Presiden yang Menyenangkan Siapa Saja

dyondracorporation.multiply.com
Ada sebuah nasihat yang mungkin perlu Anda ingat: dalam situasi ketika Anda menghadapi jalan buntu dan tak bisa apa-apa, yang terbaik bagi Anda adalah melakukan apa yang bisa Anda lakukan. Maksud saya, Anda bisa berdoa ketika Anda merasa bahwa rentetan kejadian di negeri tempat tinggal Anda terasa seperti, mengutip Mikhail Bakunin (1814-1876), ''fiksi yang absurd atau lebih dari itu, sebuah fiksi yang jahat.''

Maka, berdoalah sampai tubuh Anda membiru. Berdoalah sampai paras Anda memucat. Konon doa orang-orang pucat pasi atau biru lebam selalu dikabulkan. Dan selagi Anda berdoa sampai biru, saya kira orang-orang lain juga melakukan apa yang bisa mereka lakukan -sebagian sangat kreatif. Misalnya, para kondektur bus kota sekarang ini akan berseru, ''Gayus! Gayus!'' untuk memberi tahu barangkali ada penumpang yang akan turun di halte depan kantor pajak. Kreativitas yang lain adalah mengubah sebutan Jalan Gatot Subroto, alamat kantor pajak di Jakarta, menjadi Jalan Gayus Subroto. Karena itu, sebagaimana orang-orang lain melakukan apa yang bisa mereka lakukan, saya juga akan melakukan apa yang bisa saya lakukan.

Beberapa waktu lalu saya pernah menulis, dalam salah satu surat terbuka saya kepada presiden di situsweb detikcom, bahwa ia bisa saja melakukan langkah politik yang aman dengan mengorbankan Sri Mulyani dan Boediono. Mereka bukan orang parpol sehingga tidak akan ada gejolak politik yang mencemaskan jika mereka yang dijadikan tumbal kompromi. Tambahan lagi, Presiden SBY akan tampak mengapresiasi tuntutan para demonstran jika ia mengorbankan mereka. Bukankah mereka berdua itulah yang dijadikan musuh publik oleh para demonstran setelah meledaknya kasus Century? Foto mereka diarak dan diberi taring dan berbagai atribut lain. Sri Mulyani bahkan didandani seperti perompak dalam gambarannya yang paling klise: si mata satu.

Dan sekarang ''si mata satu'' itu sudah menyatakan diri akan mundur dari posisinya per tanggal 1 Juni dan akan menduduki posisi yang baru sebagai managing director Bank Dunia. Aburizal Bakrie, yang dianggap sebagai seteru utama Sri Mulyani, menyatakan sendiri di depan kader Golkar di Semarang bahwa ia telah ditunjuk sebagai ketua harian sekretariat gabungan partai koalisi. Tampaknya itulah formula ''win-win solution" yang digemari oleh presiden kita. Jadi, dalam hal ini, Presiden SBY win, Sri Mulyani win, Aburizal win, semua politisi juga win.

Menurut saya memang tak ada yang tidak win di bawah pemerintahan Presiden SBY. Dan saya yakin bahwa sekarang ini ia adalah presiden yang benar-benar cakap dalam mengelola urusan-urusan kepresidenan. Anda tahu, dalam teori pembelajaran, ketika Anda mempelajari secara intens satu jenis keterampilan tertentu, Anda membutuhkan waktu dua tahun untuk masuk dalam kategori jenius menjadi sangat cakap di bidang yang Anda pelajari itu. Dan karena ini tahun keenam Pak SBY menjadi presiden, dan ia tampaknya sangat intens dalam kesehariannya sebagai presiden, tentunya ia sudah masuk kategori sangat jenius dalam keterampilan tersebut.

Anda bisa melihat ia tahu betul bagaimana cara menyampaikan keberhasilan para petani di depan para peternak kambing atau itik; ia tahu apa yang harus dilakukan ketika para mahasiswa dan aktivis menggelar demonstrasi; ia tahu kapan mengeluh dan kapan menggelar zikir; dan ia tahu juga kapan membawa istrinya dalam acara-acara penting. Sementara para istri bupati saja punya tekad besar untuk melanjutkan kekuasaan suami mereka, maka istri seorang presiden tentunya tidak mungkin ditinggal-tinggal, disuruh leyeh-leyeh di rumah saja mengurus tanaman atau sesekali memasak soto Lamongan dan membikin sambal pecel.

Menyadari hal ini, saya pikir ada baiknya saya sedikit rileks dalam menyikapi situasi politik hari ini. Selama ini saya sendiri merasa bahwa saya terlalu serius. Akibatnya, saya menjadi terpukul ketika beberapa waktu lalu kawan saya, seorang dokter yang mempunyai perhatian terhadap kondisi sakit negeri ini, menyampaikan pendapatnya bahwa semua kekuatan politik sesungguhnya senang-senang saja dengan kondisi sekarang dan mereka berbahagia karena SBY yang menjadi presiden.

Di bawah kepemimpinan SBY, semua dapat bagian. Tidak hanya Partai Demokrat yang menikmati kemenangan, tetapi PKS, PAN, PKB, PPP juga mendapatkan jatah kekuasaan. Bahkan Golkar, yang merosot drastis dalam pe­milu legislatif dan kocar-kacir dalam pe­milihan presiden, diberi jatah meskipun partai itu tidak mendukung SBY dalam pilpres. Bu­kan itu saja, presiden kita juga bersedia me­mu­liakan sejumlah caleg yang gagal meraih kursi di Senayan dengan memberi mereka jabatan menteri. Saya yakin PDIP pasti dapat juga kalau mau. Hanya saja, Megawati terus memendam sakit hati kepada Presiden SBY sehingga ia ngotot menjadikan partainya sebagai oposisi.

Dan, bagaimana dengan partai-partai kecil yang ikut beramai-ramai menggendong Pak SBY ke mana-mana dalam pilpres? ''Masing-masing pasti sudah mendapatkan konsesi sesuai dengan kekecilan postur mereka,'' kata Pak Dokter kawan saya itu. ''Hari ini, di te­ngah ramai-ramai tentang apa pun di panggung politik, mereka tak bersuara.''

Kenyataan seperti itu memang agak menakjubkan. Padahal, lazimnya, semakin kecil makhluk politik di negeri ini, semakin ribut dia. Hari ini saya memang tidak mendengar suara dari makhluk-makhluk mungil itu.

Di antara orang-orang yang dimuliakan oleh presiden, saya mencatat beberapa menteri kabinet lalu yang sudah tidak ditunjuk lagi dalam kabinet sekarang. Bagi mereka ada kursi di Dewan Pertimbangan Presiden. Terus-terang, saya agak kaget melihat Bu Siti Fadhilah Supari di posisi barunya sekarang sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Sebelumnya, media pernah memberitakan bahwa ia agak berang ketika Nila Moeloek dicoret dan Endang Rahayu Sedyaningsih yang akhirnya dipilih sebagai menteri kesehatan menggantikan dirinya.

Kasus ini cukup menggegerkan waktu itu. Anda tahu, pencoretan Dr Nila Djuwita Moeloek sebagai kandidat menteri kesehatan dengan alasan tidak tahan stres dan penunjukan Mbak Endang sebagai penggantinya, telah menjadi peristiwa yang sangat emosional waktu itu. Sebelum Dr Nila dinyatakan gagal dalam tes kesehatan, saya sempat membaca artikel yang menunjukkan prestasinya sebagai motor penelitian-penelitian di Fakultas Kedokteran UI dalam dua tahun terakhir. Menurut artikel tersebut, penelitian-penelitian itulah antara lain yang berperan besar mengangkat UI ke peringkat 201 dunia atau terbaik di Indonesia.

''Alasan pencoretan Nila Moeloek mengandung kebohongan,'' kata dokter kawan bicara saya dengan yakin. ''Semua dokter tahu bahwa profesi dokter mata adalah salah satu yang paling stressful di dunia kedokteran. Salah sedikit dalam penanganan, kesalahan itu akan terungkap saat itu juga. Dan sebagai dokter mata, Nila menunjukkan bahwa dia orang yang tahan bekerja di bawah situasi sangat menekan.''

Dan saya kira Dr Nila kembali harus membuktikan bahwa ia orang yang tahan stres. Ia dipanggil ke Cikeas untuk menyampaikan pandangan-pandangannya, dikirimi karangan bunga ucapan selamat oleh para kolega, dan kemudian dicoret dengan alasan yang sulit diterima, baik oleh dirinya sendiri maupun oleh rekan-rekan sejawatnya sesama dokter. Ini situasi yang sangat menekan.

Tapi itu hanya satu kasus kecil saja dalam politik. Kalaupun ada orang-orang lain lagi yang tidak bahagia, paling-paling jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Misalnya, Minah (55), si pemetik tiga butir kakao yang ditangkap polisi dan diadili; lalu Manisih (40) yang diancam hukuman 7 tahun penjara karena bersama dua anaknya mengumpulkan kapuk randu sisa panen sebuah perusahaan; lalu Chaerul Saleh, pemulung yang ditangkap polisi dan dipaksa menjadi pemilik narkoba.

Sepengetahuan saya hanya orang-orang itu di negeri ini yang tidak bahagia. Dan mereka itu tidak ada urusannya dengan kepemimpinan seorang presiden; urusan mereka adalah dengan polisi dan pengadilan. Pak Presiden harus lebih banyak berurusan dengan politisi; mereka suka ribut. Mikhail Bakunin, yang kita singgung di awal tulisan ini, lari dari negaranya karena merasa tidak mendapatkan ketiga hal itu. ''Ketika saya tidak bisa berpikir, berkehendak, dan berbicara, itu berarti saya mengikatkan diri saya dan seluruh keturunan saya ke dalam perbudakan selamanya -saya semata-mata menjadi korban tanpa bisa bersuara," katanya.

Pada 1861 ia diasingkan oleh pemerintahnya ke Siberia dan menyeberang ke London empat tahun kemudian untuk menjadi juru bicara yang sangat vokal bagi kaum anarkhis yang selalu kritis pada negara.

Nah, tanpa menjadi seperti Bakunin, sejumlah orang di negeri ini dari kalangan Nenek Minah dan yang sederajat, yakni mereka yang tidak bisa berkehendak, berpikir, dan berbicara, juga telah mengikuti langkah aristokrat Rusia itu. Mereka menjadi TKI untuk menghindari hujan batu di negeri sendiri; dan banyak di antara mereka mengalami hujan batu di negeri orang. Tetapi itu bukan urusan kenegaraan. Yang jelas, saat ini presiden sudah membahagiakan para politisi -sebuah keberhasilan jika memang itu yang diniatkan dari semula. (*)

*) A.S. Laksana, beralamat di aslaksana@yahoo.com

No comments:

Archives