana milik PT Salmah Arwana Lestari di Desa Muara Fajar, Kecamatan Rumbai, sekitar 40 kilometer di utara Pekanbaru. Tiga orang petugas keamanan melarang siapa pun mendekat. ”Tidak punya izin tidak boleh masuk,” kata satu petugas berbadan kekar.
Total ada 34 kolam ikan di lokasi peternakan arwana seluas 20 hektare itu. Pagar kawat setinggi tiga meter membatasi orang yang ingin mendekat. Peternakan itu juga dilengkapi laboratorium pembibitan dan pembesaran ikan arwana.
Perkara pidana yang membelit perusahaan ini berawal dari pecah kongsinya dua pemilik PT Salmah: Anwar Salmah alias Amo, 61 tahun, pengusaha lokal di Riau, dan Ho Kian Huat, pengusaha asal Singapura. Pada 1992, mereka sepakat bekerja sama mendirikan perusahaan bernama CV Sumatera Aquaprima—belakangan berganti nama menjadi PT Sumatera Aquaprima Buana.
Dalam skema kongsi ini, Ho Kian Huat menyiapkan modal usaha serta mendatangkan bibit dan induk ikan arwana dari Singapura, sementara Amo menyiapkan lokasi di Indonesia. Total dana yang digelontorkan Ho Kian saat itu sekitar Rp 130 miliar. Pada 1993, dia juga mengirim sekitar 1.500 anak ikan arwana, jenis super red, cross back golden, dan golden red, untuk dikembangbiakkan di Pekanbaru. Kerja sama berjalan mulus sampai sepuluh tahun. Amo mengembangbiakkan ikan-ikan arwana, sementara Ho Kian menjualnya ke Cina, Jepang, Amerika, dan Eropa dengan bendera per usahaannya sendiri, Rainbow Aquarium. Sengketa muncul pada 2002 saat Amo memutuskan jalan sendiri dan mulai potong kompas: menjual langsung arwana ke Jepang.
Ho Kian, yang merasa ditipu, mengadukan Amo ke Mabes Polri dengan tuduhan penggelapan. Pengacara yang membantu Ho Kian untuk perkara ini adalah Haposan Hutagalung. Pada Maret 2008, pengacara Amo, Johny Irianto, balik melaporkan Ho Kian ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. ”Kami tidak mau dituding melakukan penggelapan,” kata Johny.
Amo juga menggugat Ho Kian secara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tahun lalu, majelis hakim memenangkan Amo dalam sengketa ini. Putusan pengadilan negeri ini dikuatkan dalam putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Di sini kejanggalan mulai muncul. Johny mengaku heran mengapa polisi ngotot meneruskan kasus pidana yang dilaporkan Ho Kian. ”Padahal, dengan adanya keputusan perdata yang memenangkan kami, seharusnya kasus pidananya batal demi hukum,” katanya.
Keanehan inilah yang juga dicium Susno. ”Sejak awal, saya yakin ini kasus perdata,” kata Susno Duadji saat bersaksi di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Dia menilai tidak ada alasan untuk menindaklanjuti pengaduan pidana Ho Kian. Pengaduan Ho Kian dinyatakan lengkap dan siap dilimpahkan ke pengadilan. Ketika kasus ini terjadi, Susno belum menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal, melainkan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat.
Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Ito Sumardi membantah tudingan Susno soal makelar kasus dalam perkara ini. ”Kasus pidana yang diadukan Ho Kian memang sudah lengkap, tapi kasus yang diadukan Amo juga kami proses,” kata Ito. ”Kita uji saja nanti di pengadilan. Kalau lemah, pasti ada rekayasa,” katanya.
SELAIN bisa mengubah kasus perdata menjadi pidana, trio makelar kasus Sjahril Djohan dkk dituding bisa menyulap kasus pidana menjadi perdata. Kasus dugaan penyerobotan la han pertambangan di Kalimantan Timur milik PT Porodisa Trading and Industrial oleh PT Kaltim Prima Coal disebut-sebut sebagai contohnya. Kasus ini mencuat pada 2008 ketika Porodisa mengadukan tindakan Kaltim Prima Coal membuka enam kawasan pertambangan di area hutan seluas

 

Makelar di Markas Besar (3)

8.480 hektare yang mereka kuasai. Ketika itu, lembaga advokasi lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup, menuding anak perusahaan Bumi Resources itu tidak mengantongi izin hak pemanfaatan hutan. ”Seharusnya KPC mengurus izin ini terlebih dahulu,” kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Timur Izal Wardana saat kasus ini mulai mencuat.
Pengaduan Porodisa ditanggapi baik oleh polisi. Kepala Polda Kalimantan Timur saat itu, Inspektur Jenderal Indarto, menetapkan Manajer TambangKaltim Prima Coal R. Utoro sebagai tersangka. Namun mendadak angin berbalik pada Agustus 2008.
Indarto dicopot dua bulan sebelum pensiun dan digantikan Inspektur Jenderal Andi Masmiyat. ”Sejak itu, penanganan kasus KPC mandek,” kata Izal. Tak hanya mandek. Begitu dilantik, Kepala Polda yang baru langsung mencabut status tersangka Utoro. Tiga bulan kemudian, Masmiyat mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan untuk kasus Kaltim Prima Coal. ”Ini hanya masalah perdata,” katanya ketika itu.
Indarto sendiri, kini pensiun, menolak berkomentar soal insiden itu. ”Itu sudah dua tahun lalu,” katanya pekan lalu. Dia mengaku kenal dengan Sjahril Djohan. ”Waktu saya masih di Bareskrim, dia sering ada di sana,” ujarnya. Seorang sumber Tempo menduga Sjahril Djohan berperan dalam pencopotan Indarto. Soal ini, Indarto justru yang membantah. ”Pencopotan saya adalah kewenangan penuh Kapolri,” katanya kalem.
PENGACARA Haposan, John Panggabean, tidak terima kliennya disebut sebagai makelar kasus. ”Ini pembunuhan karakter,” katanya saat ditemui Jumat pekan lalu. Menurut John, Haposan adalah advokat berpengalaman yang rekam jejaknya lurus. ”Dia menerima semua perkara, dari yang tidak ada duitnya macam kasus mutilasi anak jalanan sampai kasus korupsi BNI,” ujarnya. Karena itulah nama Haposan bertebaran dalam kasus-kasus besar. ”Jaringannya memang luas,” katanya. ”Masak karena itu dia dituduh sebagai makelar kasus?” Menurut John, peran Haposan dalam kasus Gayus Tambunan juga semata-mata untuk membela kliennya.
”Dia tidak terlibat merekayasa pengakuan Andi Kosasih,” ujarnya. Ketua Persatuan Advokat Indonesia Otto Hasibuan, yang juga ketua tim kuasa hukum Haposan, balik menuding polisi tidak cermat menyusun sangkaan atas kliennya. ”Kalau dia turut serta menyuap, siapa yang disuap? Tolong beri tahu saya,” katanya keras. Meski menolak semua tuduhan, tim pembela Haposan membenarkan satu hal: Haposan memang kenal dengan Andi Kosasih. ”Mereka kenal saat menangani kasus PT Salmah Arwana Lestari,” kata John Panggabean. Namun dia tak bisa memerinci bentuk kerja sama Andi dan Haposan saat itu.
Kuasa hukum Andi Kosasih, O.C. Kaligis, belum mau banyak berkomentar soal kliennya. Telepon dan pesan pendek Tempo tidak berbalas. ”Kita tunggu dulu hasil pemeriksaan,” katanya kepada sejumlah jurnalis, dua pekan lalu. Andi Kosasih disangka terlibat dalam kongkalikong yang membebaskan Gayus Tambunan, pegawai Direktorat Pajak Golongan IIIa yang memiliki rekening Rp 28 miliar.
Dari tiga tertuduh komplotan makelar kasus yang dibongkar Susno, memang tinggal Sjahril Djohan yang belum
jelas sosoknya. Ada kabar, eks diplomat yang dikenal punya kemampuan intelijen ini sudah mengungsi ke Perth, Australia. Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung, yang pernah mengangkat Sjahril sebagai anggota staf ahli Kejaksaan Agung pada 2001, mengaku tak yakin akan akurasi tuduhan Susno. ”Tidak masuk akal,” katanya pekan lalu. ”Saya kenal dia sebagai pribadi berkarakter baik.”
Seorang pejabat yang menolak disebut namanya membenarkan. ”Sjahril Djohan membantu polisi mengungkap kasus korupsi di Kedutaan Besar Indonesia di Singapura, kasus manipulasi tiket di Kementerian Luar Negeri, dan banyak kasus korupsi lain,” katanya. Tujuh tahun lalu, namanya pernah dimuat majalah Tempo karena mengungkap aset-aset yang ditinggalkan koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Hendra Rahardja, di Australia.
Ketika itu, Tempo sempat mewawancarainya di kantor PT Fankhaus di perkantoran Selmis, Tebet. Saat pekan lalu Tempo datang lagi ke sana, staf Sjahril masih ingat pada wawancara itu. ”Semua ini salah besar,” kata si penjaga kantor sambil memukul tumpukan koran keras-keras. Hampir semua media hari-hari ini memang memuat besar-besar tuduhan Susno soal peran Sjahril Djohan sebagai makelar kasus. Ia melanjutkan, ”Tunggu saja penjelasan dari pengacara Pak Sjahril.”
Wahyu Dhyatmika, Maria Hasugian (Jakarta), S.G. Wibisono (Balikpapan), Jupernalis Samosir (Pekanbaru)

Yoyo Sang Intelijen

… Dibuat dari kayu, kayu dibulatkan…
Dilempar ke bawah, ditarik ke atas, begitulah
caranya…

LAGU riang itu berdurasi dua menit delapan detik. Suara rekamannya tak lagi jelas. Dinyanyikan Ernie Irawati Djohan—sangat populer dengan lagu Teluk Bayur—bersama kelompok musik Buana Suara, lagu tersebut direkam pada 1968. Judulnya Permainan Yoyo, menceritakan seorang adik yang memainkan ”permainan murah dan gampang didapat di mana-mana”.
Permainan Yoyo diciptakan oleh kakak Ernie, Sjahril Djohan. Ia adalah pria 65 tahun yang disebut Komisaris Jenderal Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, sebagai makelar kasus. Di depan anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Susno memang hanya menyebutkan inisial SJ. Tapi mereka yang pernah berurusan dengan Markas Besar Kepolisian segera mafhum, yang dimaksudnya adalah Sjahril.
Sjahril—dan, tentu saja, Ernie—lahir dari keluarga diplomat. Sang ayah, M. Djohan Bakhaharudin, pernah bertugas di Belanda dan Singapura pada zaman pemerintahan Soekarno. Sjahril pun terbawa ke pergaulan internasional. Ia fasih berbahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Prancis. Tak mengherankan, ia pun bekerja di Departemen Luar Negeri. Ia antara lain pernah bertugas di Kedutaan Besar Repub lik Indonesia di Swiss. Duta Besar Djoko Susilo menyatakan Sjahril bertugas hingga akhir 1970-an. ”Ketika itu duta besarnya Pak Suryono Darusman,” kata mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat ini. Suryono adalah ayah mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman.
Sjahril hampir setiap tahun pergi ke Swiss. Dia selalu menjadikan negeri itu sebagai ”rumah” ketika melakukan perjalanan ke Eropa. Terakhir kali, ia tercatat berada di sana sekitar Juni tahun lalu. Seorang warga negara Indonesia di Bern menyatakan Sjahril mengenal hampir semua jalan di kota itu. Tapi, seperti yoyo, nasib Sjahril sempat terlempar ke bawah. Ia dituduh memalsukan ijazah buat masuk Departemen Luar Negeri. ”Ia dipecat akhir 1980-an,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, Jumat pekan lalu. ”Saya ingat karena jarang ada orang (diplomat) dikeluarkan.”
Tapi, ketika Marzuki Darusman diangkat menjadi Jaksa Agung oleh Presiden Abdurrahman Wahid, Sjahril kembali tertarik ke atas. Marzuki yang dikenalnya di Swiss mengangkat Sjahril sebagai anggota staf ahli. Kepada Tempo, Marzuki mengatakan Sjahril direkrut karena ”punya jaringan luas dan berkemampuan di bidang intelijen”. Dulu, kata Marzuki, Sjahril bekerja untuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Lembaga ini dibentuk setelah peristiwa 1965, dan berubah menjadi Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional pada 1988. Badan Koordinasi merupakan jantung kekuasaan Soeharto.
Kemampuan intelijen Sjahril sangat membantu Kejaksaan Agung dalam melacak buron atau aset negara yang dibawa kabur ke luar negeri. ”Dua tahun bekerja sama, dia memberi manfaat,” kata Marzuki. Tapi Marzuki hanya setahun lebih menjadi Jaksa Agung. Ia digantikan Baharuddin Lopa. Sejak itu, Marzuki tidak tahu lagi jejak Sjahril. Posisinya di Kejaksaan Agung membawa Sjahril ke pergaulan para pejabat kepolisian. Itu sebabnya ia kemudian masuk ke lingkaran Trunojoyo, Markas Besar Kepolisian.
Menurut Susno, Sjahril belakangan sangat dekat dengan seorang perwira tinggi berinisial MP. Banyak yang mafhum MP adalah Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara, mantan Wakil Kepala Kepolisian. Tapi sang jenderal membantah tudingan ini. Sjahril juga punya pertautan dengan politikus. Nurfi na, 64 tahun, istrinya, adalah bibi Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Ia datang ke pesta perkawinan Ardi Bakrie, anak Aburizal, dengan Nia Ramadhani di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, Kamis dua pekan lalu. Soal ini, juru bicara Bakrie, Lalu Mara Satria Wangsa, menyatakan tak tahu. ”Saya tak pernah dengar nama itu,” ujarnya.
Keluarga Sjahril tinggal di rumah dua lantai berpagar hijau di Jalan Rasamala, Tebet, Jakarta Selatan. Tapi ketika Tempo datang ke rumah itu, Sjahril tak bisa ditemui. Fandi, penjaga rumah, menyatakan bosnya pergi ke Australia akhir bulan lalu. Menurut seorang koleganya, ia memang punya rumah dan bisnis di sana.
Sunudyantoro, Wahyu Dyatmika, Bunga Manggiasih

Bancakan Laporan Bocor

HIDAYAT Achyar langsung teringat Haposan Hutagalung begitu makelar kasus menjadi sorotan. Tiga tahun silam, pengacara fi rma hukum Ihza & Ihza ini berurusan dengan Haposan, yang kini dituduh menjadi pelaku perdagangan perkara. Penghubung keduanya adalah duit US$ 10 juta atau sekitar Rp 90 miliar milik Tommy Soeharto, yang disimpan di Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas Cabang London.
Awalnya, buat mencairkan duit simpanannya, Tommy menyewa kantor pengacara Ihza & Ihza pada 2004. Ini fi rma hukum yang didirikan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ketika itu. Hidayat kemudian ditunjuk menangani klien besar dari Keluarga Cendana ini.
Pada fase akhir urusan dengan duit Tommy pada 2007 inilah Haposan masuk Ia menghubungi Hidayat, meminta bertemu. ”Pokoknya ketemu Abang dulu,” kata Hidayat kepada Tempo, Jumat pekan lalu, menirukan ajakan Haposan. Pertemuan pun dilakukan di kantor Haposan di lantai 19 gedung Patra Jasa, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Rupanya, ada duit US$ 600 ribu atau sekitar Rp 5,4 miliar yang masuk rekening Hidayat. Sebagian uang Tommy di BNP Paribas yang dapat dicairkan itu masuk ke BNI Cabang Melawai, Jakarta Selatan, lalu ke rekening Hidayat. ”Itu uang Ihza & Ihza. Saya ketitipan saja,” kata Hidayat. ”Jadi, setelah itu saya berikan ke Ihza.” Aliran dana ini yang menuntun Haposan datang.
TIGA rekening Tommy senilai US$ 60 juta atau Rp 540 miliar dibuka di BNP Paribas pada 1998. Diatasnamakan Garnet Investment of Triden, duit masuk hanya dua bulan setelah Presiden Soeharto, ayah Tommy, mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Garnet beralamat di Tortola, British Virgin Island.
Finance Intelligence Service, lembaga yang memantau pergerakan uang di Inggris, mencurigai sejumlah rekening di BNP Paribas. Rekening ini diduga punya kaitan dengan Soeharto sehingga dibekukan. Di antaranya simpanan milik Tommy itu. Tommy, yang waktu itu menjalani hukuman penjara karena terlibat pembunuhan Hakim Agung Syafi uddin Kartasasmita, berusaha menyelamatkan uangnya. Putra bungsu penguasa Orde Baru ini sempat menyewa pengacara dari Inggris dan Amerika. Tapi lawyer asing ternyata tak sukses. Atas saran seorang sahabatnya, ditunjuklah Hidayat Achyar untuk membantu. Dalam surat kuasa Tommy, Ihza & Ihza diminta mencabut pembekuan rekening atas nama Motorbike Corporation.
Hidayat menggunakan aturan bahwa seseorang atau badan hukum harus dinyatakan beriktikad baik, sampai bisa dibuktikan sebaliknya. Ia juga berargumen bahwa negara wajib membantu Tommy agar uang itu disimpan di Indonesia karena milik orang Indonesia. Dalil itu diterima Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman.
Singkat kata, rombongan Hidayat bersama antara lain sang Direktur Jenderal pergi ke London. Debat sengit terjadi antara Motorbike dan Paribas. Bank itu ngotot tak mau mencairkan dana nasabahnya. Paribas tetap mengajukan syarat, di antaranya pernyataan resmi dari pemerintah bahwa duit itu tak bermasalah dan surat keterangan bahwa Motorbike bebas utang. Surat inilah yang belakangan dikeluarkan oleh Departemen Hukum. Pada saat itu, Yusril telah digantikan Hamid Awaludin.
Sebagian duit dapat dicairkan. Sebanyak Rp 90 miliar mengalir melalui re kening Departemen Hukum, yang dipinjam khusus buat transaksi ini. Dalam sekejap, duit lenyap mengalir ke mana-mana. Di antaranya ke rekening milik Hidayat Achyar itu. Data ini rupanya telah dipegang Haposan

 

Bancakan Laporan Bocor (2)

Dalam pertemuan di kantor Haposan, tuan rumah langsung menyorongkan laporan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Haposan memberikan informasi penting bahwa Hidayat menjadi target polisi karena melakukan transaksi mencurigakan. Kepada tamunya, Haposan menyatakan mendapatkan laporan hasil analisis itu dari petinggi polisi. ”Saya beli ini, Bang,” kata Hidayat menirukan pernyataan Haposan.
Menurut Hidayat, setelah itu Haposan langsung menyodorkan kuitansi dan meminta Hidayat mengganti sejumlah uang yang tertulis di situ. Ia juga me nawarkan diri menjadi pengacara agar Hidayat bisa selamat dari tudingan. Hidayat menolak, dengan alas an sudah mendapatkan laporan yang sama dari sumber lain. Hidayat ju ga ogah didampingi Haposan sebagai pengacara. ”Saya kan juga pengacara, bisa melakukan pembelaan hukum sendiri,” ujarnya. Haposan kini dalam tahanan polisi.
Ia disangka menyuap polisi, jaksa, dan hakim untuk mengatur bebasnya Gayus Tambunan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak golongan IIIa. Gayus sempat bebas dari sangkaan pencucian uang, tapi kini kembali dijerat dengan tuduhan melakukan korupsi dan penggelap an. Ia juga ditahan. Otto Hasibuan, pengacara Haposan, menyatakan belum mendapatkan informasi ihwal tudingan kliennya berusaha memeras Hidayat Achyar. ”Saya belum tahu,” katanya.
Aktivis Indonesia Police Watch, Ne ta S. Pane, mengatakan selama ini Ha posan dikenal sebagai pengacara yang tidak pernah beracara. Dia selalu ber usaha menyelesaikan kasus di luar peng adilan. Soal ini, Otto mengatakan penyelesaian di pengadilan perlu ongkos besar dan melelahkan. Karena itu, yang dilakukan Haposan tak salah.
HAPOSAN yang memanfaatkan laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan hanya satu cerita. Sumber Tempo memberikan informasi, seorang notaris yang juga dekat dengan polisi pun berusaha memeras Tommy Soeharto. Senjatanya sama, data transaksi keuangan. Kedekatan hubungan mereka dengan perwira polisi, terutama pada Direktorat II Bidang Ekonomi Badan Reserse, bisa menjadi modal buat mendapatkan data itu.
Direktorat Ekonomi memang diberi tanggung jawab menangani laporan transaksi mencurigakan. Data ini dipasok Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, yang menyerahkan laporan hasil analisis. Data ini sebenarnya sudah memuat dugaan pelanggaran plus profi l pemilik rekening yang dicurigai. Tapi, sejauh ini, hanya sebagian kecil data dari Pusat Pelaporan yang diproses. Hingga kini, Pusat Pelaporan sudah menyerahkan 1.072 laporan hasil analisis ke polisi dan jaksa. Namun hanya 27 kasus yang diteruskan dan kasusnya disidangkan menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sekitar 25 laporan dari ribuan itu dilimpahkan ke Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Dari laporan itu, belum jelas juga kelanjutannya. Alfons Lemau, pensiunan komisaris besar yang pernah membangkang pada zaman Kepala Kepolisian RI Jenderal Bimantoro, menyatakan ruang lingkup Direktorat Ekonomi memang rawan godaan. Direktorat itu menangani kejahatan perbankan, ekspor-impor, pajak, dan segala yang terkait dengan uang gede. ”Yang diperiksa orang-orang berduit. Potensi untuk memeras tinggi sekali,” katanya.
Kepala Badan Reserse Kriminal Ito Sumardi mengatakan punya semua data laporan Pusat Pelaporan. Yang dilaporkan tidak bisa dengan mudah diproses. ”Laporan PPATK itu petunjuk, bukan bukti,” katanya. Jika setelah ditelusuri, ada perbuatan melanggar hukum, barulah jadi alat bukti. Jadi statusnya sama saja dengan laporan Badan Pemeriksa Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Sunudyantoro, Wahyu Dhyatmika

Ito Sumardi : Pak Susno Tahu Banget

TELEVISI layar datar 64 inci terpajang di ruang kerja Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Komisaris Jenderal Ito Sumadi. Layarnya menayangkan gambar dari kamera keamanan ruang pemeriksaan penyidik, ruang kerja para pejabat, tahanan, hingga ruang wartawan. ”Bisa saya pantau semua dari sini,” katanya kepada Tempo, Jumat pekan lalu. ”Tuh, lihat ada wartawan ngantuk,” katanya geli.
Ito mengatakan kamera keamanan yang terhubung langsung ke ruang kerjanya itu penting buat menghalau makelar kasus. ”Supaya tidak ada negosiasi selama pemeriksaan,” katanya. Ito mengaku ingin mengikis citra buruk reserse setelah terbongkarnya rekayasa kasus korupsi Gayus Tambunan.
Belum lagi upaya itu berhasil, Komisaris Jenderal Susno Duadji, Kepala Badan Reserse sebelumnya, terus merangsek. Di depan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis pekan lalu, ia menyebutkan inisial SJ—singkatan dari Sjahril Djohan, yang dikenal dekat dengan para pejabat kepolisian— sebagai makelar kasus kakap di polisi. Sebagai pucuk pimpinan Badan Reserse, mau tak mau Ito Sumardi ikut terseret. Apalagi Susno menuding Ito—keduanya lulusan Akademi Kepolisian 1977—mengenal Sjahril. Jumat pekan lalu, Ito bersedia diwawancarai tim Tempo.
Komjen Susno Duadji menuding ada permainan makelar kasus yang lebih besar daripada kasus Gayus Tambunan, yakni kasus pidana PT Salmah Arwana Lestari. Komentar Anda?
Kasus itu sedang kami tangani dengan sangat berhati-hati. Ketika pertama kali bergulir pada 2006, sudah diadakan gelar perkara. Kesimpulannya, ini kasus perdata. Namun, setahun kemudian, ada bukti-bukti baru yang membuatnya diteruskan menjadi perkara pidana. Ini semua terjadi ketika Pak Susno masih di sini, lo. Saya hanya kebagian buntutnya.
Ada tudingan perubahan dari perdata menjadi pidana merupakan hasil lobi makelar kasus....
Yang mengubah siapa? Begini saja, kita uji nanti di pengadilan. Kalau memang ada kelemahan, berarti memang ada rekayasa. Saya sendiri bingung, kenapa kasus ini muncul. Saya benar-benar tak mengerti.
Apa ada keterlibatan Andi Kosasih, Haposan Hutagalung, atau Sjahril Djohan dalam kasus ini?
Haposan memang pengacara untuk salah satu pihak dalam perkara ini, yaitu Ho Kian Huat.
Anda kenal Haposan?
Tidak. Bertemu dengan dia pun tidak pernah. Begini ya, sudah kami upayakan penyidikan yang profesional untuk kasus ini. Pengaduan dua pihak yang bersengketa sama-sama kami proses. Soal ini, Pak Susno tahu banget, karena ketika itu Pak Susno yang menjabat Kabareskrim.
Kabarnya Sjahril Djohan adalah pemegang saham di perusahaan Ho Kian?
Saya tidak tahu.
Ada anggota parlemen yang menyesalkan mengapa Sjahril tidak dicekal....
Pencekalan itu membutuhkan proses yang panjang. Dalam kasus apa dia harus dicekal? Statusnya apa dalam kasus itu? Siapa yang harus mencekal?
Menurut Anda, informasi Susno tak berdasarkan fakta?
Begini... suatu pernyataan itu harus jelas, ada fakta dan buktinya. Apakah kalau kenal dengan Kabareskrim lalu sudah pasti orang itu makelar kasus? Belum tentu. Saya hanya mau bicara fakta.
Jadi tidak benar kalau Andi Kosasih, Haposan, dan Sjahril Djohan disebut trio makelar kasus di Bareskrim?
Tanyakan saja kepada Pak Susno. Saya tidak bisa memberikan jawaban.
Anda kenal baik dengan Sjahril Djohan?
Saya tidak kenal dekat dengan Pak Sjahril Djohan. Saya memang pernah bertemu dengan dia beberapa kali. Tapi tidak benar jika saya disebut mengenal dekat atau tahu bahwa dia makelar kasus. Kalau seseorang dituduh makelar kasus, tentunya dia terkait dengan kasus tertentu. Bagaimana seseorang bisa disebut makelar kasus jika saya tidak tahu dia terlibat kasus yang mana?
Di mana biasanya Anda bertemu dengan dia?
Di sini, di Mabes Polri. Beliau kan sudah lama, ya.... Istilahnya, orang berteman kan boleh saja bertemu.
Sjahril adalah penasihat ahli Kepala Polri?
Dia bekas diplomat. Tapi bukan staf ahli saya dan bukan staf ahli Kapolri.
Apa benar dia punya ruangan khusus di sebelah ruang kerja Kepala Polri?
Kalau soal itu, coba tanya Pak Susno. Tunjukkan ruangannya yang mana. Saya tidak tahu. Kalau saya bilang tidak tahu, jangan pula saya disebut berbohong.

No comments: