Hanya 2 Polisi Yang Tidak Bisa Disuap; Polisi Hoegeng dan Polisi Tidur

Hanya 2 Polisi Yang Tidak Bisa Disuap; Polisi Hoegeng dan Polisi Tidur
Pak Hoegeng dalam Kenangan
Oleh Chris Siner Key Timu
http://www.indonesiamedia.com/2004/08/early/tokoh/tokoh-0804-hoegeng.htm

Bangsa, masyarakat, dan negara kehilangan seorang tokoh panutan, seorang yang senantiasa hidup dalam kejujuran, sekaligus sebagai simbol bagi kejujuran yang hidup. Almarhum bukan hanya menjadi simbol kejujuran bagi kepolisian, tetapi juga bagi seluruh jajaran birokrasi, bahkan simbol kejujuran bagi seluruh masyarakat.

Pak Hoegeng berhenti dari jabatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebelum selesai masa jabatan yang seharusnya berlangsung tiga tahun. Diberhentikan oleh Presiden Soeharto di tahun 1970 karena Pak Hoegeng jujur dan konsisten dalam melakukan kewajibannya sebagai polisi.

Seperti yang diceritakan oleh almarhum kepada rekan- rekannya di Kelompok Kerja Petisi Lima Puluh, bermula dari rencananya untuk menangkap seorang penyelundup besar, yang datanya di Mabes Polri sudah memadai untuk ditahan. Hanya karena sang penyelundup tersebut diketahui punya backing dari Cendana, almarhum ingin menyampaikan penangkapan tersebut kepada Presiden Soeharto.

Yang membuatnya kaget adalah ketika Pak Hoegeng sampai di Cendana, orang yang direncanakan akan ditangkap oleh kepolisian itu ternyata sedang berbincang- bincang dengan Soeharto. Seperti yang dikatakannya, sejak itu Pak Hoegeng sekuku hitam pun tidak percaya lagi kepada Soeharto.

Rupanya peristiwa itulah yang mempercepat pemberhentiannya sebagai Kepala Polri oleh Presiden Soeharto. Alasan yang dikemukakan oleh Soeharto adalah untuk regenerasi. Namun, yang kemudian membuat Pak Hoegeng merasa aneh ialah ketika menanyakan siapa yang akan menggantikannya, Soeharto mengatakan Mohammad Hassan. Secara spontan Pak Hoegeng mengatakan kepada Soeharto bahwa usia Mohammad Hassan lebih tua darinya, hanya untuk menunjukkan bahwa alasan regenerasi itu hanyalah dibuat-buat. Alasan sesungguhnya adalah Soeharto ingin menyingkirkan seorang Kepala Polri yang jujur.

Setelah berhenti sebagai Kepala Polri, Pak Hoegeng kembali ke tengah masyarakat. Tawaran untuk menjadi duta besar di salah satu negara Eropa ditolaknya secara halus, dengan kata-kata dia tak mampu berbasa-basi, salah satu "keterampilan" yang perlu dimiliki oleh seorang duta besar. Padahal, sudah menjadi kebiasaan di zaman Orde Baru, seseorang yang berhenti dari jabatan tinggi ditawarkan untuk menjadi duta besar atau presiden komisaris salah satu perusahaan negara.

Guna mengisi kesibukan dalam masa pensiun, Pak Hoegeng menyalurkan hobi menyanyinya di TVRI melalui kelompok Hawaian Seniors. Namun, dalam perjalanan waktu, hobi ini pun harus dihentikan karena ada larangan dari yang berwenang. Alasan yang melatarbelakangi adalah karena sejak Juni 1978 Pak Hoegeng bergabung dalam Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) yang didirikan atas inisiatif AH Nasution dengan penasihat proklamator dan wakil presiden pertama RI, Mohammad Hatta.

LKB didirikan sebagai salah satu usaha untuk melakukan pengawasan dan koreksi terhadap penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan atas dasar konstitusi.

Sejak itu sampai akhir hayatnya Pak Hoegeng harus meninggalkan hobi itu, apalagi sejak Mei 1980 Pak Hoegeng bergabung dalam kelompok lima puluh warganegara RI yang menandatangani "Pernyataan Keprihatinan" terhadap cara
penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan Soeharto, yang kemudian populer sebagai "Petisi Lima Puluh".

Ikut menandatangani Pernyataan Keprihatinan antara lain Mohammad Natsir, AH Nasution, Syafruddin Prawiranegara, H Ali Sadikin, Burhanuddin Harahap, SK Trimurti, Manai Sophian, Ny D Wallandouw. Juga dari kalangan yang lebih muda usia seperti mantan aktivis dewan mahasiswa dan organisasi ekstrauniversitas.
Sejak itu, Pak Hoegeng terlibat aktif dalam "Kelompok Kerja Petisi Lima Puluh", yaitu suatu lembaga kajian tentang masalah kehidupan bangsa dan negara yang didirikan Yayasan LKB. Pertemuan mingguan Kelompok Kerja Petisi Lima Puluh berlangsung di kediaman Ali Sadikin, yang juga masuk dalam Kelompok Kerja
Petisi Lima Puluh, di Jalan Borobudur 2, Jakarta Pusat.

Sebagai anggota Kelompok Kerja Petisi Lima Puluh, Pak Hoegeng selama mengikuti pertemuan mingguan dengan penuh kesungguhan. Dalam pertemuan tidak banyak bicara, tetapi jika sudah ada kesepakatan atas suatu keputusan dan jika harus ikut menandatangani sesuatu pernyataan atau memorandum tentang keadaan bangsa dan negara, Pak Hoegeng tanpa komentar menandatanganinya.

Pak Hoegeng selalu disiplin dalam waktu. Kebiasaan beliau adalah datang paling pertama ke tempat pertemuan mendahului yang lain. Tidak jarang jika tidak ada mobil yang mengantarkan ke tempat pertemuan, Pak Hoegeng datang
dari rumahnya di Jalan Prof Moh Yamin ke Jalan Borobudur dengan menggunakan bajaj.

Sampai akhir hayatnya, Pak Hoegeng masih tetap sebagai anggota Kelompok Kerja Petisi Lima Puluh, kendati karena kesehatannya Pak Hoegeng jarang mengikuti pertemuan selama dua tahun terakhir.

Banyak hal yang dituturkan Pak Hoegeng pada kawan-kawan di Kelompok Kerja Petisi Lima Puluh sangat berkesan dan patut untuk disosialisasikan kepada masyarakat, khususnya untuk generasi muda, terutama dalam upaya untuk menumbuhkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, serta dalam upaya membangun suatu pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Ketika Presiden Soekarno menunjuk Pak Hoegeng menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi, sehari sebelum pelantikannya Pak Hoegeng meminta Ibu Merry (istri Pak Hoegeng) untuk menutup toko kembang, usaha ibu Merry di
Jalan Cikini untuk menambah pendapatan sehari-hari. Alasannya, karena keesokan harinya akan dilantik menjadi Dirjen Imigrasi.

Ketika ibu Merry menanyakan apa hubungan antara jabatan Dirjen Imigrasi dan toko kembangnya, Pak Hoegeng menjawab singkat, "Nanti semua yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang Ibu Merry dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya." Ibu Merry pun memahami dan menutup toko kembangnya.

Karena dikaryakan dari kepolisian ke Imigrasi, Pak Hoegeng membawa juga sebuah mobil jip dinas untuk tugasnya nanti sebagai Dirjen Imigrasi. Ketika Sekretariat Negara (Setneg) memberinya lagi satu mobil dinas, Pak Hoegeng
menolak dengan alasan dia hanya membutuhkan satu mobil dinas untuk tugasnya, dan jip yang dia bawa dari kepolisian adalah juga milik negara sehingga itu sudah cukup baginya.

Ketika menjadi Menteri Iuran Negara, oleh Sekneg diminta untuk pindah dari rumah di Jalan Prof Moh Yamin ke rumah yang berlokasi di Jalan Protokol, juga ditolak Pak Hoegeng dengan alasan rumah yang ditempatinya sudah cukup
representatif dan negara tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuknya. Katanya, sebagai Menteri Iuran Negara dia bertugas mencari uang untuk negara, bukan sebaliknya, menghabiskan uang negara untuk rumah dan fasilitas
yang bukan-bukan.

Pengabdian yang penuh dari Pak Hoegeng tentu membawa konsekuensi bagi hidupnya sehari-hari. Pernah dituturkannya sekali waktu, setelah berhenti dari Kepala Polri dan pensiunnya masih diproses, suatu waktu dia tidak tahu apa yang masih dapat dimakan oleh keluarga karena di rumah sudah kehabisan beras.

Di pagi keesokan harinya ternyata ada yang mengantarkan beras dan kebutuhan lain ke rumahnya. Ternyata itu adalah kiriman dari almarhumah ibu Nani Sadikin, istri Pak H Ali Sadikin.

Itulah sekadar beberapa catatan kenangan untuk Pak Hoegeng yang baru saja meninggalkan kita. Seorang yang hidupnya senantiasa jujur, seorang yang menjadi simbol bagi hidup jujur, dan simbol bagi kejujuran yang hidup. Ada guyonan di masyarakat tentang kejujuran seorang Hoegeng bahwa hanya ada dua polisi yang tidak bisa disuap, yaitu Polisi Hoegeng dan polisi tidur.
Selamat jalan Pak Hoegeng. Contoh hidupmu tidak akan sia-sia.

No comments:

Archives