Jaleswari Pramodhawardani: Maaf Kolonel, Anda Indisipliner!


VIVAnews -

Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan Prajurit.

(Butir kelima Sapta Marga TNI)

KOLONEL Adjie Suradjie mendadak populer di media massa. Pasalnya ia melakukan hal yang jarang sekali dilakukan oleh kawan-kawan sejawatnya, dan ditabukan di institusi TNI, yaitu menulis opini publik di salah satu media cetak ibukota. Ia mengkritik kebijakan pemerintah dan Presiden SBY yang dianggap tidak cekatan dalam memberantas korupsi.
Publikpun mengelu-elukannya. Dia dianggap tentara pemberani dan kritis, menyimpang dari mainstream yang ada. Dukunganpun berduyun-duyun, dari beberapa pengamat militer, aktivis sipil juga kalangan DPR. Jadilah sang kolonel tampil bak demokrat sejati di media massa. Lazimkah ini dilakukan seorang perwira aktif?

Jawabannya: tidak. Bahkan untuk tindakannya ia terancam sanksi indisipliner. Saya mendukung tindakan institusi TNI AU dalam hal ini.

Dua belas tahun lalu, ketika perpindahan rezim terjadi dan reformasi sektor keamanan digulirkan, agenda terpenting saat itu adalah membangun TNI yang profesional yang bebas dari kegiatan politik praktis. Bahkan gagasan tentang jangan mengutip pendapat politik kepada militer disosialisasikan terhadap media massa. Membangun tentara profesional menjadi sebuah keharusan saat itu.

Hal tersebut itu terkait secara langsung dengan pertimbangan berikutnya, yakni dari sudut kepentingan pertahanan dimana keterlibatan militer ke area politik, yang bukan merupakan area kompetensinya, akan berakibat pada kemerosotan profesionalisme baik institusi maupun prajurit militer.

Jika ditilik dari sudut manejemen modern, prinsip spesialisasi fungsi dan pembagian tugas diterima sebagai syarat-syarat yang diperlukan guna membangun profesionalisme, termasuk dalam bidang kemiliteran. Satu institusi menjalankan satu fungsi merupakan prinsip menejemen modern yang diterima sangat luas.

Dari sudut ini, profesionalisme militer diperlukan agar badan ini dapat menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, melindungi dan menjauhkan TNI dari ranah politik diperlukan sebagai instrumen penting untuk mewujudkan profesionalitas TNI sebagai badan yang menjalankan fungsi pokok dalam bidang pertahanan. Di samping, untuk menegakan prinsip ketersebaran kekuasaan dalam demokrasi.

Tetapi euforia demokrasi mengaburkan batas-batas tersebut. Partisipasi dan kebebasan sebagai ruh demokrasi ditafsirkan secara membabi buta disetiap ruang publik, mengabaikan prinsip spesialisasi fungsi dan diferensiasi tugas masing-masing institusi. Garis tegas antara tugas pokok sipil dan militer mulai bercampur baur dalam wacana publik melalui pembenaran demokrasi dan kebebasan berekspresi.

Karenanya tidak mengherankan apabila tindakan anggota militer aktif yang sebenarnya bertentangan dengan disiplin dan etika institusi tempat ia berada, karena melanggar UU TNI No 34/2004, UU Pertahanan No 3/2002, Sapta Marga TNI, dan Sumpah Prajurit, malah mendapatkan pembenaran dan apresiasi publik yang berlebihan. Padahal jika kita cermati, di kemudian hari ini menjadi preseden buruk bagi prajurit-prajurit lainnya.

Mengapa TNI aktif dilarang mengekpresikan pendapatnya dimuka umum? Bagaimana demokrasi mewadahi ini? Kita perlu dingin dan meletakkan persoalan ini secara proporsional. Kita harus ingat bahwa perbedaan-perbedaan kultur antara dunia militer dengan dunia politik sedemikian kontrasnya.
Militer memiliki kultur hubungan yang dibangun di atas kesetiaan (pada negara) dan sistem komando, yang tercermin dengan jelas dalam sapta marga TNI, sebuah kode kehormatan setiap prajurit yang mempunyai ciri khas disiplin dan beretika. Termasuk didalamnya memuat tentang memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan Prajurit. Tindakan sang kolonel dianggap tidak mematuhi kode kehormatan tersebut.

Sementara dunia politik memiliki kultur hubungan yang fungsional-kontraktual. Kedua kultur hubungan ini tidak bisa diperdamaikan dengan mudahnya. Karenanya, intervensi salah satu kultur hubungan ke dalam kultur hubungan lainnya – militer ke politik atau sebaliknya politik ke dalam militer – akan berakibat buruk bagi salah satunya.
Keterlibatan institusi militer ke dalam dunia politik bisa dipastikan akan mendistorsi secara serius bekerjanya mekanisme politik karena inkompatibilitas kultur hubungan di antara keduanya. Apakah sebuah opini politik termasuk kategori politik praktis? Ya, karena didalamnya memuat gagasan, pemikiran, ide tentang bagaimana praktik-praktik politik dilakukan. Sebuah abstraksi faktual yang diformulasikan dalam bentuk ide/gagasan.

Tindakan indisipliner sang kolonel mengembalikan ingatan kita kepada sistem politik demokratis yang didalamnya mensyaratkan adanya kontrol demokratik dan sekaligus pengawasan oleh pemerintahan sipil atas badan yang diberi monopoli untuk menggunakan kekerasan secara sah oleh negara, yakni militer dan polisi.

Jadi, tindakan indisipliner Kolonel Adjie Suradji seharusnya justru mendapat teguran dari kalangan institusi sipil seperti pemerintah dan DPR, selain sangsi yang telah diberikan oleh internal TNI AU. Ketidategasan kalangan sipil dalam menyikapi tindakan ini sekaligus menunjukkan kelemahan kontrol demokratik yang ada.

Yang cukup disesalkan adalah media massa tidak berimbang dalam meliput dan menyajikan berita ini secara proporsional, yang mengakibatkan kebingungan dikalangan publik. Padahal di awal reformasi media begitu bersemangat menyosialisasikan gagasan membangun tentara profesional yang menjauhkan TNI dari ranah politik.

Jaleswari Pramodhawardani, Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI dan The Indonesian Institute.

No comments:

Archives