IKRAR NUSA BHAKTI: TNI yang Merana



TNI yang Merana


Tuesday, 16 June 2009


TUJUH kasus kecelakaan pesawat angkut, pesawat latih, dan helikopter

milik TNI yang terjadi selama 2009 dan menewaskan tidak kurang dari 133

orang (Seputar Indonesia, 15/6) telah membuka mata kita,termasuk para

anggota eksekutif dan legislatif, betapa parahnya alat utama sistem

senjata (alutsista) TNI.



Berapa kali sudah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan

akan membuat tim untuk mengkaji berbagai kecelakaan tersebut, tetapi

hingga kini kita tak tahu rimbanya, apakah tim tersebutsudah,

sedangataubahkanbelum bekerja. Hari demi hari telah berlalu dan dalam

dua bulan terakhir terjadi empat kali kecelakaan yang memakan banyak

korban jiwa.



Dalam berbagai kajian mengenai lingkungan strategis Indonesia, bahkan di

dalam Buku Putih Pertahanan 2003, selalu dinyatakan bahwa dalam 20 tahun

mendatang tidak akan terjadi invasi militer dari luar terhadap

Indonesia. Budaya strategis militer kita pun masih terfokus pada ancaman

daridalamnegeri,khususnya gerakan separatisme,walau belakangan sudah

juga memperhitungkan ancaman nontradisional/ nonkonvensional yang

berbentuk kejahatan lintas negara seperti terorisme, narkotik,

penyelundupan senjata, pencurian ikan, penjualan kayu ilegal, dan

penyelundupan manusia.



Ketiadaan ancaman militer dari luar ditambah dengan keterbatasan

anggaran negara mengakibatkan anggaran pertahanan kita kini menduduki

peringkat ketujuh dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

2009.Pertama kali pula dalam sejarah pemerintahan di era Reformasi,

anggaran pertahanan negara mengalami pengurangan dua kali dari Rp36,5

triliun pada 2008 menjadi Rp35 triliun, kemudian dipotong lagi menjadi

Rp33,6 triliun sebagai akibat dari krisis ekonomi dunia.



Akibat dari persoalan demonstrasi tentara di Abepura, Papua, beberapa

waktu lalu anggaran operasi militer ditambah dari Rp300 miliar menjadi

Rp500 miliar yang pada 2008 berjumlah Rp800 miliar. Kini juga timbul

pemikiran untuk menaikkan anggaran pertahanan sebesar Rp10 triliun pada

2010, terutama untuk membeli alutsista baru dan memelihara alutsista

yang ada.



Jika kita bandingkan dengan lima negara tetangga ASEAN,anggaran

pertahanan Indonesia termasuk yang terkecil kedua setelah Filipina.

Indonesia yang memiliki populasi sekitar 230 juta jiwa hanya memiliki

395.000 tentara dan anggaran sebesar USD3,90 miliar atau USD16,96 per

kapita pada 2008.



Bandingkan dengan Thailand yang berpenduduk 64.300.000 jiwa memiliki

tentara 242.000 dengan anggaran USD4,49 miliar atau USD69,83 per kapita.

Singapura yang hanya berpenduduk 4.588.000 jiwa memiliki tentara 60.000

personel dengan anggaran terbesar di ASEAN,yakni USD6,93 miliar atau

USD1.510 per kapita.



Malaysia dengan penduduk 25.300.000 memiliki tentara 107.500 personel

dengan anggaran USD3,28 miliar atau USD1.426 per kapita.Adapun Vietnam

yang berpenduduk 83.600 jiwa memiliki 455.000 tentara dengan anggaran

sebesar USD3,60 miliar atau USD43,06 per kapita.



Semua anggaran tersebut adalah anggaran pertahanan pada 2008. Anggaran

pertahanan Indonesia yang Rp33,6 triliun pada 2009 tersebut 70% di

antaranya habis hanya untuk gaji dan upah personel tentara dan personel

yang ada di Departemen Pertahanan RI serta hanya 30% yang digunakan

untuk perawatan dan pembelian terbatas alutsista TNI.Sebenarnya sejak

awal era Reformasi bukan hanya pesawat tempur TNIAU yang akan

diremajakan,melainkan juga angkutan udara dan kekuatan armada laut milik

TNI AL.



Namun, fokus pada peremajaan alat angkut udara TNI hingga kini belum

diimplementasi kan walau kini embargo senjata dari AS kepada Indonesia

sudah berakhir. Hingga kini juga masih terjadi silang pendapat mengenai

alutsista TNI, apakah akan diremajakan atau hanya merawat yang sudah usang?



Tak sedikit kalangan pengamat militer di Indonesia yang berpandangan

agar dilakukan moratorium alutsista tua dan lebih baik alutsista TNI

diremajakan secara bertahap karena biaya pemeliharaannya jauh lebih

murah, masa pakai cukup lama serta masih dapat diandalkan.



Satu sisi yang menarik,sumbersumber di Departemen Pertahanan ada juga

yang berpendapat bahwa akibat dari kekurangan anggaran, tidak jarang

suku cadang yang digunakan bagi alutsista TNI adalah yang abal-abal

(asli tapi palsu atau baru tapi bekas). Minyak pelumas bagi kendaraan

TNI dan bukan mustahil bagi alutsista TNI juga oli bekas atau oli yang

dijual drum-druman, yang tidak memenuhi standar.



Hingga kini rencana peningkatan anggaran TNI masih sekadar wacana. Dari

tiga pasangan capres dan cawapres, tidak ada yang secara tegas

menyatakan akan meningkatkan kapabilitas pertahanan kita yang berarti

pula meningkatkan anggaran pertahanan.



Pasangan SBY-Boediono atau dalam hal ini Presiden SBY sendiri selalu

mengatakan anggaran pertahanan akan dinaikkan jika ekonomi Indonesia

semakin baik. Prabowo Subianto, cawapres yang diusung oleh PDIP dan

Gerindra, menyatakan hal yang sama.



Padahal saat ia masih perwira muda, Prabowo memiliki obsesi agar TNI

kita memiliki peralatan canggih dan kapabilitas sumber daya manusia sama

dengan tentara Israel. Pasangan Jusuf Kalla- Wiranto juga hanya berjanji

akan menaikkan anggaran pertahanan tanpa mematok bagaimana caranya dan

tahapannya.



Meningkatkan postur TNI bukan suatu yang asal jadi atau tanpa rencana

berjangka. Sampai kini TNI kita belum sampai pada tahap minimal

essential force yang harus dimiliki oleh negara kepulauan seluas

Indonesia.Jika anggaran terus terbatas, ini juga akan mengganggu proses

reformasi TNI, dari yang dulu tentara politik dan tentara niaga menjadi

tentara profesional murni yang benar-benar menanggalkan aktivitas

politik dan bisnisnya.



Pada seminar yang membahas reformasi sektor keamanan yang diorganisasi

Indonesia Solidarity di Sydney, 12–13 Juni 2009 lalu, masih ada peneliti

Australia yang percaya bahwa anggaran negara buat TNI adalah 30%,

sedangkan off-budget militer masih 70%, yang didapat dari bisnis TNI.

Mereka tidak tahu bahwa dari 100% yang diminta TNI, hanya 30% yang dapat

dipenuhi negara.



Bisnis militer harus berakhir atau diambil alih oleh negara pada 20

Oktober 2009 mendatang walau kita ragu apakah Presiden SBY berani dan

serius melakukan amanat UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia

itu. Departemen Pertahanan RI juga sudah melakukan kajian strategis

mengenai kapabilitas apa yang seharusnya dimiliki TNI dalam jangka

pendek, menengah atau panjang mendatang.



Namun kita juga masih bertanya soal implementasinya. Di Indonesia memang

berlaku bukan kegiatan yang menentukan anggaran, melainkan kegiatan

ditentukan oleh terbatasnya anggaran.(*)



IKRAR NUSA BHAKTI

Profesor Riset Bidang

Intermestic Affairs LIPI




http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/247434/38/








No comments:

Archives