Rabu, 19 Mei 2010 | 06:59 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta - Di hadapan para tokoh nasional, Menteri Keuangan Sri Mulyani tadi malam bicara blak-blakan seputar konstelasi politik di balik alasan pengunduran dirinya. Ia pun membeberkan adanya pejabat tinggi negara yang terlibat konflik kepentingan dalam proses pengambilan keputusan yang pada akhirnya menguntungkan mereka atau kerabatnya.
“Banyak yang menyesalkan saya mundur sebagai kekalahan,” kata Sri. “Tapi, di forum ini, saya ingin menegaskan bahwa saya menang, karena tidak berhasil didikte oleh siapa pun yang tidak menginginkan saya di sini.” Penegasan itu disampaikan oleh Sri dalam kuliah umum bertajuk “Kebijakan Publik dan Etika Publik”, yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) di Jakarta tadi malam.
Puluhan tokoh nasional hadir di sana, antara lain Rahman Tolleng, Wimar Witoelar, Yenny Wahid, Erry Riyana Hardjapamekas, Marsillam Simanjuntak, Todung Mulya Lubis, Goenawan Mohamad, Teten Masduki, dan penjabat sementara Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyetujui pengunduran diri Sri, yang akan menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia per 1 Juni mendatang dan berkantor di Washington, DC, Amerika Serikat.
Soal pengunduran dirinya, Sri mengakui keputusan itu dibuat tak lepas dari kondisi politik di dalam negeri. “Ini sebuah kalkulasi politik bahwa sumbangan saya sebagai pejabat publik tak lagi dikehendaki dalam sistem politik di mana perkawinan keputusan itu begitu sangat nyata,” ujarnya.
“Orang bilang itu kartel, saya menyebutnya kawin saja.” Pernyataan Sri itu seolah menjawab lontaran yang disampaikan oleh Rocky Gerung dari P2D dalam sambutannya saat membuka acara. Menurut dosen filsafat Universitas Indonesia itu, politik Indonesia kini tidak lagi diwarnai politik akal sehat, melainkan politik kartel.
Yang dimaksudkannya tak lain adalah Presiden Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, yang kini bersepakat membentuk Sekretariat Gabungan Partai Koalisi.
Dalam sistem politik seperti ini, menurut Sri, tidak lagi ada etika berpolitik.
“Orang seperti saya tidak mungkin bisa lagi eksis. Saya memang bukan politikus dan bukan dari partai politik, tapi tidak berarti saya tak mengerti politik.” Itu sebabnya, ia pun merasa telah diperlakukan tidak adil dalam kasus penyelamatan Bank Century yang dipersoalkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. “Apakah proses politik yang ditunggangi oleh suatu kepentingan membolehkan seseorang untuk dihakimi, bahkan divonis terhadap dirinya tanpa melalui pengadilan?” ucapnya. “Sedemikian pandainya proses politik itu sehingga dibebankan pada satu orang,” ujarnya lagi.
Hal lain yang juga disentil oleh Sri adalah soal saratnya konflik kepentingan sejumlah “pejabat pengusaha” dalam proses pengambilan keputusan di kabinet. Ia mengaku, sepanjang kariernya sebagai menteri selama lima tahun, ada sejumlah kasus yang dengan jelas menggambarkan perilaku itu.
Menurut Sri, meski para pejabat itu mengaku kepada publik telah meninggalkan segala urusan soal usahanya, keluarganya masih terlibat dalam usaha. Ada kebijakan, kata Sri, yang dibuat, dan dari keputusan itu ternyata yang mendapat keuntungan adalah salah satu perusahaan milik si “Pejabat Pengusaha”.
“Bagaimana mungkin rapat untuk kebijakan publik dilakukan dengan orang yang akan menikmati kebijakan itu?” kata Sri. “Selalu dibilang, yang penting pemerintahan efektif. Ternyata yang impor perusahaan keluarga dia.”
● METTA DHARMASAPUTRA | RIEKA RAHADIANA
No comments:
Post a Comment