Sri Mulyani: Jual Beli Kebijakan, dan Pejabat Publik pun Tergelincir

Selasa, 18 Mei 2010 | 23:13 WIB

foto

Sri Mulyani. TEMPO/Panca Syurkani

TEMPO Interaktif, Jakarta -Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhirnya mengakui pengunduran dirinya sebagai pejabat publik merupakan suatu kalkulasi politik. Pernyataan ini menjawab tabir penyebab mundurnya Menteri Keuangan terbaik versi Emerging Markets.
Dalam Kuliah Umum bertajuk "Kebijakan Publik dan Etika Publik", Sri menuturkan keputusannya untuk hengkang ke Bank Dunia disesalkan banyak pihak. Tapi baginya, keputusan itu tak terlepas dari situasi politik terkini yang menyebabkan dirinya tak lagi dikehendaki untuk mengemban jabatannya.
"Sumbangan saya sebagai pejabat publik tak lagi dikehendaki dalam situasi politik dimana perkawinan keputusan itu begitu sangat dominan. Orang bilang kartel, saya bilang itu kawin," kata dia di Hotel Ritz Carlton, Selasa (18/5).
Menurutnya, dengan semua episode yang terjadi di ruang publik, rakyat sebagai pemegang saham utama berhak memilih chief executive officer republik ini dan juga memilih orang-orang yang menjadi pengawas CEO. Proses ini, lanjut Sri, tak murah dan mudah. "Butuh biaya luar biasa. Apalagi (memilih) Presiden, dan tak bisa terbayangkan," ujarnya.
Bahkan Sri yang telah dipilih dua periode Kabinet Indonesia Bersatu mengaku terkejut dengan besarnya biaya sebab menjadi beban personal. Besarnya biaya, ia gambarkan sangat tak masuk akal karena tak masuk perhitungan pengembalian investasi.
Untuk mendapatkan dana luar biasa itu, mau tidak mau, kandidat harus "berkolaborasi" dengan sumber finansial. Kandidat di tingkat daerah, tak mungkin kolaborasi pendanaan dibayar dari penghasilan. Satu-satunya cara yang memungkinkan yakni melalui jual beli kebijakan.
"Pertanyaan kita semua adalah dengan kebijakan yang mahal pasti akan dibalikkan kepada awal (biaya yang sangat mahal)," kata Sri. "Hasilnya adalah perkawinan, siapa yang akan mendapat kepentingan itu."
Kebijakan publik untuk masyarakat, lanjutnya, dibuat oleh kekuasaan. Sehingga bahan utamanya yaitu kekuasaan yang amat mudah menggelincirkan pejabat publik. "Kekuasaan itu membuat korup," katanya.

RIEKA RAHADIANA

No comments:

Archives