Pemilu 2009: Masyarakat Materialistis Atau Caleg Money Politik?

 
Pemilu 2009: Masyarakat Materialistis Atau Caleg Money Politik?

 Oleh : Harry Veryanto Sihite

 

Pemilihan umum yang di jadwalkan berlangsung 9 April 2009, membuat rasa penasaran terhadap para caleg yang bertarung di pemilu nanti.

Seperti biasa setiap pemilih akan melakukan hak pilihnya secara langsung di tiap-tiap TPS yang sudah di tentukan. Banyak argument akan pemilihan kali ini, apakah pemilihan ini akan mensejahterakan atau malah menyengsarakan masyarakat, atau bahkan pemilu kali ini hanya procedural semata yang bisanya hanya  menghabiskan anggaran triliunan rupiah. Argument seperti itu bukan hanya dari kalangan pengamat politik saja akan tetapi masyarakat awampun berpendapat demikian.

Para calon legislative (caleg) yang mencalonkan diri berasal dari berbagai kalangan dan berbagai profesi, demokrasi yang tiada batas membuat banyak pihak turut ambil bagian dalam pencalonan kali ini, tidak penting sebuah kualitas akan caleg tersebut asalkan ijazah SMA telah mereka kantongi yang merupakan salah satu syarat utama untuk pencalonan.
Jadi tidak jarang terdengar ucapan dari berbagai masyarakat yang mengatakan apakah mereka mengerti akan dunia politik, apakah mereka layak jadi wakil rakyat  atau apakah nantinya mereka-mereka mampu melaksanakan tanggungjawabnya sebagai wakil rakyat. Beribu keraguan akan kualitas dan akuntabilitas dari  Caleg tersebut pun bermunculan melihat keseharian mereka yang tidak pernah bersentuhan dengan politik.

Pada umumnya, berbagai profesi dari para caleg tersebut juga bermacam-macam mulai dari petani, pengusaha, pedagang, nelayan, supir dan lain sebagainya yang tidak ada hubungan dan pengalamannya dengan dunia politik, memang tidak jarang juga caleg yang berpendidikan diploma, strata, dan pendidikan tinggi lainnya, akan tetapi permasalahannya apakah mereka mempunyai pengalaman di dunia politik? memang pada dasarnya itu sudah lebih baik dari caleg lain yang hanya mempunyai pendidikan SMA.

Money Politik

Disamping semua itu yang menjadi sorotan tajam adalah sistem kampanye dari pada Caleg tersebut yang tidak bersifat mendidik atau membangun, yang terjadi malah merusak moral dan pola pikir masyarakat. Sistem kampanye para caleg ini kerap kali menjadi bahasan perbincangan di tengah-tengah masyarakat, ataupun bagi para pengamat politik.

Pada umumnya Caleg DPRD TK II/kab,kota, DPRD TK I/propinsi DPD dan caleg DPR-RI mempunyai sistem atau metode kampanye yang hampir sama yaitu dengan sistem money politik yang sangat luar biasa. Misalnya saja di daerah kabupaten/kota money politik terlihat sangat kontras, para caleg langsung membeli suara dari tiap masyarakat dengan cara membagi-bagikan uang tunai pecahan lima puluh ribu sampai seratus ribu rupiah untuk perorangnya, sungguh sangat luar biasa bukan?

Bukan hanya itu syukuran besar-besaranpun di buat guna memperoleh suara terbanyak di pemilu nanti. Sistem seperti ini memang sangat di sukai orang, khususnya masyarakat awam yang kehidupannya di lengkapi dengan penderitaan kemiskinan. Bahkan orang-orang seperti ini mengharapkan maunya pemilu di laksanakan sebulan sekali. Mengapa tidak, karena hanya di saat seperti ini mereka memperoleh penghasilan tambahan dari para Caleg tersebut.

Sehingga tidak jarang satu orang pemilih mengikuti syukuran dan menerima uang dari dua orang atau bahkan tiga orang caleg yang berbeda, mereka tidak berpikir jauh akan perbuatan tersebut. Kampanye seperti ini jelas merusak moral bangsa menjadi bangsa yang materialistis. Yang menjadi sangat aneh yaitu mengapa setiap orang mau menerima pemberian dari setiap caleg yang menawarkan pemberian tersebut? Bukankah nantinya mereka menjadi bingung menjatuhkan pilihan, atau jangan-jangan mereka menjadi Golput karena bingung dengan fenomena siraman uang tersebut.

Masyarakat Materialistis

Fakta ini memunculkan pertanyaan, benarkah masyarakat kita materialistis? Pola pikir masyarakat yang mengatakan, siapa caleg yang memberi uang dengan jumlah yang paling besar maka akan menjadi pilihan di saat pemilu nanti. Bukan hanya caleg DPRD TK II akan tetapi caleg DPRD TK I,  DPR RI dan DPD pun turut meramaikan pembagian uang tersebut secara kontras dan terang-terangan. Kampanye kali ini seolah berubah menjadi sebuah pasar tempat jual beli, dimana suara masyarakat menjadi objek jual beli

 Apa yang menjadi alasan masyarakat menerima uang dari setiap caleg yang menawarkan uang itu? Mungkinkah itu semata-mata karena kodrat manusia yang haus akan uang karena juga di desak berbagai kebutuhan, atau mungkin juga itu sebuah kekesalan masyarakat akan kinerja wakil rakyat selama ini, masyarakat berpikir bilamana mereka telah duduk di tahtanya otomatis mereka akan lupa terhadap janji-janji dan harapan-harapan yang telah mereka orasikan, kedekatan semasa kampanye akan berakhir secara spontan, jadi masyarakat seolah berpikir ada baiknya para caleg di manfaatkan sewaktu masa kampanyenya.

Bilamana hal seperti ini membudaya di sela kehidupan bangsa ini,  maka jelaslah bangsa kita akan tidak beradab dan bermoral, wakil kita di parlemen nantinya adalah sekelompok orang yang terpilih karena memiliki uang paling banyak semasa kampanye yang kualitas dan akuntabilitas mereka tidak teruji. Malah bisa jadi sistem pemerintahan kita akan lebih parah dari sekarang ini.

Jadi untuk itu, bagi kita masyarakat pemilih gunakanlah hak pilih kita sebaik mungkin, jangan  mau di iming-imingi oleh para caleg yang tidak bertanggung jawab, tolak dengan tegas money politik yang meremehkan martabat dan jiwa kebangsaan kita, jangan anda berharap mereka akan tinggal diam akan uang mereka yang telah banyak habis semasa kampanye.
Perlu di ingat bahwa mereka akan menutupi kerugian semasa kampanye itu dengan uang kita sendiri juga, bilamana mereka terpilih nantinya, aspirasi yang kita suarakan tidak akan di respon oleh mereka, mengembalikan uang yang habis semasa kampanye menjadi prioritas utama mereka. Untuk itu pilihlah calon yang benar-benar pro terhadap rakyat yang memiliki kualitas dan akuntabilitas yang tinggi, berjiwa kebangsaan dan yang takut akan Tuhan.***

Penulis Adalah Peneliti pada Center of Law and Democracy Studies (CLDS), bermukim di Medan.

No comments:

Archives