Ironi Sebuah Negara Merdeka

Refleksi :  Kalau tidak boleh menyingung derajat penguasa NKRI  dengan istilah Lumpur Lapindo, tentu bisa dipakai istilah manis penuh senyum,  yaitu Lumpur Sidoarjo.  Barangkali bukan lagi aneh maupun bin ajaib, bahwa sekalipun tidak mampu diselesaikan penderitaan rakyat Sidoarjo, para penguasa NKRI tanpa berpesaraan malu terus berkaok-berkaok dengan gegap gempita kepada masyarakat  agar kekuasaan mereka diabdikan melalui Pemilu. Sudah tidak mampu dan tidak mau menyelesaikan penderitaan beberapa ribu penduduk Sidoarjo, bagaimana  bisa mereka membasmi wabah keterbelakangan dan kemiskinan yang diderita ratusan juta rakyat?  Sudikah Anda membiarkan diri  dibawah ke alam dongeng penguasa NKRI?
 
 
HAM
 
Ironi Sebuah Negara Merdeka
 
Kompas/B Josie Susilo Hardianto
Sri, seorang korban luberan lumpur PT Lapindo Brantas, ditemani anaknya, Nasrul (6) dan Tia (7 bulan), serta Nia (6), kerabatnya, bertahan hingga Jumat (20/3) dini hari. Hingga saat ini pemerintah belum menuntaskan tuntutan mereka.
Sabtu, 21 Maret 2009 | 03:00 WIB

Atas nama undang-undang…," dari sebuah mobil patroli polisi menyerukan agar para pengunjuk rasa segera membubarkan diri dan bersedia dikembalikan ke kantor YLBHI, tempat para korban lumpur PT Lapindo Brantas menginap.

"Atas nama undang-undang, enak sampean. Kami di sini juga hendak menegakkan aturan, kami hendak menegakkan kewibawaan pemerintah," kata seorang korban lumpur PT Lapindo Brantas.

Sejak Kamis sore negosiasi berjalan alot. Korban enggan dikembalikan, mereka telah memutuskan untuk bertahan dan menginap di depan Istana Negara hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima mereka. Namun, niat itu terpaksa harus mereka urungkan.

Persis pada pengujung pergantian hari, Jumat dini hari, Satuan Pengendali Massa Kepolisian Resor Jakarta Pusat mengangkat paksa para pengunjuk rasa itu dan menaikkannya ke dalam truk dan bus. "Rakyat belum merdeka! Rakyat belum merdeka!" seru pengunjuk rasa.

Beberapa di antara mereka sempat meronta-ronta ketika diangkat, ada yang menangis menjerit, "Kembalikan rumahku, kembalikan rumahku."

Satu per satu mereka diangkut, beberapa anak kecil yang ikut dalam unjuk rasa itu terbengong-bengong menyaksikan keriuhan tersebut. Wajah polos mereka merekam lengkap penderitaan itu sejak dini.

"Kami hanya menuntut hak kami, bukan hak orang lain," Sutrimo, salah seorang korban. Tuntutan itu bukan tanpa alasan. Lebih dari itu, kehadiran mereka ke Jakarta juga didorong keinginan agar Presiden mewujudkan ucapannya sendiri.

"Kami ingin agar ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 dilaksanakan. Korban tidak ingin pemerintah atau negara dikalahkan oleh pengusaha," katanya.

Dalam peraturan itu, antara lain disebutkan, sisa sebanyak 80 persen dari kerugian yang diderita setiap warga harus dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah selama dua tahun habis. Jangankan terwujud, justru yang saat ini terjadi adalah pola-pola lain yang sama sekali tak menggambarkan pemenuhan kewajiban tersebut.

Pada Desember lalu kepada korban dijanjikan akan dibayar Rp 30 juta per bulan. Belum juga itu diwujudkan, kembali aturan itu diubah menjadi Rp 15 juta per bulan. Alasannya, PT Minarak Lapindo Jaya mengaku kondisi keuangan mereka tidak memungkinkan.

Hari-hari ini di seluruh wilayah Indonesia kampanye menjelang pemilu digelar. Kepada rakyat, para elite politik menjanjikan berbagai hal, mulai dari pendidikan gratis, kesehatan gratis, hingga berbagai perhatian lain. Namun, sepertinya, tak satu caleg atau parpol pun yang menengok para korban lumpur Lapindo.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri dalam kampanyenya juga mengungkapkan keberhasilan pemerintahannya, termasuk program-program yang disebutnya prorakyat.

"Namun, faktanya, di depan Istana Negara warga korban lumpur dibiarkan. Jangankan upaya pemulihan ekonomi, apa yang menjadi hak mereka saja hingga saat ini belum diberikan," kata Paring, seorang korban.

(B Josie SusiloHardianto)

No comments:

Archives