Ayu Azhari Berpolitik, Indikator Demokrasi Liberal Gagal

INILAH.COM -


INILAH.COM, Jakarta - Krisis kader di partai politik telah mendorong munculnya para artis dalam kancah politik lokal maupun nasional. Tapi ini sekaligus simbol kegagalan demokrasi liberal di Indonesia lantaran sangat dangkal dan banal. Mengapa gagal?
Para bapak bangsa seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir dan founding fathers lainnya mungkin tidak pernah membayangkan demokrasi akan menjadi amat liberal serta menuju kemerosotan kualitas yang dramatis,
seperti demokrasi belakangan ini. Ini lantaran tidak ada tata tertib berkualitas untuk menyeleksi para kader politik sebagai pemimpin bangsa.
Kita memang sedang menghadapi krisis kepemimpinan dari tingkat nasional sampai lokal. Yang ada hanya lembaga kepresidenan, gubernur dan bupati serta DPR/DPRD dan TNI/Polri yang sama-sama miskin visi, miskin jiwa atau kehilangan visi dan jatidiri serta gagal memaknai reformasi.
"Demokrasi liberal sudah gagal karena semakin dangkal dan banal. Parameternya, kualitas para politisi sama saja buruknya dengan para artis. Dan para artis akan lebih elektabel ketimbang politisi karena punya daya pikat tubuh, popularitas, atau seksualitas diri," kata pengamat politik Umar S Bakry, Direktur Lembaga Survei Nasional.
Hampir pasti para artis akan memenangi kursi parlemen dan kepemimpinan di pilkada jika para politisi tak berbenah diri secara kualitatif. "Rekrutmen politik di parpol-parpol amat buruk dan mengancam kualitas demokrasi liberal, yang sejauh ini hanyalah demokrasi prosedural," kata Umar. Dan bukan rahasia lagi bahwa para intelektual umumnya tak berduit sehingga kalah modal dibandingkan para artis dan orang kaya (plutokrat) yang mudah masuk berjejal di alam demokrasi liberal.
Demokrasi liberal di Indonesia sangat miskin visi, tidak produktif, tidak kreatif, dan hanya mengandalkan para politisi medioker yang tak mungkin bisa membawa kemaslahatan rakyat di tengah kapitalisme neoliberal yang sudah lama membuat ekonomi rakyat terjungkal.
"Mungkin dua dekade ini merupakan dekade-dekade yang hilang dalam menuju cita-cita proklamasi dan konstitusi. Demokrasi liberal yang dangkal dan banal telah menyembelih harapan rakyat bagi munculnya kehidupan yang lebih adil dan sejahtera," kata pengamat politik Abas Jauhari, pengajar Sosiologi Universitas Islam Negeri Jakarta.
Banyaknya artis dalam perpolitikan di Indonesia mengindikasikan demokrasi liberal yang hambar, defisit kader berbobot dan penuh borok sosial, yang membuat negara ini terjerumus ke jalan tak ada ujung. "Demokrasi liberal seperti ini tidak akan mampu membawa kemajuan peradaban, sebab menjerumuskan kita ke jalan tak ada ujung," kata Abas.
Sebut saja nama artis Khadijah Azhari atau lebih dikenal Ayu Azhari yang muncul dalam bursa bakal calon wakil bupati pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, yang kini memicu pro dan kontra di masyarakat.
Keikutsertaan Ayu Azhari dalam pilkada melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mendorong sebagian warga tidak menyetujuinya menjadi Wakil Bupati Sukabumi periode 2010-2015. Namun sebagian warga setuju karena alasan subyektif.
"Saya kurang setuju bila Ayu Azhari ikut dalam perhelatan pilkada di Kabupaten Sukabumi. Ayu Azhari tidak mengenal seluk-beluk wilayah Kabupaten Sukabumi," kata kata seorang warga bernama Lilis (35), di Sukabumi, Jumat (25/12).
Meski Ayu sebagai calon Wakil Bupati Sukabumi tidak mengenal seluk-beluk wilayah Kabupaten Sukabumi, tetap saja sebagian warga mengelukannya karena daya tarik tubuhnya. Atau yang didambakan publik adalah munculnya artis lain yang mengenal seluk beluk Sukabumi. Itu sama saja menunjukkan bahwa para politisi sudah tak laku dan kalah pamor dengan para artis. Bayangkan bila yang ikut dalam pilkada nanti adalah artis Desi Ratnasari atau Happy Salma karena mereka merupakan warga Sukabumi asli, tentu akan menyudutkan politisi yang selama ini umumnya tak berkualitas, korup, atau abai terhadap aspirasi publik.
Visi dan misi politisi paling banter bercorak bombastis seperti meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM), menjadikan Kabupaten Sukabumi sebagai daerah penyangga ibu kota dalam lima tahun ke depan dan memberdayakan ekonomi masyarakat. Dan semua itu merupakan kebohongan yang dibungkus dengan propaganda murahan.
Apakah realitas semacam ini yang kita kehendaki dengan reformasi yang disandera oleh demokrasi liberal yang ugal-ugalan ini? Adakah ini yang kita kehendaki: demokrasi liberal yang tidak substansial dan hanya memperpanjang mata rantai korupsi politik atau inefisiensi di negeri ini? [mor]

No comments:

Archives