Sultan Sebaiknya Tetap Jadi Capres Bukan Cawapres

 clipped from pemilu.antara.co.id

Sultan Sebaiknya Tetap Jadi Capres Bukan Cawapres


Yogyakarta (ANTARA News) - Deklarasi Sultan Hamengku Buwono (HB) X pada 28 Oktober 2008 yang menyatakan siap maju menjadi calon presiden (capres) pada pemilihan presiden (pilpres) 2009 bisa ditangkap sebagai "sabda pendita ratu".

"Sebagai sabda yang diucapkan raja, memang tidak boleh berubah-ubah. 'Tan kena wola-wali', artinya jika sabda itu untuk presiden, mengapa harus berubah menjadi wakil presiden," kata  Arwan Tuti Artha, penulis buku "Laku Spiritual Sultan: Langkah Raja Jawa Menuju Istana", di Yogyakarta, Sabtu.

Keputusannya mendeklarasikan diri sebagai capres dilakukan setelah suami Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas itu menempuh laku spiritual.

"Pernyataan itu saya tangkap sebagai 'sabda pendita ratu'. Sebagai sabda yang diucapkan raja, tidak boleh berubah-ubah. Kalau sabda itu untuk presiden, kenapa harus menjadi wapres," ujarnya.

Ia mengatakan, rakyat Yogyakarta sampai kini masih mempercayai Sultan HB X sebagai raja, panutan dan pewaris tahta yang tidak bisa dipengaruhi oleh suara yang datang dari mana saja.

Pencalonannya memang mengundang reaksi beragam. Dalam jajak pendapat ada sejumlah reaksi, di antaranya menolak Sultan HB X sebagai presiden karena dinilai lebih baik  menjadi raja  atau menjaga Yogyakarta agar tetap menjadi daerah istimewa.

"Reaksi lain adalah mendukung Sultan HB X menjadi presiden dengan pertimbangan dia bersih, jujur dan mampu atau setidaknya sudah  memiliki pengalaman memimpin dengan tenang, kharismatik dan tak ada gejolak," katanya.

Dalam jagad spiritual, menurut Arwan, ada tanda-tanda yang sudah dibaca dan dipercayai sebagian orang,  yaitu terawang spiritual meneguhkan jika "tusuk konde" yang dulu mengangkat Soeharto menjadi presiden, kini berada di Keraton Yogyakarta.

"Ini memang hanya sebuah terawang spiritual sehingga kita harus  memahaminya secara arif. 'Tusuk konde' itu semula dikenakan Bu Tien Soeharto, yang kemudian menghilang ketika dia wafat, dan berlanjut lengsernya Soeharto. Jika sekarang sudah ditemukan dan bersemayam di keraton, tentunya tanda-tanda itu sudah  bisa dibaca," katanya.

Mengenai buku yang ditulisnya, ia mengatakan sampai kini belum banyak buku tentang Sultan HB X yang ditulis orang, padahal dia menjadi Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sudah cukup lama.

"Sultan HB X hanya dikenang, tetapi tidak dibaca kearifannya, kekuatan spiritualnya, dan riwayat dirinya melalui buku," kata Arwan yang juga wartawan Kedaulatan Rakyat Yogyakarta.

Selain menulis buku tersebut, Arwan Tuti Artha sebelumnya juga menulis buku tentang keluarga mantan Presiden Soeharto, antara lain  "Bu Tien, Wangsit Keprabon Soeharto", "Dunia Spiritual Soeharto". (*)
Sent with Clipmarks

No comments:

Archives