Artis dan Politik, Ramainya Panggung Sandiwara?

INILAH.COM

DUNIA politik kian riuh rendah dengan mencuatnya para artis yang bertarung di jagad kekuasaan. Menyusul langkah artis Ayu Azhari yang berpeluang menjadi 'Evita Peron' Sukabumi, kini muncul Tukul Arwana untuk maju menjadi Walikota Kota Semarang.

Ayu Azhari dikabarkan berpotensi bisa menjadi seperti Evita Peron di Argentina. Publik diminta jangan melihat sisi negatifnya saja, lihat sisi baiknya. Malah publik Sukabumi yakin Ayu Azhari mempunyai visi dan misi yang jelas dengan ikutnya bursa pemilu kepala daerah Kabupaten Sukabumi.

Di Semarang, koalisi Partai Golkar dan Partai Gerindra berencana menggaet Tukul Arwana, artis lawak dan pembawa acara di televisi, sebagai upaya memenangi Pemilihan Kepala Daerah Kota Semarang, Jawa Tengah, 2010.

Tukul berasal dari Kota Semarang. Dan politisi Golkar sudah menghubunginya melalui asisten pribadinya.

Anggota Tim Tujuh Koalisi Partai Golkar-Partai Gerindra, Wisnu Pudjonggo, di Semarang, Selasa (29/12) mengatakan, selain Tukul, artis asal Kota Semarang lain yang akan menjadi penarik suara (vote getter) adalah Asti Ananta. Wisnu menambahkan, dari kader internal Partai Gerindra ada nama Jamal Mirdad, meski belum ada kepastian mengenai hal itu.

Warga Sukabumi dan Semarang menilai calon yang pantas untuk dapat diusung dalam Pilkada 2010 di kedua kota itu adalah yang memiliki elektabilitas tinggi, figur yang terbuka, peduli terhadap berbagai permasalahan, seperti kemiskinan, ketimpangan dan banjir, serta bencana alam lainnya.

Mencuatnya para artis di blantika politik tak bisa disalahkan atau dicela. Semua itu akibat krisis kader di partai politik. Betapapun telah cukup bukti bahwa para politisi ternyata tidak lebih baik dari para artis, baik secara kualitatif maupun secara kapital.

Krisis kader telah mendorong munculnya para artis dalam kancah politik lokal maupun nasional. Tapi ini sekaligus simbol kegagalan demokrasi liberal di Indonesia lantaran sangat dangkal dan banal.

Para bapak bangsa seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir dan founding fathers lainnya mungkin tidak pernah membayangkan demokrasi akan menjadi amat liberal serta menuju kemerosotan kualitas yang dramatis, seperti demokrasi belakangan ini. Ini lantaran tidak ada tata tertib berkualitas untuk menyeleksi para kader politik sebagai pemimpin bangsa.

Kita memang sedang menghadapi krisis kepemimpinan dari tingkat nasional sampai lokal. Yang ada hanya lembaga-lembaga ibarat badan tanpa jiwa. Ada lembaga kepresidenan, gubernur dan bupati serta DPR/DPRD, kejaksan, kehakiman dan TNI/Polri yang sama-sama miskin visi, miskin jiwa atau kehilangan visi dan jatidiri serta gagal memaknai reformasi.

Demokrasi liberal di Indonesia selama dua dekade ini sangat miskin visi, tidak produktif, tidak kreatif, dan hanya mengandalkan para politisi medioker yang tak mungkin bisa membawa kemaslahatan rakyat di tengah kapitalisme neoliberal yang sudah lama membuat ekonomi rakyat terjungkal.

Kini para politisi terancam oleh masuknya para artis yang sudah melihat betapa bodohnya para politisi yang mengklaim sebagai wakil rakyat, aspirator rakyat, atau pejuang demokrasi. Para politisi tinggal menunggu waktu untuk digusur para artis yang oportunis dan bombastis. Itulah realitas politik dan demokrasi kita yang sangat tidak bermutu menyusul jatuhnya Orde Baru, hanya karena penguasa, pengusaha, militer dan pejabat sipil banyak salah di masa lalu, sementara kalangan kampus dan civil society banyak yang pasif atau membisu. Kini para politisi harus sadar diri, berbenah diri dan bangkit kembali dari keterpurukan tahun-tahun belakangan ini. [mor]

No comments:

Archives