Arab Makin Yakin Obama Tidak Jauh Beda

 clipped from antara.co.id

31/12/08 06:52


Arab Makin Yakin Obama Tidak Jauh Beda


Kairo (ANTARA News/Reuters) - Presiden AS terpilih Barack Obama yang bungkam seribu bahasa dalam kasus serangan Israel di Jalur Gaza, telah mempertegas keraguan Arab bahwa kebijakan luar negeri presiden kulit hitam pertama AS di Timur Tengah tak akan begitu berbeda dari pendahulunya manakala bulan depan dia resmi menduduki Gedung Putih.

Di hari keempat serangan udara Israel yang menewaskan lebih dari 380 orang di Gaza, Presiden AS terpilih itu belum menentukan posisinya meski dia pernah lantang mengomentari serangan kaum militan di Mumbai dan dalam soal ekonomi AS.

"Dia ingin berhati-hati dan saya kira dia akan tetap hati-hati karena konflik Arab-Israel bukanlah prioritas kebijakannya," kata Hassan Nafaa, pakar politik asal Mesir dan Sekretaris Jenderal Forum Pemikiran Arab di Amman, Yordania.

"Posisi Obama sangat membahayakan. Lobi Yahudi telah mengingatkannya dengan menentang pemilihannya sebagai presiden AS. Makanya, dia memilih tetap diam (dalam soal Gaza)," imbuh Hilal Khashan, profesor ilmu politik pada Universitas Amerika di Beirut.

"Jika Obama terus-terusan diam...(maka) bungkamnya itu akan dilihat dan memiliki dampak operasional berupa dukungan terhadap perang Israel di Gaza," kata Paul Woodward dari Conflicts Forum, sebuah organisasi yang berupaya mengubah persepsi Barat terhadap gerakan-gerakan militan muslim seperti Hamas.

Dunia Arab secara luas menyambut antusiastis kemenangan Obama pada pemilu November lalu dengana alasan wajah segar di Gedung Putih akan lebih baik ketimbang Presiden George W. Bush yang menginvasi Irak dan terkenal sebagai pendukung fanatik Israel.

Keputusan Obama membentuk tim kebijakan luar negerinya sekarang, khususnya Hillary Clinton sebagai Menteri Luar Negeri dan Rahm Emmanuel sebagai Kepala Staf Gedung Putih, telah mempertebal keraguan Arab bahwa kebijakan luar negeri AS di kawasan itu tak akan berubah.

Mustafa al Sayed dari Universitas Kairo berkata, "Saya sih sangat pesimistis karena begitu melihat orang-orang yang mengitari Presiden terpilih Obama, saya langsung tahu mereka adalah sahabat-sahabat Israel yang tidak akan berani berseberangan dengan posisi pemerintah Israel."

Tidak seperti umumnya pemerintahan negara-negara besar dunia, pemerintahan Presiden Bush tidak pernah mengimbau gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang mengusai Jalur Gaza, sebuah sikap yang juga ditunjukkannya saat Israel menginvasi Lebanon pada 2006.

Pemerintah Bush juga rajin menentang prakarsa gencatan senjata di Lebanon sampai mereka melihat Israel tidak mendapatkan apa yang diinginkannya dalam perang melawan gerilyawan Hizbullah dan sampai mereka mengetahui korban di pihak Israel bertambah banyak.

Hassan Nafaa mengatakan pemerintah Israel memilih menyerang Hamas sekarang, sebagian karena negeri itu tidak yakin bakal mendapat dukungan Obama jika serangan dilakukan setelah Obama resmi menduduki Gedung Putih pada 20 Januari 2009. "Tapi negara itu tahu pasti Bush mendukung penuh mereka."

Walaupun begitu, objektif serangan ke Gaza telah berdampak besar pada lanskap geostrategi yang bakal diwariskan kepada Obama.

Jika Israel gagal menundukkan Hamas, gerakan perlawanan Islam terhadap Israel akan semakin kuat dan nantinya membahayakan posisi Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan pemerintah Mesir, dua pemerintahan Arab kepada mana Amerika Serikat menggantungkan diri dalam menentukan kebijakannya untuk soal Arab-Israel.

Sebaliknya jika Israel berhasil mengahancurkan ancaman serangan roket dari Gaza, Obama akan lebih mudah mendesak pembicaraan langsung antara Israel dan Abbas sampai menyepakati sebuah perjanjian damai berdasarkan dua negara yang hidup saling berdampingan.

Yang menjadi harapan utama Arab pada Obama adalah presiden AS ke 43 itu akan setidaknya lebih memberi perhatian pada perdamaian Timur Tengah ketimbang pendahulunya yang hanya berani menegaskan komitmen itu di awal-awal kekuasaannya.

"Dengan memiliki Obama yang akan memaksa semua pihak untuk berunding namun selama ini ditentang Bush, tentunya keadaan akan berubah," kata Paul Salem, Direktur Carnegie Institute's Middle East Center, Beirut.

"Tapi Obama tidak akan memaksa Israel (mencomot konsesi-konsesi itu). Secara politik dia tidak akan terlalu memaksa Israel," pandang Paul.

Walih Kazziha, profesor pada Universitas Amerika di Kairo menyebut Obama akan mengambil langkah drastis jika dia menginginkan pulihnya pengaruh AS di Timur Tengah yang dilihat banyak orang anjlok dalam delapan tahun terakhir.

Tapi sinyal pertama tidak menunjukkan Obama ingin mengubah keadaan itu. "Jika Obama ingin menegaskan pendiriannya pasti dia sudah mengatakan sesuatu karena dia bisa berbicara apa saja asal ia menginginkannya," lanjut Walih.

Sayed memperkirakan terjadi perang argumentasi dalam tubuh pemerintahan Obama antara para penasehatnya yang mendukung status quo yang semuanya sekutu Israel, melawan penasehatnya yang lain yang memiliki pandangan berbeda dari kelompok pertama.

"Menurut saya para sahabat Israel (dalam pemerintahan Obama) akhirnya berhasil dan itu akan membuat pengaruh AS di kawasan Timur Tengah semakin anjlok," papar Sayed. (*)
Sent with Clipmarks

No comments:

Archives