Buku Sintong Menyodok Prabowo

Refleksi : Apakah biografi Wiranto, Sutiyoso dan SBY akan segera  menyusul?
 
 
 
Biografi
Buku Sintong Menyodok Prabowo


Setidaknya dua kali Prabowo Subianto kena sodokan keras lewat karya buku tokoh penting di negeri ini. Yang pertama, lewat buku Detik-detik yang Menentukan karya mantan Presiden B.J. Habibie, yang diluncurkan dua setengah tahun silam. Habibie, antara lain, menceritakan kedatangan Prabowo ke Istana Merdeka, 22 Mei 1998, memprotes pencopotannya sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).

Pada waktu itu, Habibie baru beberapa jam menjabat sebagai Presiden RI, menggantikan Soeharto yang lengser. Habibie menulis, ia mencopot Prabowo karena mendapat laporan dari Panglima ABRI (Pangab), Jenderal Wiranto, tentang adanya pergerakan pasukan Kostrad dari luar kota menuju Jakarta tanpa sepengetahuan Pangab.

Buku Habibie itu sontak membuat Prabowo geram. Lewat konferensi pers yang digelar sepekan berselang, 29 September 2006, Prabowo membantah tudingan bahwa ia ingin melakukan kudeta. Ia juga membantah bahwa "dirinya marah-marah dan menyebut Habibie sebagai presiden naif".

Kini sodokan serupa datang lagi lewat biografi Letnan Jenderal (purnawirawan) Sintong Panjaitan, berjudul Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, yang diluncurkan di Balai Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu malam pekan lalu. Bedanya, kali ini Prabowo bereaksi relatif kalem. Mungkin dia sengaja sedikit jaim alias jaga image.

"Terserah orang mau bicara apa. Ini kan negara demokrasi, setiap orang berhak menulis apa saja. Tapi dia tidak berhak mencemarkan nama baik orang lain," kata calon presiden dari Partai Gerindra itu usai meluncurkan buku Membangun Kembali Indonesia Raya di Jakarta, Kamis pekan lalu, atau sehari setelah peluncuran buku Sintong.

Dalam buku biografi setebal 520 halaman yang ditulis wartawan senior Hendro Subroto itu, Sintong memblejeti sekaligus menohok sosok Prabowo. Mulai seputar upaya Prabowo mengejar posisi KSAD, pencopotan Prabowo dari jabatan Pangkostrad, sampai penculikan sejumlah aktivis semasa Prabowo menjadi Danjen Kopassus.

Sintong, 68 tahun, juga mengungkap cerita terpendam tentang upaya counter coup d'etat ala Prabowo pada 1983. Pendeknya, Prabowo disebutkan beberapa kali melawan perintah atasan, melanggar prosedur kemiliteran, dan melakukan langkah-langkah yang bukan wewenangnya.

Toh, Prabowo tak terpancing. Ia menyatakan, pada saat ini rakyat sudah pandai menilai secara objektif. "Saya penganut falsafah Jawa: sing becik ketitik, sing olo ketoro. Artinya, yang baik akan ketahuan, dan yang buruk juga akan terlihat," ucap Prabowo.

***

Sintong, mantan Pangdam IX/Udayana yang juga mantan penasihat Presiden Habibie bidang hankam, mengisahkan dengan lugas apa yang dialami, didengar, dan dilihatnya. Misalnya soal kedatangan Kepala Staf Kostrad, Mayor Jenderal (Mayjen) Kivlan Zen, dan Danjen Kopassus, Mayjen Muchdi PR, ke kediaman Presiden Habibie di Patra Kuningan, 22 Mei 1998.

Habibie meminta Sintong menemui dua pejabat militer itu. Ternyata Kivlan dan Muchdi mendapat tugas dari Pangkostrad, Letnan Jenderal Prabowo, untuk menyampaikan surat yang diteken Jenderal Besar (purnawirawan) A.H. Nasution kepada Habibie. Surat itu sebenarnya ditulis tangan oleh Kivlan karena Nasution sedang sakit. Nasution tinggal meneken.

Surat itu berisi saran agar KSAD Jenderal Subagyo HS diangkat menjadi Pangab, sedangkan Pangab Jenderal Wiranto diangkat menjadi Menteri Hankam. Adapun Prabowo diusulkan menjadi KSAD. Selain itu, juga disarankan agar diadakan pemisahan antara jabatan Pangab dan Menteri Hankam.

Pada hari yang sama, Sintong mengisahkan, Wiranto melaporkan kepada Habibie bahwa telah terjadi pergerakan pasukan Kostrad dari luar Jakarta menuju Jakarta. Juga adanya konsentrasi pasukan di sekitar kediaman Habibie di Patra Kuningan. Semua mobilisasi pasukan itu tanpa sepengetahuan Pangab Wiranto.

Habibie memutuskan bahwa keberadaan pasukan di luar sepengetahuan Pangab itu tak dapat dibiarkan karena akan mempengaruhi para komandan lainnya untuk bertindak sendiri-sendiri dengan alasan apa saja, tanpa koordinasi lagi dengan Pangab. Lantas Habibie memerintahkan, jabatan Pangkostrad harus diserahterimakan hari itu juga, sebelum matahari terbenam. Prabowo diberi jabatan sebagai Komandan Sesko ABRI.

Sintong mengaku tidak ikut campur dalam masalah pencopotan Prabowo itu. Alumnus Akademi Militer Nasional (AMN) 1963 ini malah merasa kaget. Prabowo sendiri baru mengetahui dirinya dicopot dari jabatan Pangkostrad ketika berkunjung ke kantor Fanny Habibie (adik kandung B.J. Habibie) di kantor Otorita Batam pada 22 Mei itu, pukul 13.30.

Satu setengah jam kemudian, Prabowo meluncur ke Istana Negara dengan membawa 12 pengawal, mengendarai tiga mobil Landrover. Sintong mendapat laporan dari ajudannya bahwa Prabowo langsung naik lift ke lantai IV, tempat Habibie berkantor, tanpa diperiksa dan disterilkan. Sintong memerintahkan seorang pengawal presiden berpakaian preman melucuti senjata Prabowo secara baik-baik.

Ia lega, karena Prabowo bersedia menanggalkan kopelrim dengan pistolnya, magasin peluru, dan sebilah pisau rimba. Prabowo pun diterima Presiden Habibie, berbicara empat mata. Sintong tidak memaparkan apa isi pembicaraan itu. Sedangkan dalam buku Detik-detik yang Menentukan, Habibie memaparkan ucapan Prabowo yang bernada keras, memprotes pencopotannya sebagai Pangkostrad.

"Ini suatu penghinaan bagi keluarga saya dan keluarga mertua saya, Presiden Soeharto. Anda telah memecat saya sebagai Pangkostrad," kata Prabowo dengan nada tinggi. Lalu ada kalimat lebih ketus: ''Presiden apa Anda? Anda naif!" kata Prabowo, seperti tertulis dalam buku biografi Habibie.

***

Selain kisah tentang penculikan aktivis, ada kisah lain lagi mengenai Prabowo yang diungkap Sintong. Prabowo disebutkan pada 1983 sempat berupaya melakukan counter kudeta dan hendak menculik sejumlah jenderal yang ia duga akan melakukan kudeta. Pada waktu itu, Prabowo berpangkat kapten, menjabat sebagai Wakil Komandan Detasemen 81/Antiteror Kopassandha.

Detasemen 81 merupakan satuan yang dikehendaki L. Benny Moerdani dalam menghadapi teroris. Ketika itu, Letjen Benny menjabat sebagai Asisten Hankam/Kepala Intelstrat/Asintel Kopkamtib. Hubungan Detasemen 81 dengan pihak intelijen hankam sangat dekat. Satuan elite ini dipasok informasi oleh staf intelijen hankam, demikian pula sebaliknya.

Pada Maret 1983, menjelang Sidang Umum MPR, Komandan Detasemen 81/Antiteror, Mayor Luhut Pandjaitan, dikejutkan oleh laporan anak buahnya bahwa Detasemen 81 sedang siaga atas perintah Kapten Prabowo. Mereka sudah membuat rencana menculik Letjen Benny Moerdani dan beberapa perwira tinggi lainnya. Yaitu, Letjen Sudharmono, Marsdya Ginandjar Kartasasmita, dan Letjen Moerdiono.

Luhut mengaku tidak mengerti tentang rencana tersebut. "Kok, aneh. Ada soal begini, saya sebagai komandan kok nggak tahu," katanya. Akhirnya Luhut memberikan perintah tegas, "Nggak ada itu. Sekarang kalian semua kembali siaga ke dalam. Tidak seorang pun anggota Den 81 yang keluar pintu tanpa perintah Luhut Pandjaitan sebagai komandan."

Luhut segera memanggil Prabowo. Namun ia langsung ditarik Prabowo keluar dari kantor. "Ini bahaya, Bang. Seluruh ruangan kita sudah disadap," kata Prabowo. Pak Benny mau melakukan coup d'etat," Prabowo memberikan informasi rahasia.

"Coup d'etat apa?" tanya Luhut.

"Pak Benny sudah memasukkan senjata...," kata Prabowo.

"Senjata untuk apa?" tanya Luhut lagi.

"Ada, Bang. Senjata dari anu mau dibawa ke sini untuk persiapan coup d'etat," jawab Prabowo.

Luhut membenarkan bahwa Benny Moerdani memasukkan senjata, antara lain AK-47, SKS, dan senjata antitank. Tetapi senjata itu adalah senjata dagangan untuk Pakistan, yang selanjutnya akan disalurkan kepada pejuang Mujahiddin Afghanistan untuk melawan Uni Soviet. Operasi intelijen oleh Benny Moerdani ini dalam rangka mencari dana dan menunjukkan peran Indonesia dalam perjuangan di Asia.

Luhut kemudian melaporkan hal itu kepada Kolonel Sintong Panjaitan, Komandan Grup 3/Sandiyudha di Kariango, Makassar. Sintong dalam bukunya itu sampai menyimpulkan bahwa counter-coup d'etat yang direncanakan Prabowo merupakan rekayasa yang mirip dengan rekayasa ala Letkol Untung, Komandan Batalyon 1/Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa, ketika menculik sejumlah jenderal Angkatan Darat pada 1965.

Atas saran Sintong, Luhut kemudian melapor kepada Wakil Danjen Kopassandha, Brigjen Jasmin. Pada waktu itu, Danjen Kopassandha, Mayjen Yogie S.M., telah menjadi Pangdam III/Siliwangi, tapi jabatan Danjen Kopassandha belum diserahterimakan. Luhut dan Prabowo menghadap Jasmin.

Prabowo marah-marah karena Jasmin tidak percaya perihal rencana Benny Moerdani melakukan coup d'etat. Luhut sampai menurunkan tangan Prabowo yang menuding muka Jasmin. Setelah Luhut dan Prabowo keluar ruangan, Jasmin memanggil Luhut kembali masuk ruangan.

"Hut, untung kamu ada di sini. Ada apa dengan Prabowo? Coba kamu amati. Kayaknya dia sedang stres berat," ucap Jasmin.

Persoalan ini sampai juga ke Menhankam/Pangab, Jenderal M. Jusuf. Setelah mendengar penjelasan sejumlah jenderal, Jusuf menyimpulkan, isu rencana coup d'etat itu tidak ada dan persoalan dianggap selesai.

Namun Sintong sendiri percaya, kabar tentang kudeta 1983 itu berperan menjatuhkan karier Benny Moerdani, yang diikuti tersingkirnya sejumlah perwira yang dinilai sebagai orangnya Benny. Sintong dan Luhut merasa termasuk di antaranya.

***

Sintong menegaskan, buku biografinya tidak bernuansa politis, tidak pula bertujuan mencari popularitas. Menurut Sintong, buku itu dimaksudkan agar kebenaran diungkapkan dan ditegakkan. "Buku ini sama sekali bukan merupakan manipulasi politik untuk menghakimi atau menyalahkan seseorang atau pihak tertentu," kata Sintong.

Ia juga menampik anggapan bahwa buku itu ada yang mensponsori untuk menjegal langkah pihak tertentu, mengingat peluncurannya menjelang pemilu Toh, kesan menjegal pihak tertentu tetap saja sulit dihilangkan. Apalagi, usai peluncuran buku itu, Sintong kembali menegaskan bahwa Prabowo, juga Wiranto, harus bertanggung jawab atas sejumlah kasus pada saat mereka menjabat.

Wiranto, yang kini calon presiden (capres) dari Partai Hanura, dinilainya harus bertanggung jawab atas insiden kerusuhan Mei 1998. Dalam bukunya itu, Sintong menganggap Wiranto gagal menangani kerusuhan. Sedangkan Prabowo, capres dari Partai Gerindra yang popularitasnya tengah melesat, harus bertanggung jawab atas kasus penculikan sejumlah aktivis.

Terlepas dari apakah keduanya terlibat langsung atau tidak dalam kasus itu, sebagai pemimpin, menurut Sintong, mereka harus bertanggung jawab. "Pertanggungjawaban mereka belum selesai," katanya. Soal pertanggungjawaban ini, Prabowo mengatakan, "Terkait penculikan aktivis, saya sudah mempertanggungjawabkan di Dewan Kehormatan Perwira," ujarnya.

Wiranto juga enggan berkomentar banyak. Ia menilai, buku Sintong hanya melihat dari satu sisi, sehingga tidak mungkin mendapat kebenaran. "Saya tidak akan mempermasalahkan buku Pak Sintong. Itu sekadar menambah khazanah sejarah bangsa. Saya tidak mau capek-capek mengurusi hal itu," katanya.

Dalam pengamatan Soetojo Darsosentono, ahli komunikasi dari Universitas Airlangga, Surabaya, selama ini banyak sejarah perjalanan bangsa ditulis para pelaku sejarah. Karena bersifat pribadi, tentu ulasannya sesuai dengan pengamatan dan penilaian mereka masing-masing.

Karena itu, mengenai kebenaran sejarah dalam buku Sintong, menurut Soetojo, masih perlu kajian mendalam. "Buku itu merupakan sejarah pribadi Sintong. Soal benar atau tidaknya, biar masyarakat yag menilai, sebab buku itu sudah milik publik," Soetojo menegaskan.

Taufik Alwie, Cavin R. Manuputty, dan M. Nur Cholish Zaein
[Nasional, Gatra Nomor 19 Beredar Kamis, 19 Maret 2009]

No comments:

Archives